1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Apa Hubungan antara Krisis Iklim dan Cuaca Ekstrem?

Jan D. Walter | Beatrice Christofaro
28 Desember 2022

Ilmuwan memodelkan banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan secara real time dengan analisis atribusi untuk menentukan seberapa besar peran pemanasan global dalam setiap peristiwa. DW melihat lebih dekat.

Seorang pria berjalan di samping gundukan es di Hamburg, AS
Badai salju yang dahsyat telah menghantam sebagian wilayah AS dan Kanada selama akhir pekan NatalFoto: Lindsey DeDario/REUTERS

Badai salju dahsyat menerjang sebagian wilayah Amerika Serikat dari utara ke selatan, menewaskan sedikitnya 50 orang. Jutaan orang harus hidup tanpa aliran listrik, tidak sedikit yang terjebak di dalam mobil atau terdampar di bandara lantaran banyak penerbangan yang dibatalkan.

Namun, warga Amerika bukan satu-satunya yang harus berjuang menghadapi cuaca ekstrem di musim liburan ini. Hujan deras di Filipina juga menyebabkan banjir bandang hingga menewaskan sedikiznya 25 orang dan membuat ribuan orang mengungsi. Sementara Afrika terus berjuang melawan kekeringan paling parah dalam beberapa dekade terakhir.

Bencana-bencana ini membuat banyak orang mengaitkannya dengan krisis iklim. Bisakah kita menentukan seberapa besar faktor perubahan iklim berperan dalam bencana alam tertentu?

"Cuaca ekstrem selalu ada dan akan selalu ada," kata Sjoukje Philip, seorang peneliti iklim di Institut Meteorologi Kerajaan Belanda. "Namun, perubahan iklim mungkin berdampak pada probabilitas ekstremitas peristiwa cuaca ekstrem", tambahnya.

Menentukan kontribusi perubahan iklim, adalah apa yang coba diprediksi oleh Philip, bersama tim peneliti internasional di World Weather Attribution, dengan melakukan analisis atribusi secara real time dari peristiwa cuaca global saat terjadi.

Apakah pemanasan global memicu banjir dan gelombang panas?

Bencana cuaca tidak pernah hanya disebabkan oleh satu penyebab. Tapi merupakan gabungan dari faktor alam dan faktor aktivitas manusia. Misalnya, penggundulan hutan skala besar dan pengaspalan area hijau yang dapat memperparah bencana banjir.

Perubahan iklim juga merupakan faktor manusia, tetapi tidak pernah menjadi satu-satunya pemicu bencana cuaca. "Pengaruhnya bergantung pada fenomena cuaca yang bersangkutan dan bobotnya berbeda untuk setiap peristiwa", kata ahli klimatologi Jerman Friederike Otto dari Imperial College di London dan pendiri tim peneliti Atribusi Cuaca Dunia.

"Perubahan iklim memainkan peran besar untuk beberapa peristiwa", kata Otto menambahkan. "Tetapi untuk sebagian besar peristiwa lainnya seperti hujan deras atau kekeringan, sering kali faktor tersebut relatif kecil dibandingkan dengan yang lain", papar pakar klimatologi itu.

Infografis yang menunjukkan bagaimana cuaca ekstrem dipengaruhi oleh suhu yang lebih tinggi

"Saat iklim Bumi menghangat, atmosfer kita dapat menahan lebih banyak kelembapan, kira-kira 7% lebih banyak untuk setiap 1 derajat (Celsius) pemanasan. Kelembapan tambahan itu berkontribusi pada curah hujan yang lebih tinggi, termasuk hujan salju," jelas Peter Girard, juru bicara resmi untuk lembaga nirlaba AS Climate Central.

Sementara hujan salju terjadi lebih intens di beberapa bagian Asia Utara dan Timur, Amerika Utara dan Greenland, para ilmuwan masih belum yakin bagaimana tepatnya perubahan iklim memengaruhi badai musim dingin di banyak tempat.

"Hubungan antara suhu ekstrem dan pemanasan global jauh lebih langsung", kata Sjoukje Philip. Perubahan suhu tidak harus lebih ekstrem, tetapi karena suhu rata-rata global meningkat, gelombang panas menjadi lebih panas dan udara dingin menjadi lebih moderat.

"Dengan gelombang panas, perubahan iklim benar-benar mengubah permainan," kata Friederike Otto.

Apakah perubahan iklim punya dampak yang sama di mana-mana?

"Dampak perubahan iklim juga berbeda dari satu daerah ke daerah lainnya", kata Philip lebih lanjut. "Jadi meski untuk jenis cuaca ekstrem yang serupa, tetap bisa berbeda untuk daerah yang berbeda."

Pemanasan global membuat peristiwa hujan deras hingga banjir 1,2 hingga 9 kali lebih mungkin terjadi. Pada saat yang sama, curah hujan kemungkinan besar 3% hingga 19% lebih kuat daripada 120 tahun yang lalu, kata kelompok riset tersebut.

Jadi, ketidakpastian dalam atribusi cuaca sangat bervariasi, tergantung pada lokasi. Ilmuwan iklim dapat menentukan pengaruh pemanasan lebih tepat di wilayah yang lebih besar. Namun, jelas bahwa pengaruh pemanasan global terhadap hujan deras di Afrika Selatan, kemungkinan besar lebih kecil daripada di Eropa Tengah.

Memprediksi bencana cuaca di masa depan

Potensi bencana di masa depan tidak dapat diprediksi dengan model yang ada — cuacanya terlalu kacau untuk itu. Prakiraan cuaca yang akurat hanya mungkin dilakukan beberapa hari sebelumnya

Namun, model atribusi cuaca dapat menghitung dengan sangat baik frekuensi pola cuaca tertentu," kata Otto.

Menurut temuan Atribusi Cuaca Dunia, saat kita terus membakar bahan bakar fosil yang menyebabkan suhu rata-rata global meningkat, dengan dampak pola cuaca yang dapat memicu banjir, kekeringan, dan bencana ekstrem lainnya menjadi lebih mungkin terjadi. (ha/as)

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait