Human Right watch(HRW) mengkhawatirkan investigasi pembunuhan sekitar 20 Pekerja di Papua tidak berjalan sesuai hukum akibat terbatasnya akses jurnalis sebagai penengah situasi terkini di Nduga, Papua.
Iklan
Human Rights Watch, Organisasi Internasional untuk Hak Asasi Manusia yang berbasis di New York, menyoroti kasus penembakan terhadap sekitar 20 pekerja yang terjadi di Papua. ''Penyerangan oleh kelompok militan Papua menimbulkan kekhawatiran serius yang membutuhkan penyeledikan penuh,'' ujar Elaine Pearson dari HRW hari Minggu (9/12). ''Kelompok militan dan pasukan pengamanan seharusnya tidak membahayakan rakyat Papua.''
Satuan TNI-Polri Jumat (7/12) menyatakan siap mengusut kasus penembakan sekitar 20 pekerja PT Istaka Karya di Nduga, Papua. Namun dalam hal ini TNI-Polri harus berhati-hati ketika beroperasi di Nduga. Semua personel keamanan yang dikerahkan untuk mengejar pelaku penembakan harus bekerja dalam koridor hukum, kata HRW. Mereka harus menyelidiki secara transparan dan meminta pertanggungjawaban siapa pun yang terlibat dalam tindak kriminal. Dalam hal ini baik militer maupun polisi harus mengizinkan wartawan untuk beroperasi secara independen di daerah tersebut.
Nduga adalah daerah terpencil di Papua dan tidak ada wartawan yang memiliki akses sejak ke sana sejak serangan itu terjadi. Hingga kini, wartawan memang dilarang meliput dengan bebas di Papua.
HRW sendiri telah mendokumentasi berbagai pelanggaran HAM di Papua, yang seringkali melibatkan militer dan polisi. Aparat keamanan juga sering terlibat dalam konfrontasi mematikan dengan kaum separatis. Konfrontasi TNI dan Polisi terhadap kaum separatis harusnya berlandaskan kerangka hukum dan standar internasional, kata organsiasi HAM itu.
HRW juga mengatakan bahwa pasukan pengamanan Indonesia seringkali melakukan kekerasan terhadap masyarakat Papua termasuk penahanan sewenang-wenang. Akuntabilitas internal sangatlah kurang dan sistem hukum yang berlaku belum berjalan sebagaimana mestinya untuk para pelanggar hukum di Papua.
"Situasi di Nduga sangat kacau karena tidak ada jurnalis yang dapat secara independen masuk ke wilayah tersebut untuk mewawancarai saksi dan memverifikasi apa yang terjadi," jelas Elaine Pearson. "Memiliki pemantau independen di lapangan akan membantu mencegah pelanggaran, baik oleh militan maupun pasukan keamanan, hal mana akan menguntungkan semua orang Papua,” tambahnya.
sc/hp(HRW)
Polemik Emas Ilegal dari Limbah Freeport
Ribuan penduduk mengais emas dari limbah tambang Freeport di Timika. Pemerintah ingin menutup kegiatan ilegal itu karena memicu kerusakan lingkungan. Tapi banyak oknum yang terlanjur menikmati bisnis gelap tersebut
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Tambang Ilegal di Aikwa
Penambang emas mendulang emas di sungai Aikwa di Timika, Papua. Meski banyak penduduk suku Kamoro yang masih berusaha mencari uang sebagai nelayan, kegiatan penambangan emas merusak dasar sungai yang kemudian memangkas populasi ikan di sungai Aikwa.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Emas Punya Siapa?
Sejumlah penduduk bahkan datang dari jauh untuk menambang emas di sungai Aikwa. Indonesia memproduksi emas yang mendatangkan keuntungan senilai 70 miliar Dollar AS setahun, atau sekitar 900 triliun Rupiah. Tapi hanya sebagian kecil yang bisa dinikmati penduduk lokal.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Buruh Papua Mencari Kerja
Kebanyakan penduduk asli setempat telah terusir oleh kegiatan perluasan tambang. Saat ini Freeport mengaku memiliki hampir 30.000 pegawai, sekitar 30% berasal dari Papua, sementara 68% dari wilayah lain di Indonesia dan kurang dari 2% adalah warga asing. Berkat tekanan dari Jakarta, Freeport berniat menambah komposisi pekerja Papua menjadi 50%.
Foto: Getty Images/AFP/O. Rondonuwu
Sumber Kemakmuran
Tambang Grasberg adalah sumber emas terbesar di dunia dan cadangan tembaganya tercatat yang terbesar ketiga di dunia. Dari sekitar 238.000 ton mineral yang diolah setiap hari, Freeport memproduksi 1,3% emas, 3,4% perak dan 0,98 persen tembaga. Artinya tambang Grasberg menghasilkan sekitar 300 kilogram emas per hari.
Foto: Getty Images/AFP
Berjuta Limbah
Grasberg berada di dekat Puncak Jaya, gunung tertinggi di Indonesia. Setiap hari, tambang tersebut membuang sekitar 200.000 ton limbah ke sungai Aikwa. Pembuangan limbah tambah oleh Freeport ujung-ujungnya membuat alur sungai Aikwa menyempit dan dangkal.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Nilai Tak Seberapa
Setiap tahun sebagian kecil dari jutaan gram emas yang ditambang di Grasberg terbuang ke sungai Aikwa dan akhirnya didulang oleh penduduk. Semakin ke hulu, maka semakin besar kemungkinan mendapatkan emas. Rata-rata penambang kecil di Aikwa bisa mendulang satu gram emas per hari, dengan nilai hingga Rp. 500.000.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Simalakama Penambangan Ilegal
Pertambangan rakyat di sungai Aikwa selama ini dihalangi oleh pemerintah. Tahun 2015 silam TNI dan Polri berniat memulangkan 12.000 penambang ilegal. Pemerintah Provinsi Papua bahkan berniat mengosongkan kawasan sungai dengan dalih bahaya longsor. Namun kebijakan tersebut dikritik karena menyebabkan pengangguran dan memicu ketegangan sosial.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Kerusakan Lingkungan
Asosiasi Pertambangan Rakyat Papua sempat mendesak pemerintah untuk melegalisasi dan menyediakan lahan bagi penambangan rakyat di sungai Aikwa. Freeport juga diminta melakukan hal serupa. Ketidakjelasan status hukum berulangkali memicu konflik antara kelompok penambang. Mereka juga ditengarai menggunakan air raksa dan menyebabkan kerusakan lingkungan yang dampaknya ditanggung penduduk setempat
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Persaingan Timpang
Konflik antara penambang antara lain disebabkan persaingan yang timpang. Ketika penduduk lokal masih mengais emas dengan kuali atau wajan, banyak pendatang yang bekerja dengan mesin dan alat berat. Berbeda dengan penambang kecil, penambang berkocek tebal bisa meraup keuntungan hingga 10 juta Rupiah per hari.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Bisnis Gelap di Timika
Pertambangan rakyat di sungai Ajkwa turut menciptakan struktur ekonomi sendiri. Karena banyak pihak yang diuntungkan, termasuk bandar yang menampung hasil dulangan emas penduduk di Timika dan oknum pemerintah lokal yang menyewakan lahan penambangan secara ilegal. Situasi tersebut mempersulit upaya penertiban pertambangan rakyat di Papua. Penulis: Rizki Nugraha/ap (dari berbagai sumber)