Trump Perkuat Kecerdasan Buatan di Negara Teluk
23 Mei 2025
Salah satu agenda penting dalam perjalanan Presiden AS Donald Trump ke Timur Tengah belum lama ini adalah menghadiri jamuan makan siang eksklusif di istana kerajaan di ibu kota Arab Saudi, Riyadh.
Selain Trump dan Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman, jamuan tersebut juga turut dihadiri tamu-tamu terkemuka dari bidang teknologi dan kecerdasan buatan global. Selain pemilik Tesla, Elon Musk, yang mendampingi Trump, turut hadir Jensen Huang dari Nvidia, Sam Altman dari perusahaan induk ChatGPT, OpenAI, Presiden Google Ruth Porat, CEO Amazon Andy Jassy, dan masih banyak lagi nama lainnya.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Kehadiran ‘nama-nama besar dalam bidang teknologi' secara serempak menjadi sangat logis, setelah beberapa perusahaan teknologi AS mengumumkan kesepakatan kerja sama dengan Arab Saudi untuk pendanaan proyek-proyek kecerdasan buatan atau AI senilai puluhan miliar dolar, selama kunjungan Trump itu.
Kesepakatan investasi yang paling menonjol antara lain: Nvidia menyetujui penjualan ratusan ribu cip berteknologi mutakhir kepada Humain, sebuah perusahaan AI baru yang disokong pemerintah Arab Saudi. Perusahaan ini baru diresmikan sehari sebelum kunjungan Trump. Komitmen kerja sama lainnya dengan Arab Saudi juga disampaikan perancang cip Advanced Micro Devices (AMD) dan pembuat cip Qualcomm.
Cina Bersiaga
‘Panen' kesepakatan kerjasama ini dikukuhkan di saat Arab Saudi meningkatkan investasi dalam kecerdasan buatan, dan ketika pemerintahan Trump berusaha untuk mengukuhkan dominasi AS di bidang pembelajaran mesin dan produksi semikonduktor berteknologi mutahir.
Karen E. Young, seorang pakar Timur Tengah pada Pusat Kebijakan Energi Global Universitas Columbia di New York, meyakini bahwa AS dan Arab Saudi adalah 'mitra sejati' dalam hal kecerdasan buatan, karena Riyadh memiliki kapasitas dalam membangun dan mengelola pusat data.
"Mereka mampu mengerahkan pasokan listrik yang sangat besar dari gas dan tenaga surya dan tidak ragu-ragu dalam hal regulasi, dapat mengerahkan dengan cepat pasokan listrik terutama untuk pusat data atau pembangkit listrik. Hal ini memberi keuntungan," katanya kepada DW.
Namun, kesepakatan ini menuai kritik di Washington, termasuk dari dalam pemerintahan Trump sendiri. Para kritikus berargumen, dengan menyediakan cip berteknologi mutahir ke negara-negara Timur Tengah, hal itu pada akhirnya akan menguntungkan Cina dalam persaingan kecerdasan buatan global dengan AS.
Hubungan komersial dan politik Cina juga telah ‘mengakar' di Timur Tengah, juga beberapa orang percaya bahwa cip berteknolgi mutakhir yang dijual oleh AS ke wilayah Teluk, pada akhirnya dapat mendarat di Cina.
Untuk menjual cip berkemampuan AI mutahir ke Timur Tengah, pemerintahan Trump telah membatalkan aturan yang diterapkan mantan Presiden AS, Joe Biden, di akhir masa jabatannya pada tahun 2024. Aturan tersebut melarang penjualan cip berteknologi AI paling modern ke negara-negara tertentu, termasuk diantaranya Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA).
Perusahaan seperti Microsoft dan Nvidia telah mengkritik aturan yang dikenal sebagai sebagai ‘aturan difusi AI' tersebut, yang disebutkan seagai menghambat inovasi.
Walau begitu, kekhawatiran yang meluas atas kemungkinan akses Cina pada teknologi mutahir cip AS, direfleksikan sangat jelas, dengan disahkannya undang-undang baru oleh Komite Khusus Parlemen AS untuk Cina, yang bertujuan untuk "mencegah cip mutahir KI AS jatuh ke dalam tangan kompetitor seperti Partai Komunis Cina (CCP).”
Martin Chorzempa, seorang pakar studi Cina dari Peterson Institute for International Economics, mengatakan, apakah Cina bisa memetik keuntungan dari hal ini tergantung pada bagaimana Cina mengakses cip atau model yang diproduksi AS.
"Ada kekhawatiran bahwa Cina mungkin dapat memperolehnya secara langsungi atau mengakses cip dari jarak jauh,” katanya kepada DW.
David Sacks, ketua Dewan Penasihat Trump untuk Sains dan Teknologi dan pakar AI Kantor Presiden, menolak keras kritik bahwa kesepakatan AS dengan negara-negara Teluk dapat menguntungkan Cina, pendapatnya disampaikan dalam sebuah postingan di platform X.
Trump menawarkan alternatif, dengan mencabut peraturan Biden yang telah "mengecualikan teman dan sekutu penting geostrategis dengan kekayaan sumber dayanya dari ekosistem AI,” tulisnya. Sacks menambahkan: "Setiap negara pasti ingin berpartisipasi dalam revolusi AI. Jika kita menyelaraskan diri dengan mereka, kita akan menarik mereka ke dalam orbit kita. Jika kita menolak mereka, kita akan mendorong mereka ke dalam pelukan Cina."
Negara-negara Teluk semakin serius dengan AI
Telepas dari kekhawatiran AS akan Cina, sebenarnya Arab Saudi dan UEA memiliki ambisi besar dalam pengembangan AI, untuk mengurangi ketergantungan ekonomi mereka pada minyak.
"Arab Saudi sangat serius dengan kecerdasan buatan, karena AI adalah sektor yang strategis untuk diversifikasi," kata pakar Timur Tengah Karen E. Young. "Ini keuntungan yang didukung pasokan energi yang melimpah, ini membantu mereka memprediksi permintaan energi di masa depan."
Young memprediksi UAE "kemungkinan lebih maju" dalam pengembangan AI daripada Arab Saudi, karena telah memulainya lebih awal.
Kunjungan Trump ke negara-negara Teluk belum lama ini, turut membuahkan kesepakatan dengan UAE untuk membangun kampus AI terbesar di luar AS, dan memberikan akses cip mutakhir buatan AS kepada negara Teluk itu.
UEA telah membentuk grup teknologi yang disebut G42 sebagai platform utama bisnis AI-nya. G42 berhasil ‘menggandeng' Microsoft untuk berinvestasi lebih dari 1,5 miliar USD (sekitar 24,5 triliun rupiah).
Bagi perusahaan-perusahaan AS yang mencari investasi, negara-negara Teluk memberi peluang menarik karena didukung antusiasme dan akses ke dana milik negara yang tergolong paling besar di dunia.
Humain, kendaraan baru AI Saudi, sepenuhnya didanai oleh Dana Bantuan Investasi Publik (PIF) yang memilki anggaran sekitar 1 triliun USD (16 kuadriliun rupiah). PIF sebelumnya juga telah meluncurkan kemitraan pengembangan AI. Sementara itu, perusahaan minyak negara Saudi, Aramco, telah menjalin kemitraan dengan pembuat cip AS, Cerebras dan Groq.
"Negara teluk memiliki dua amunisi penting untuk menjadikannya negara dengan kekuatan AI yang besar, yang masih kurang saat ini adalah kemampuan komputasi dan orang-orang yang berbakat,” ujar Martin Chorzempa. "Namun dengan kekuatan yang cukup, modal, dan cip yang mutakhir, orang-orang akan tertarik mengembangkan AI.”
Menurut Karen E. Young, akses ke teknologi canggih adalah "prioritas nasional” Arab Saudi, dan kesediaan Trump untuk terlibat secara "transaksional, bukan seputar masalah keamanan atau tantangan politik" membantu tujuan tersebut.
Meskipun gelontoran investasi sangat besar menempatkan negara-negara Teluk pada pijakan fundamen yang kokoh, hal itu tidak serta-merta membuat kerja sama antarnegara "saling menguntungkan.”
Chorzempa melihat adanya risiko, perusahaan-perusahaan lokal, yang tidak dibatasi oleh masalah modal atau energi, dapat mengembangkan model mereka sendiri untuk bersaing dengan AS. Dia juga menunjukkan kemungkinan, bahwa Cina tidak perlu mendapatkan cip mutahir itu secara langsung untuk meraih keuntungan, tetapi dengan mengirimkan warganya untuk bekerja di negara-negara tersebut dan mempelajarinya.
"Satu hal yang paling menarik adalah, apakah para pengembang AI Cina, orang-orang yang berbakat yang yang tidak bisa datang ke Amerika Serikat untuk mengakses cip mutahir AS, dapat mengaksesnya dengan bekerja di Timur Tengah,” katanya. "Ini tentu akan menjadi kekhawatiran utama AS.”
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Sorta Caroline
Editor: Agus Setiawan