“Apakah di Tiongkok pas angpao dibuka isinya virus corona?” demikian seorang komedian melontarkan 'guyonan' di hadapan audiens. Siapa yang menganggap celotehan itu lucu? Simak opini Geger Riyanto.
Iklan
Seorang komedian Indonesia disikat khalayak karena menjadikan Covid-19 bahan lawakannya. Lawakannya dianggap tak punya empati dan sekadar cari sensasi. “Gong Xi Fa Cai!” demikian si komedian membuka lawakannya. “Apakah di Tiongkok pas angpao dibuka isinya virus corona?”
Sebut saja komedian ini Choki-Choki. Saya tak ingin kian mengerek ketenarannya dengan menyebut namanya. Benar. Bukan kali ini saja Choki-Choki menuai kontroversi. Sebelumnya, ia menyerang orang-orang yang mengatakan banjir sebagai azab maksiat. Ketika banjir melanda Jakarta di awal tahun, semua terkena dampaknya. “Kalau tahu sama-sama kena banjir, mending semalam mabok....,” tulisnya.
Sebelumnya lagi? Ia bersama rekannya memasak daging babi dengan sari kurma. “Bagaimana jika sari-sari kurma masuk ke pori-pori [daging babi]?” tanya Choki-Choki. “Apakah cacing pitanya jadi mualaf?”
Humor Gelap sebagai Misi
Anda merasa lawakan-lawakan tersebut keterlaluan? Bila Anda berpikir demikian, pandangan Anda sepihak dengan sebagian besar publik yang merespons candaan Choki-Choki. Hanya segelintir yang membela ekspresi pelawak bersangkutan, dan terlihat bahwa yang segelintir ini telah akrab dengan kiprahnya. Pelawak-pelawak lain pun mengkritiknya.
Choki-Choki, dalam pengakuannya setidaknya, tak berkelakar dengan kepala kosong. Ia tidak sekadar ingin menarik perhatian publik melainkan datang dengan misi yang terdengar heroik—menyelamatkan humor Indonesia dari kejumudan. Humor di Indonesia, katanya, cenderung monolitik. Humor di Indonesia pun dijauhkan dari tema-tema yang lebih keras dengan asas, katakanlah, SARA. Choki-Choki, karenanya, ingin membiasakan publik dengan humor gelap, humor yang tak takut menjadikan pamali sebagai bahan tertawaan.
Adakah yang salah dengan ini? Ada. Ia bisa digunakan untuk menyelubungi usaha-usaha menggaet sensasi yang tidak jenaka dan bahkan dungu sebagai humor.
Dari tiga lawakan Choki-Choki di atas, katakanlah, adakah yang bahkan pantas untuk disebut lucu? Saya tidak yakin ada. Choki-Choki bilang selera humor berbeda-beda. Lucunya, ia jelas-jelas sadar dengan potensi kata-katanya menyinggung banyak orang. Mengapa ia tidak sadar bahwa banyak orang juga bisa bilang kelakarnya tersebut norak?
Bebas Tapi Sopan
Saya sebenarnya paham mengapa humor bisa bercabang menjadi humor gelap. Lawakan, memang, acap kali melabrak pamali serta hal-hal sensitif. Humor telah lama diteliti dan ada beberapa teori mengapa manusia menganggap sesuatu jenaka. Saya tak ingin terlalu mendetailkannya. Yang pasti, para pengkaji sepakat seseorang tertawa karena dirinya merasa superior atau karena ia menjumpai hal yang tidak pada tempatnya—paradoks, sebut saja.
Ambil saja kata-kata yang sempat diucapkan Homer Simpson, tokoh dari serial The Simpsons. “Kamu telah mencoba sebaik-baiknya dan kamu gagal total,” Homer menasihati anaknya. “Pelajaran moralnya… tak usah mencoba.” Pernyataan ini menjadi lawakan ikonik dari serial kartun bersangkutan. Ia jenaka karena penonton mengira Homer akan menasihati dengan bijak, sebagaimana orang tua pada wajarnya. Sebaliknya, Homer malah melunturkan motivasi anaknya.
Cak Lontong dari Indonesia Lawak Club acap kali memainkan kartu serupa. “Pekerjaan seberat apa pun akan terasa ringan apabila tidak dikerjakan,” ujar Cak Lontong. Ungkapan Cak Lontong tersebut memelintir apa yang kita bayangkan akan kita dapatkan dari ungkapan motivasi. Awalnya, kata-katanya terdengar seolah hendak memotivasi. Namun, isinya justru melunturkan motivasi. Dan perhatikan, kejenakaan di atas juga muncul dari keberhasilan menghina pihak lain. Siapa yang terhina? Para motivator dan ungkapan-ungkapannya. Ungkapan-ungkapan motivasi klise mereka jadi terdengar konyol.
Dengan potensinya ini, lawakan juga acap menjadi alat membongkar hierarki—menistakan mereka yang pada hari-hari biasa berada di posisi lebih tinggi atau berkuasa. Hierarki yang lumrah menjadi sasaran banyak pelawan Barat ialah hierarki agama, dan di Indonesia pada kurun Orde Baru, negara. George Carlin, misal, pernah berkelakar sebagai berikut: “Saya punya otoritas yang sama dengan Paus. Hanya saja, yang percaya saya tak sebanyak orang yang percaya Paus.” Di tembok-tembok kampus pada masa Orde Baru, contoh lainnya, muncul tulisan “bebas tapi sopan” yang mengejek pernyataan-pernyataan pejabat di Indonesia yang serba kontradiktif.
Ketika mendengar ekspresi-ekspresi di atas, kita merasa lebih superior dibandingkan otoritas yang ada.
Lebih Kompleks
Hanya saja, kelakar Choki-Choki cuma sukses memainkan kartu superioritas tanpa mengatur paradoksnya secara cerdas. Ia lucu? Mungkin. Namun, kejenakaannya tak lebih untuk kalangan yang sangat terbatas. Toh, humornya semata bertumpu pada bagaimana ia menjadikan dirinya atau pendengarnya yang terbatas tampak lebih superior ketimbang kelompok agamis.
Dan hal yang tak diperhitungkannya adalah potensi lawakannya melanggengkan prasangka. Dengan melekatkan orang Tiongkok dengan corona, ia bisa memperparah prasangka rasis yang sudah banyak berdampak pada kekerasan terhadap orang Asia di banyak negara. Hal yang membahayakan semacam ini tak bisa dibela dengan argumentasi kebebasan berekspresi. Ada alasan yang sangat masuk akal mengapa banyak aktivis menekankan perkosaan tak boleh dijadikan lawakan. Ia bisa menumpulkan kepekaan kita terhadap betapa traumatisnya pengalaman perkosaan bagi korbannya.
Humor gelap lebih kompleks dari sekadar mencerca orang lain. Benar kata sebuah ungkapan. “Humor gelap seperti makanan. Tidak semua bisa mendapatkannya.”
@gegerriy
Esais dan peneliti yang tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Silakan bagi komentar Anda atas opini di atas pada kolom di bawah ini.
Solidaritas dan Humor Warga Dunia Menghadapi Krisis Virus Corona
Masyarakat dunia berikan dorongan semangat untuk hadapi krisis virus corona global. Humanitas terbukti bisa bersatu saat wabah. Solidaritas ditunjukkan mulai dari menyerukan #stayathome sampai memburu boneka beruang.
Foto: picture-alliance/abaca/IPA/P. Tenagli
Memburu boneka beruang
Karena sekolah dan taman kanak-kanak ditutup selama berminggu-minggu, anak-anak mulai bosan. Untuk tetap menghibur mereka, ribuan orang Belgia dan Belanda menaruh boneka beruang yang imut di depan jendela - ini saatnya untuk melihat beruang! Banyak beruang terdaftar di peta interaktif sehingga orang tua dapat merencanakan acara keluarga di sepanjang rute yang memiliki boneka beruang paling banyak.
Orang lanjut usia menjadi kelompok risiko tinggi terinfeksi COVID-19 dibanding orang yang lebih muda. Untuk melindungi mereka, supermarket di banyak negara menawarkan waktu khusus bagi warga lanjut usia, yang memungkinkan mereka berbelanja dengan relatif aman.
Foto: picture-alliance/ZUMA Wire/P. Dambarage
Mencerahkan kehidupan sehari-hari
Turki mengambil cara yang berbeda, karantina diberlakukan untuk manula di atas 65 tahun atau yang punya riwayat sakit kronis - demi melindungi mereka. Zulkif Cengiz (25 tahun) memainkan beberapa lagu untuk menghibur para manula yang tinggal di rumah di kota Merzin. Di negara lain, orang bernyanyi di depan panti jompo karena penghuninya tidak dapat menerima pengunjung demi hindari penularan virus.
Foto: picture-alliance/AA/M. U. Uysal
Pendekatan positif
Setelah lockdown, orang Italia diwajibkan untuk tinggal di apartemen mereka selama berminggu-minggu. Langkah-langkah darurat tetap diberlakukan sampai setidaknya pertengahan April. Tapi mereka belum putus asa. Poster dengan motif pelangi berwarna-warni dan slogan: "Andra tutto bene" ("Semuanya akan baik-baik saja") bergantungan di jendela dan dari balkon di seluruh negara.
Foto: picture-alliance/abaca/IPA/P. Tenagli
'Italia, kami bersama kamu'
Solidaritas di Beslan, barat daya Rusia. Oang menyalakan lilin untuk menunjukkan solidaritas mereka dengan Italia, salah satu negara yang paling terpukul oleh pandemi. Di Paraguay, Polandia, dan Bosnia-Herzegovina, bangunan diterangi dengan warna bendera Italia, hijau, putih, dan merah. Di Cina, bus triwarna dioperasikan yang pegangan dan sandaran kursinya bertuliskan, "Bergembiralah, Italia."
Foto: picture-alliance/TASS/O. Smolskaya
Harapan di cakrawala
Swiss juga mengirimkan pesan solidaritas. Sesuai dengan moto "cahaya adalah harapan," pesan-pesan berwarna cerah dipancarkan dari Matterhorn, gunung Swiss yang sangat simbolis. Tapi "#hope" berganti dengan "#stayathome" - Seruan untuk menyikapii pandemi secara serius dan tidak keluar rumah.
Foto: picture-alliance/Keystone/V. Flauraud
Mari kita berpura-pura kita sedang liburan
Pandemi itu membuat Adas Vasiliauskas kehilangan pekerjaan rutinnya. Jangan putus asa, pikir fotografer Lithuania itu. Sebagai gantinya, ia menggunakan pesawat tanpa awak untuk mengambil foto bagaimana orang Lithuania menghabiskan waktu di rumah selama karantina. Sepertinya menyenangkan: berjemur di atap, berolahraga di balkon, berdandan atau memimpikan liburan berikutnya.
Kehidupan publik juga berhenti di Bangladesh. Ketika orang tidak lagi keluar untuk makan itu menjadi sebuah masalah bagi hewan yang mencari makan di tempat sampah dan makanan sisa. Relawan di ibu kota, Dhaka, memberi makan anjing-anjing liar. Di Jerman, Asosiasi Kesejahteraan Hewan telah memperingatkan bahwa merpati di kota-kota juga menghadapi kelaparan.
Foto: picture-alliance/NurPhoto/S. M. Rahman
Tunjukkan penghargaan
Staf medis di banyak negara telah bekerja keras tanpa jeda selama berminggu-minggu. Di Eropa, orang berdiri di jendela terbuka dan balkon pada malam hari untuk bertepuk tangan kepada dokter dan perawat. Warga Pakistan mengibarkan bendera putih sebagai tanda terima kasih kepada staf medis. Tetapi ada tanda penghargaan yang lebih efektif yaitu dengan tinggal di rumah demi perlambat penyebaran virus.
Foto: picture-alliance/Zuma/PPI
Masker buatan sendiri
Di seluruh dunia, relawan menjahit masker sederhana. Maskernya mungkin tidak selalu melindungi pemakainya dari infeksi, tetapi jika diikat dengan benar di mulut dan hidung, masker dapat membantu mencegah penyebaran virus. Masker yang dibuat oleh para wanita Armenia-Suriah ini akan didistribusikan di kalangan menengah ke bawah di Aleppo.
Foto: Getty Images/AFP
Memerangi infeksi melalui seni
Membantu dengan melakukan hal yang kita mahir, diterapkan kolektif seniman grafiti Kru RBS di Senegal. Dengan karya seni mereka di dinding di Dakar, mereka menunjukkan kepada masyarakat bagaimana mereka dapat membendung penyebaran virus corona. Bersin di bagian dalam lengan Anda adalah salah satu aturan penting untuk melindungi orang lain.
Foto: Getty Images/AFP/Seyllou
Selera humor
Reuben Ward berjalan di sekitar ibukota Amerika Serikat, Washington D.C., berpakaian seperti Tyrannosaurus Rex yang menakutkan dan besar. "Itu adalah cara menghibur untuk mengalihkan perhatian mereka sejenak dari virus corona dan menghibur mereka," kata pria 29 tahun itu. Pesannya: Sekalipun situasinya serius, Anda juga perlu menjaga selera humor.
Foto: picture-alliance/AP Photo/J. Martin
Gangguan manis
Di Jerman, humor terkait virus corona cenderung dikaitkan dengan makanan. Misalnya cokelat berbentuk antibodi virus corona, kue yang berbentuk seperti gulungan kertas toilet dan kelinci cokelat Paskah lengkap dengan masker wajah. Tapi bukan Jerman jika tidak ada sesuatu untuk dikeluhkan: Para kritikus menilai barang dagangan itu mencerminkan selera buruk.
Foto: picture-alliance/AP Photo/J. Meyer
Bonus kertas toilet
Kertas toilet laku keras di banyak negara. Sebuah restoran di negara bagian Minnesota, Amerika Serikat, memberi bonus satu gulung kertas toilet untuk setiap pesanan yang dibawa pulang seharga lebih dari $ 25 (Rp 416.000). "Ketika pelanggan mengambil pesanan mereka, Anda mendengar tawa tulus dan itu yang terbaik saat ini," kata pemiliknya kepada FOX 9. Ini juga jadi strategi pemasaran yang cerdas.
Foto: picture-alliance/CBG/Cover Images
Badut atau presiden?
Reaksi masyarakat terhadap krisis juga ada yang berupa sindiran. Aira Ocrespo bukan satu-satunya yang mengkritik Presiden Brasil, Jair Bolsonaro karena pendekatannya yang lemah terhadap pandemi COVID-19. Senimaan ini menyindir, hidung badut merah adalah satu-satunya perlindungan wajah yang dikenakan presiden untuk melawan virus corona. (Ed:fs/as)