1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Ekonomi

Hubungan Indonesia-Cina: Titik Sensitif Pemimpin Mendatang

16 April 2019

Pelaksanaan pemilu serentak di Indonesia hanya tinggal dalam hitungan jam. Siapa pun yang memenangkan suara terbanyak nanti diperkirakan masih akan membawa isu sensitif jika terkait dengan Cina.

China Präsident Xi Jinping Staatsbesuch Jakarta Indonesien
Foto: Reuters

Menjadi salah satu kekuatan ekonomi yang terbesar di Asia dan termasuk di antara negara mitra dagang terpenting bagi Indonesia, tidak lantas membuat Cina populer di antara orang berhaluan konservatif di Indonesia.

Sejumlah proyek yang menggandeng investasi besar dari Cina pun disoroti dan menjadi kontroversi.

Proyek kereta api cepat senilai 5,9 miliar dolar AS yang menggandeng China Develompent Bank misalnya. Proyek ini banyak dikritik dan dinilai mubazir karena dianggap banyak alternatif transportasi massal lain yang lebih murah untuk menghubungkan kedua kota ini. Presiden pun dinilai terlalu lunak dalam menghadapi investor dari negara tirai bambu tersebut.

Kemitraan kuat di bidang ekonomi ini tidak melulu membuat nama Cina harum di mata publik Indonesia. 

Prasangka dan diskriminasi

Kerja sama ekonomi yang sering diberitakan oleh sejumlah media di Indonesia adalah mengenai kian membesarnya ketimpangan neraca perdagangan antara Indonesia-Cina serta isu serbuan para pekerja dari negara itu ke berbagai daerah di Indonesia yang akan merebut kesempatan kerja bagi tenaga kerja lokal. 

Prasangka terhadap etnis Cina memang mengakar jauh sejak jaman kolonialisme. Namun di masa Orde Baru prasangka ini memasuki fase baru terkait meletusnya peristiwa G30S/PKI. 

Pada kurun waktu tahun 1960-an terjadi beberapa kerusuhan dengan korban dari etnis Cina karena dianggap mendukung komunisme, salah satunya yaitu peristiwa Mangkuk Merah di Kalimantan Barat.

Setelah Suharto berkuasa, pemerintah Orde Baru kemudian merepresi besar-besaran masyarakat dengan latar belakang etnis Cina. Segala hal yang berbau Cina seperti tulisan, nama orang dan perayaan kebudayaan dilarang dirayakan.

Orang-orang dengan latar belakang etnis Cina pun tidak bisa berkarir di bidang pemerintahan dan politik.

Sebagai akibatnya, banyak dari mereka kemudian memutuskan untuk berdagang dan pada akhirnya dituduh menciptakan kesenjangan ekonomi yang memicu kerusuhan rasial.

Meski peraturan diskriminatif itu telah dihapus pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, sentimen anti-Cina kini tetap ada dan berkembang. 

Proyeksi kerja sama ekonomi lebih besar

Terlepas dari sentimen dan prasangka, kerja sama ekonomi Indonesia dan Cina diperkirakan akan bertambah intensif.

Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal Nasional (BKPM), Cina merupakan negara keempat terbesar penyumbang investasi asing langsung bagi Indonesia setelah Singapura, Jepang dan Malaysia.

Pada periode Januari – Desember 2018, investor dari Cina menginvestasikan dana sebesar 2,4 miliar dolar Amerika, atau sekitar 8,2 persen dari keseluruhan investasi asing yang masuk ke Indonesia.

Jumlah ini menurun bila dibandingkan dengan investasi Cina di Indonesia sepanjang 2017 yaitu 3,4 miliar dolar AS, atau sebessar 10,4 persen dari keseluruhan investasi asing.

Di masa mendatang, hubungan Cina dan Indonesia diprediksi akan kian menguat seiring dengan adanya Visi Kemitraan Strategis 2030 antara Cina dan negara-negara anggota Asean. 

Pilar kerja sama yang akan dibangun dalam visi ini antara negara-negara Asean dan Cina meliputi bidang kerjasama politik dan keamanan, bidang ekonomi dan bidang sosial budaya.

Di bidang kerja sama ekonomi misalnya, negara Asean dan Cina sepakat untuk mengintensifkan upaya pemenuhan target bersama volume perdagangan sebesar US $ 1 triliun dan investasi US $ 150 miliar pada 2020 melalui pendalaman hubungan ekonomi dan peningkatan konektivitas. Serta berharap meningkatkan hasil lebih banyak lagi pada 2030. 

Dengan adanya visi ini, hubungan dagang, investasi dan arus turisme di kawasan Asean dengan Cina diperkirakan akan meningkat pesat.

Kepala BKPM Thomas Lembong seperti dikutip dari Mietspiegelnews mengatakan bahwa investasi dari Cina mesti ditangani dengan benar agar mencapai potensi penuh di Indonesia. Lembong mengatakan sebagian besar negara yang ia tahu ingin bekerja sama dengan Cina dan terus mengembangkan investasi dan membuatnya semakin tidak kontroversial.

Ia lalu membandingkan investasi Cina dengan investasi Jepang di seluruh dunia pada tahun 80-an dan 90-an. 

"Hari ini, investasi Jepang di seluruh dunia diterima dengan baik dan benar-benar tidak dipertanyakan." Ia berpendapat jika Indonesia juga sedang bergerak ke arah yang sama dengan investasi dari Cina.

ae/hp (Mietspiegelnews, NZZ, China Daily, Asean.org, Tirto.id)