Presiden Joko Widodo memperingatkan TNI agar menjauhi kancah politik praktis dan menjunjung kesetiaan pada otoritas sipil. Peringatan tersebut dilayangkan ketika Panglima Gatot Nurmantyo mempersoalkan peran pasif TNI
Iklan
Bukan kebanggan sejarah, malah polemik seputar kesetiaan prajurit yang mendominasi perayaan HUT ke-72 Tentara Nasional Indonesia. Dalam upacara di Cilegon, Presiden Joko Widodo mewanti-wanti TNI agar menjunjung tinggi profesionalitas dan menjauhi "kancah politik praktis."
Peringatan tersebut disampaikan presiden di tengah kisruh soal hak politik TNI yang didengungkan Panglima Gatot Nurmantyo. "Kesetiaan berarti memperjuangkan kepentingan rakyat dan kesetiaan kepada Pemerintah yang sah," ujarnya. "TNI adalah milik nasional yang tidak dikotak-kotakkan kepentingan politik yang sempit dan kancah politik praktis."
Seakan gayung bersambut, Nurmantyo dalam pidatonya menegaskan sikap TNI "yang akan setia dan menjunjung tinggi sumpah prajuit, serta taat kepada atasan yaitu Presiden RI yang dipilih secara sah sesuai konstitusi," ucapnya yang disambut dengan anggukan oleh Jokowi.
Akrobat Panglima Menuju Istana
Berulangkali manuver Panglima TNI Gatot Nurmantyo menyudutkan Presiden Joko Widodo. Sang jendral ditengarai memiliki ambisi politik. Inilah sepak terjang Nurmantyo membangun basis dukungan jelang Pemilu 2019.
Foto: Reuters/Beawiharta
Wacana Tentara Berpolitik
Ambisi politik Gatot Nurmantyo sudah tercium sejak akhir 2016 ketika dia mewancanakan hak politik bagi anggota TNI. Menurutnya prajurit saat ini seperti "warga asing" yang tidak bisa berpolitik. Ia mengaku gagasan tersebut cepat atau lambat akan terwujud. "Ide ini bukan untuk sekarang, mungkin 10 tahun ke depan, ketika semua sudah siap."
Foto: Reuters/Beawiharta
Petualangan di Ranah Publik
Bersama Nurmantyo, TNI berusaha kembali ke ranah sipil. Lembaga HAM Imparsial mencatat Mabes TNI menandatangani "ratusan" kerjasama dengan berbagai lembaga, termasuk universitas dan pemerintah daerah. TNI tidak hanya dilibatkan dalam urusan pemadaman kebakaran hutan, tetapi juga pertanian dan pembangunan infrastruktur seperti pada proyek pembangunan jalan Transpapua.
Foto: Imago/Zumapress
Menggoyang Otoritas Sipil
Februari silam Nurmantyo mengeluhkan pembatasan kewenangan panglima TNI dalam hal pengadaan senjata. Pasalnya Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengeluarkan peraturan yang mengembalikan kewenangan pembelian sistem alutsista pada kementerian. Dengan ucapannya itu Nurmantyo dinilai ingin mengusik salah satu pilar Reformasi, yakni UU 03/2002 yang menjamin otoritas sipil atas militer.
Foto: Reuters/Beawiharta
Polemik Dengan Australia
Akhir Februari Nurmantyo secara mendadak membekukan kerjasaman pelatihan militer dengan Australia. Keputusan Mabes TNI dikabarkan mengejutkan Istana Negara. Presiden Joko Widodo akhirnya mengambil sikap mendukung keputusan Nurmantyo dan ikut memperingatkan Australia. Namun sejumlah pejabat tinggi di Canberra menilai kasus tersebut selayaknya diselesaikan tanpa keterlibatan publik.
Foto: Imago/Zumapress
Genderang Xenofobia dari Cilangkap
Bukan kali pertama Nurmantyo membidik Australia. Oktober 2016 dia menyebut negeri jiran itu terlibat dalam "perang proxy" melawan Indonesia di Timor Leste dengan tujuan "memecah belah bangsa." Ia juga mengklaim ancaman terbesar terhadap Indonesia akan berasal dari kekuatan asing yang "berebut energi dari negara equator yang kaya sumber daya alam."
Sejak berakhirnya Pilkada DKI Nurmantyo juga aktif mendekat ke kelompok konservatif muslim. Ketika Kapolri Tito Karnavian mengklaim kepolisian menemukan indikasi makar pada aksi demonstrasi 212 di Jakarta, Nurmantyo mengatakan dirinya "tersinggung, karena saya umat muslim juga." Panglima juga berulangkali memuji pentolan FPI Rizieq Shihab sebagai sosok yang "cinta Indonesia."
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Teladan di Astana Giribangun
Isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia yang disebarkan kelompok Islam konservatif dan sejumlah tokoh seperti Kivlan Zein dan Amien Rais disambut Nurmantyo dengan mewajibkan prajurit TNI untuk menonton film propaganda orde baru Pengkhianatan G30-S PKI. Setelah melontarkan wacana tersebut, Nurmantyo mengunjungi makam bekas Presiden Soeharto yang menurutnya patut menjadi "tauladan" prajurit TNI
Foto: picture-alliance/dpa
Peluru Panas ke Arah Istana
Polemik terakhir yang dipicu Panglima TNI adalah isu penyelundupan senjata api sebanyak 5500 pucuk. Ia mengklaim laporan tersebut berasal dari data akurat dinas intelijen. Pemerintah mengklarifikasi pembelian itu untuk Kepolisian dan Badan Intelijen Negara. Namun Nurmantyo enggan meluruskan pernyataannya tersebut. (rzn/yf-sumber: antara, detik, cnnindonesia, kompas, tempo, aspi, ipac)
Foto: picture-alliance/Photoshot/A. Kuncahya
8 foto1 | 8
Petualangan politik Nurmantyo belakangan menjadi bumerang setelah sejumlah tokoh mengritik mantan Pangkostrad itu lantaran dianggap gagal menghadirkan kestabilan. Mantan Panglima TNI, Jendral Purn. Moeldoko misalnya menilai Nurmantyo seharusnya menjaga proesionalitas sebagai prajurit. "Kalau semua prajurit menuju ke sana maka tidak sempat lagi mikir masalah politik," ujarnya seperti dilansir CNN Indonesia.
Selama lebih dari tiga dekade TNI menikmati perannya sebagai pilar kekuasaan orde baru. Tidak lain adalah Jendral AH Nasution yang membumikan doktrin Dwifungsi TNI yang mencabut peran militer sebagai alat sipil dan menempatkannya sebagai "suatu kekuatan sosial," kata penyintas Gerakan 30 September itu pada 1958.
Keistimewaan tersebut berakhir seiring reformasi yang menanggalkan hak berpolitik TNI dan menempatkan tentara di bawah otoritas sipil. Namun Nurmantyo beranggapan prajurit "bisa kembali berpolitik," suatu saat nanti, "jika masyarakat sudah siap," katanya belum lama ini.
Pemerintah buru-buru meralat pernyataan panglima. "Tidak ada upaya mengembalikan supremasi militer. Itu sudah selesai sejak saya menjadi Panglima ABRI waktu itu," kata Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Wiranto pekan lalu.
Dua Wajah Tentara - NKRI di Bawah Bayang Militer
TNI banyak berjasa menyatukan Indonesia. Tapi kiprah mereka di tiga wilayah justru membuktikan sebaliknya. Pendekatan keamanan yang dianut mabes di Cilangkap justru mendorong separatisme dan mengancam keutuhan NKRI
Foto: AFP/Getty Images/Choo Youn Kong
Ancaman Terhadap NKRI?
Presiden Joko Widodo menjadi kepala negara pertama yang memahami perlunya perubahan di tubuh TNI. Ia memerintahkan pergeseran paradigma di Papua, "bukan lagi pendekatan keamanan represif, tetapi diganti pendekatan pembangunan dengan pendekatan kesejahteraan." Diyakini, kiprah TNI menjaga kesatuan RI justru banyak melahirkan gerakan separatisme.
Foto: Reuters/Beawiharta
Api di Tanah Bara
Sejak Penentuan Pendapat Rakyat 1969 yang banyak memicu keraguan, Papua berada dalam dekapan militer Indonesia. Sejak itu pula Jakarta menerapkan pendekatan keamanan buat memastikan provinsi di ufuk timur itu tetap menjadi bagian NKRI. Tapi keterlibatan TNI bukan tanpa dosa. Puluhan hingga ratusan kasus pelanggaran HAM dicatat hingga kini.
Foto: T. Eranius/AFP/Getty Images
Rasionalisasi Pembunuhan
Tudingan terberat ke arah mabes TNI di Cilangkap adalah rasionalisasi pembunuhan warga sipil di Papua. Theys Hiyo Eluay yang ditemukan mati tahun 2001 silam adalah salah satu korban. Pelakunya, anggota Komando Pasukan Khusus, mendapat hukuman ringan berkat campur tangan bekas Kepala Staf TNI, Ryamizad Ryacudu yang kini jadi Menteri Pertahanan. "Pembunuh Theys adalah pahlawan," katanya saat itu
Foto: Getty Images/AFP/T. Eranius
Merawat Konflik, Menjaga Kepentingan
Berulangkali aksi TNI memprovokasi konflik dan kerusuhan. Desember 2014 silam aparat keamanan menembak mati empat orang ketika warga Paniai mengamuk lantaran salah satu rekannya dipukuli hingga mati oleh TNI. Provokasi berupa pembunuhan juga dilakukan di beberapa daerah lain di Papua. Faktanya nasionalisme Papua berkembang pesat akibat tindakan represif TNI, seperti juga di Aceh dan Timor Leste
Foto: picture-alliance/dpa
Seroja Dipetik Paksa
Diperkirakan hingga 200.000 orang meninggal dunia dan hilang selama 24 tahun pendudukan Indonesia di Timor Leste. Sejak operasi Seroja 1975, Timor Leste secara praktis berada di bawah kekuasaan TNI, meski ada upaya kuat Suharto buat membangun pemerintahan sipil.
Foto: picture-alliance/dpa
Petaka di Santa Cruz
Kegagalan pemerintahan sipil Indonesia di Timor Leste berakibat fatal. Pada 12 November 1991, aksi demonstrasi mahasiswa menuntut referendum dan kemerdekaan dijawab dengan aksi brutal oleh aparat keamanan. Sebanyak 271 orang tewas, 382 terluka, dan 250 lainnya menghilang.
Foto: picture-alliance/dpa
Akhir Kegelapan
Sejak pembantaian tersebut Indonesia mulai dihujani tekanan internasional buat membebaskan Timor Leste. Australia yang tadinya mendukung pendudukan, berbalik mendesak kemerdekaan bekas koloni Portugal itu. PBB pun mulai menggodok opsi misi perdamaian. Akhirnya menyusul arus balik reformasi 1998, penduduk Timor Leste menggelar referendum kemerdekaan tahun 1999 yang didukung lebih dari 70% pemilih.
Foto: picture-alliance/dpa/Choo
Serambi Berdarah
Pendekatan serupa dianut TNI menyikapi kebangkitan nasionalisme Aceh, meski dengan akhir yang berbeda. Perang yang dilancarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka, dijawab dengan teror terhadap pendukung dan simpatisan organisasi pimpinan Hasan Tiro itu. Namun berbagai aksi keji TNI justru memperkuat kebencian masyarakat Aceh terhadap pemerintah Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/O. Budhi
Daerah Operasi Militer
Dua kali Jakarta mendeklarasikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer, antara 1990-1998 dan 2003-2004. Amnesty International mencatat, perang di Aceh sedikitnya menelan 15.000 korban jiwa, kebanyakan warga sipil. TNI dituding bertanggungjawab dalam banyak kasus pelanggaran HAM, antara lain penyiksaan dan pemerkosaan, tapi hingga kini tidak ada konsekuensi hukum.
Foto: picture-alliance/dpa/Saini
Alam Berbicara
Perang di Aceh berakhir dramatis. Di tengah eskalasi kekerasan pada masa darurat militer, bencana alam berupa gempa bumi dan Tsunami menghantam provinsi di ujung barat Indonesia itu. Lebih dari 100.000 penduduk tewas. Tidak lama kemudian semua pihak yang bertikai sepakat berdamai dengan menandatangani perjanjian di Helsinki, 2005.
Foto: AFP/Getty Images/Choo Youn Kong
10 foto1 | 10
Meski Nurmantyo berulangkali membantah dirinya terlibat politik praktis, ketua Setara Institute, Hendardi, menilai sepak terjang panglima bisa dikategorikan sebagai manuver politik karena "memanfaatkan jabatan untuk memetik keuntungan politik elektoral," tulisnya dalam sebuah siaran pers.