1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hubungan Perancis dan Libya

27 Juli 2007

Presiden Perancis Sarkozy bertemu dengan pimpinan Libya Gaddafi dan menyepakati berbagai proyek, antara lain pembangunan reaktor atom.

Gaddafi berjabat tangan dengan Sarkozy
Gaddafi berjabat tangan dengan SarkozyFoto: AP

Hubungan Libya-Perancis ditanggapi kritis terutama oleh harian-harian Perancis. Harian Perancis Le Figaro berkomentar:

“Apakah orang bisa mempercayai kolonel Gaddafi? Pemimpin ini, yang mengijinkan peledakan dua pesawat penumpang dari Barat, belakangan berubah dan sekarang ingin kembali ke pangkuan masyarakat internasional. Perkembangan ini hendaknya diamati dengan hati-hati. Libya masih sebuah negara diktatur, tanpa oposisi, dikuasai oleh seorang yang sulit diperhitungkan.“

Harian Le Monde menanggapi:

„Kolonel Gaddafi bisa menjadi mitra bicara penting dalam konflik-konflik berdarah di Afrika Timur, sebut saja di Darfur. Tapi ia bisa juga jadi pengacau, atau jadi pembawa perdamaian. Perancis dan Tchad beberapa kali mengalaminya. Gaddafi bisa jadi sekutu untuk Uni Laut Tengah, yang sangat diinginkan Sarkozy. Ini semua argumen untuk hubungan erat dengan Libya, jika negara ini memang benar-benar menerapkan standar internasional dalam berhubungan dan sikap saling menghormati. Sikap buru-buru seperti yang ditunjukkan presiden Perancis meninggalkan kesan tidak baik. Sarkozy menyatakan ingin membawa aspek moral dalam politik luar negeri. Tapi Libya adalah contoh yang sebaliknya.“

Harian Perancis lainnya La Tribune menulis:

“Kata-kata gembira yang mengiringi pengumuman tender untuk industri atom Perancis memang legitim. Keuntungan ekonomis termasuk jaminan lapangan kerja dari tender besar semacam itu tentu akan disambut. Kegembiraan mungkin akan sempurna, jika saja tidak muncul kegundahan, setiap kali mendengar nama Gaddafi dikaitkan dengan atom. Sulit dilupakan, bahwa pimpinan Libya ini adalah orang yang sulit diperhitungkan. Dan sulit juga melupakan, bahwa Iran dan Pakistan dulu juga selama bertahun-tahun bersumpah hanya akan menggunakan atom untuk kepentingan sipil. Kita tau, apa yang kemudian terjadi.“

Harian Jerman tageszeitung menilai:

„Jika Uni Eropa selama ini memang bermaksud menerapkan politik hak asasi yang kredibel, sekarang cita-cita itu dilupakan saja. Karena perjalanan presiden Perancis Nicolas Sarkozy ke Libya dan bisnis atom dan militernya hanya merupakan bab sambungan dari kisah memalukan berjudul: suami isteri Sarkozy menyelamatkan juru rawat Bulgaria. Ini adalah hal memalukan bagi Eropa.“

Harian Jerman lain, Nordkurier menulis:

„Sarkozy mendemonstrasikan, bagaimana ia di masa depan akan mengarahkan politik ekonominya. Ia bermaksud mengedepankan kepentingan Perancis dengan seluruh otoritas jabatannya. Dalam hal ini, ia berhasil menggaet tender besar untuk industri atom Perancis. Pembangunan reaktor nuklir hanyalah awalnya saja. Libya sudah mengisyaratkan minat pada teknologi senjata Perancis dan menawarkan akses untuk sumber uraniumnya. Teknologi nuklir di tangan Muammar el Gaddafi adalah suatu resiko, sekalipun sang pemimpin revolusi sejak beberapa tahun terakhir bersikap lunak.“