Bagi sebagian masyarakat kita, peringatan ulang tahun Kopassus (16 April) bisa sedikit memberi kebahagiaan dan harapan. Kenapa demikian? Simak opini Aris Santoso.
Iklan
Satuan legendaris seperti Kopassus adalah aset bangsa. Satuan dengan sebutan populer Korps Baret Merah tersebut bagaikan oase, di tengah kompleksnya masalah yang mendera bangsa kita.
Ketika tulisan ini disusun, saya baru saja mendengar berita soal tewasnya 30 orang di wilayah Jabodetabek dalam kurun waktu hanya satu hari (Rabu, 4/4), usai mengonsumsi minuman keras oplosan, jenis minuman alkohol kelas bawah. Sementara di level yang lebih tinggi, hampir setiap hari kita mendengar operasi tangkap tangan KPK terhadap pejabat publik yang korup.
Dua komunitas itu sebenarnya sama-sama memburu kebahagiaan, namun dengan cara yang berbeda, bahkan bagi yang kelas bawah justru berakhir tragis. Sementara para pejabat korup masih sempat-sempatnya mengumbar senyum, meski sudah mengenakan rompi oranye KPK. Pemberitaan seperti ini menjadikan kita prihatin, dan membuat malu bila berhadapan dengan bangsa lain.
Belum lagi berita seputar pilkada serentak 2018, yang sudah melewati ambang batas, sehingga otak sudah tak sanggup lagi mencernanya. Memang berita-berita seperti itu tidak ada hubungan langsung dengan Korps Baret Merah. Namun melalui peringatan Kopassus, kita diberi waktu jeda sejenak, bahwa masih ada ikon bangsa yang bisa kita banggakan di tengah lautan problem sosial yang tak bertepi.
Episentrum
Kawasan Cijantung (Jakarta Timur)patut disebut sebagai episentrum militer Indonesia. Selain berdiri Markas Komando Kopassus sebagai titik sentral, dan beberapa satuan di bawahnya, seperti Satgultor 81 dan Grup 3/Sandi Yudha. Masih dalam kawasan yang sama, juga terdapat satuan penting lainnya, seperti Brigif Para Raider 17/Kujang I Kostrad dan Brigif Mekanis 1/Jaya Sakti Kodam Jaya. Satuan yang disebut terakhir ini, secara berturut-turut pernah dipimpin oleh (dengan pangkat saat itu) Kol Inf Moeldoko dan Kol Inf Gatot Nurmantyo, yang keduanya kini sudah menjadi figur nasional.
Gambaran ekstremnya kira-kira seperti ini, bila markas pusat seperti Cilangkap dalam kondisi lumpuh, dengan skenario ada invasi dari luar, selama Cijantung masih belum tersentuh, pertempuran berlarut tetap bisa dilanjutkan. Ini sesuai dengan kualifikasi Komando personel Kopassus, yang terlatih beroperasi, baik secara tim mapun seorang diri.
Kopassus sebagai bagian dari kecabangan infanteri, posisinya memang sedikit dilematis, di tengah tuntutan penggunaan alutsista canggih dalam operasi tempur masa depan dan konsep poros maritim dunia. Satuan infanteri memang sedikit lambat dalam hal kecanggihan teknologi, khususnya pada satuan infanteri ringan (light infantry), yang menjadi panutan banyak satuan di Tanah Air
Namun aktualisasinya memang bukan di situ. Dalam satuan infanteri, yang lebih diutamakan adalah unsur manusianya, sebagaimana ungkapan "the man behind the gun”. Nama besar satuan seperti Kopassus, juga satuan infanteri lain baik yang bermarkas di Cijantung, atau di tempat lain, bisa berfungsi sebagai efek penangkal (deterrent effect), bagi kemungkinan maraknya gerakan separatis, terorisme dalam negeri atau invasi dari luar. Seiring kecanggihan alutsista dan simulasi pertempuran masa depan, keberadaan satuan komando, dengan militansi yang khas, tetap dibutuhkan.
Dalam sejarahnya Komando Pasukan Khsusus banyak terlibat menjaga keutuhan NKRI. Tapi di balik segudang prestasi, tersimpan aib yang menyeret Kopassus dalam jerat pelanggaran HAM.
Foto: Getty Images/AFP/R.Gacad
Heroisme Baret Merah
Tidak ada kekuatan tempur lain milik TNI yang memancing imajinasi heroik sekental Kopassus. Sejak didirikan pada 16 April 1952 buat menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan, satuan elit Angkatan Darat ini sudah berulangkali terlibat dalam operasi mengamankan NKRI.
Foto: Getty Images/AFP/R.Gacad
Kecil dan Mematikan
Dalam strukturnya yang unik, Kopassus selalu beroperasi dalam satuan kecil dengan mengandalkan serangan cepat dan mematikan. Pasukan elit ini biasanya melakukan tugas penyusupan, pengintaian, penyerbuan, anti terorisme dan berbagai jenis perang non konvensional lain. Untuk itu setiap prajurit Kopassus dibekali kemampuan tempur yang tinggi.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Mendunia Lewat Woyla
Nama Kopassus pertamakali dikenal oleh dunia internasional setelah sukses membebaskan 57 sandera dalam drama pembajakan pesawat Garuda 206 oleh kelompok ekstremis Islam, Komando Jihad, tahun 1981. Sejak saat itu Kopassus sering dilibatkan dalam operasi anti terorisme di Indonesia dan dianggap sebagai salah satu pasukan elit paling mumpuni di dunia.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Terjun Saat Bencana
Segudang prestasi Kopassus membuat prajurit elit Indonesia itu banyak dilirik negeri jiran untuk mengikuti latihan bersama, di antaranya Myanmar, Brunei dan Filipina. Tapi tidak selamanya Kopassus cuma diterjunkan dalam misi rahasia. Tidak jarang Kopassus ikut membantu penanggulangan bencana alam di Indonesia, seperti banjir, gempa bumi atau bahkan kebakaran hutan.
Foto: picture-alliance/dpa
Nila di Tanah Seroja
Namun begitu Kopassus bukan tanpa dosa. Selama gejolak di Timor Leste misalnya, pasukan elit TNI ini sering dikaitkan dengan pelanggaran HAM berat. Tahun 1975 lima wartawan Australia diduga tewas ditembak prajurit Kopassus di kota Balibo, Timor Leste. Kasus yang kemudian dikenal dengan sebutan Balibo Five itu kemudian diseret ke ranah hukum dan masih belum menemukan kejelasan hingga kini.
Foto: picture-alliance/dpa
Pengawal Tahta Penguasa
Jelang runtuhnya ejim Orde Baru, Kopassus mulai terseret arus politik dan perlahan berubah dari alat negara menjadi abdi penguasa. Pasukan elit yang saat itu dipimpin oleh Prabowo Subianto ini antara lain dituding menculik belasan mahasiswa dan menyulut kerusuhan massal pada bulan Mei 1998.
Foto: picture-alliance/dpa
Serambi Berdarah
Diperkirakan lebih dari 300 wanita dan anak di bawah umur mengalami perkosaan dan hingga 12.000 orang tewas selama operasi militer TNI di Aceh antara 1990-1998. Sebagaimana lazimnya, prajurit Kopassus berada di garda terdepan dalam perang melawan Gerakan Aceh Merdeka itu. Sayangnya hingga kini belum ada kelanjutan hukum mengenai kasus pelanggaran HAM di Aceh.
Foto: Getty Images/AFP/Stringer
Neraka di Papua
Papua adalah kasus lain yang menyeret Kopasus dalam jerat HAM. Berbagai kasus pembunuhan aktivis lokal dialamatkan pada prajurit baret merah, termasuk diantaranya pembunuhan terhadap Theys Eluay, mantan ketua Presidium Dewan Papua. Tahun 2009 silam organisasi HAM, Human Rights Watch, menerbitkan laporan yang berisikan dugaan pelanggaran HAM terhadap warga sipil oleh Kopassus.
Foto: Getty Images/AFP/A.Berry
8 foto1 | 8
Anomali monumen Slamet Riyadi
Bagi satuan dengan nama sebesar Kopassus, selalu berpotensi mengundang beragam persepsi di masyarakat, termasuk kemungkinan adanya kesalahpahaman. Salah satu wujud persepsi yang kurang tepat, bisa kita saksikan pada monumen Brigjen (Anm) Ign Slamet Riyadi di Kota Solo. Di ujung jalan, yang kebetulan juga bernama Jalan Slamet Riyadi.
Bagi yang mengerti serba sedikit latar belakang berdirinya Korps Baret Merah, tentu akan paham, bahwa Slamet Riyadi adalah penggagas utama terbentuknya satuan ini, bersama Kolonel AE Kawilarang, Pangdam Siliwangi awal 1950-an. Meski Slamet Riyadi sendiri tidak sempat menyaksikan ketika Kopassus resmi berdiri (16 April 1952), karena telah lebih dulu gugur dalam sebuah pertempuran di Ambon (November 1950), namun namanya sudah sangat identik dengan Korps Baret Merah.
Kebetulan Slamet Riyadi sendiri berasal dari Solo, wajar bila kemudian dibangun sebuah monumen untuk mengenang dirinya. Namun yang menjadi persoalan, gagasan seperti apa yang ingin dicapai dari monumen, tersebut. Sebab bila dilihat secara sepintas, monumen itu terkesan anomali. Bagaimana tidak, Slamet Riyadi digambarkan sedang menggenggam pestol yang siap meletus.
Alih-alih memberikan nilai estetika bagi kawasan di sekitarnya, tampilan seperti itu ibarat mengintimidasi warga Solo, termasuk warga luar yang melintas di bawahnya, mengingat Jalan Slamet Riyadi adalah jalur utama menuju ke arah Jawa Timur, atau sebaliknya. Dihubungkan dengan situasi kekinian, tampak disain patung itu kurang update dengan perkembangan zaman. Dengan menggambarkan sisi militeristik dari sang tokoh, berarti sudah lepas konteks, ketika TNI sudah tunduk pada rezim demokratis.
Bila dihubungkan dengan posisi Kopassus hari ini, lebih fatal lagi. Grup 2 Kopassus yang terletak di Kartosuro (Solo ke arah ke barat), yang ksatriannya juga mengabadikan nama Slamet Riyadi, sejak beberapa tahun lalu sudah alih status, dari satuan para komando (tempur murni) menjadi satuan intelijen (sandi yudha). Artinya, dalam menjalankan tugasnya, anggota Grup 2 Kopassus lebih mengedepankan pendekatan persuasif, atau melalui cara yang dalam kosakata intelijen biasa dikenal sebagai "penggalangan”. Dalam operasi seperti ini, yang lebih dibutuhkan adalah kecerdasan dan kreativitas personel bersangkutan, sehingga penggunaan senjata praktis diabaikan.
Bagaimana pun patung itu sudah terlanjur berdiri (sejak tahun 2007), terlebih yang meresmikan adalah Walikota Solo (saat itu) Joko Widodo, yang kini menjadi presiden kita. Biarlah patung itu tetap berdiri sebagaimana adanya, bahwa kemudian ada interpretasi kalau patung itu dibuat berdasarkan kesalahpahaman, cukup menjadi catatan kita saja.
Ganyang Malaysia: Manuver Terakhir Sukarno
Konfrontasi dengan Malaysia menandai tahun-tahun terakhir kekuasaan Sukarno. Berbekal dukungan Uni Sovyet dan Cina, sang pemimpin besar akhirnya memulai kampanye ganyang Malaysia yang berakhir pahit buat Indonesia.
Foto: gemeinfrei
Manuver Politik Berbuah Isolasi
"Soal pengganyangan Malaysia adalah soal nasional," teriak Sukarno saat berpidato membela politik konfrontasinya pada 1964. Setahun sebelumnya dia menentang niat Inggris membentuk negara federal Malaysia yang menggabungkan Serawak. Sebagian menulis Sukarno ingin mengalihkan publik dari kisruh politik dalam negeri. Akibat konflk Malaysia, Indonesia semakin terisolasi dari dunia internasional
Foto: picture-alliance/dpa
Krisis Diplomasi Disambut Amuk Massa
Setelah Malaysia terbentuk September 1963, Indonesia langsung memutuskan hubungan diplomatik. Beberapa hari kemudian massa merusak gedung Kedutaan Besar Inggris dan Singapura. Sebagai reaksi, pemerintah Malaysia menangkapi agen rahasia Indonesia. Ribuan penduduk juga berunjuk rasa di depan kedutaan besar Indonesia di Kuala Lumpur.
Foto: gemeinfrei
Perang Kecil demi Gagasan Besar
Sukarno pun memerintahkan RPKAD buat menyusup ke Serawak buat membina sukarelawan lokal. TNI juga mendukung upaya kudeta di Brunei Darussalam dengan mendidik 4000 milisi bersenjata. Akibatnya Inggris yang saat itu masih memiliki pangkalan tempur di Singapura mengirimkan pasukannya ke Kalimantan Utara.
Foto: gemeinfrei
Menyusup dan Takluk
TNI berulangkali menggelar operasi penyusupan dengan mengirimkan sukarelawan dan serdadu ke utara Kalimantan. Pada September 1964, militer Indonesia bahkan menerjunkan pasukan gerak cepat ke semenanjung Malaysia. Dari 96 pasukan terjun payung, 90 di antaranya berhasil ditangkap atau dibunuh oleh serdadu Malaysia dan Inggris.
Foto: gemeinfrei
Kalimantan Berdarah
Militer Inggris tidak cuma membantu pembentukan angkatan bersenjata Malaysia, melainkan juga mendidik anggota suku-suku lokal buat bertempur melawan penyusup Indonesia di utara Kalimantan. Tapi menyusul sikap keras Jakarta yang bersikukuh menyusupkan milisi bersenjata ke Malaysia, Inggris kemudian menggelar kampanye militer yang disebut Operasi Claret.
Foto: gemeinfrei
Operasi Claret
Dalam operasi tersebut Inggris dan Malaysia memindahkan garis pertahanan ke wilayah Indonesia buat menghadang penyusup. Karena kehawatir menyulut perang terbuka dengan Indonesia, Inggris melaksanakan operasi secara terbatas dan sangat rahasia. Kampanye militer ini berlangsung antara 1964 hingga 1966.
Foto: gemeinfrei
Berakhir di Era Suharto
Politik Ganyang Malaysia berakhir setelah kekuasaan Sukarno dilucuti setelah peristiwa G30SPKI. Suharto yang kemudian berkuasa tidak berniat melanjutkan kebijakan pendahulunya itu. Walhasil penguasa baru Indonesia menggelar berbagai perundingan rahasia yang berujung pada kesepakatan damai Agustus 1966. Sebanyak 590 tentara Indonesia tewas, sementara di pihak Inggris tercatat 114 serdadu.
Foto: DW
7 foto1 | 7
Dari Cijantung ke Istana
Nama besar Kopassus acap kali juga dijadikan modal sosial bagi para eksponennya untuk menggapai kekuasaan. Salah satu yang sedang aktual adalah apa yang diikhtiarkan oleh Prabowo Subianto (Danjen Kopassus 1995-1998), yang untuk kesekian kalinya berencana maju dalam kontestasi capres.
Nama lain yang bisa disebut adalah Hendro Priyono dan Luhut Panjaitan, yang masuk lingkaran dalam (inner circle) Presiden Joko Widodo. Luhut dan Hendro sengaja "pasang badan” sebagai perisai bagi Jokowi dalam menghadapi Prabowo, setidaknya di masa-masa awal pemerintahan Jokowi.
Dalam konteks kawasan Cijantung, bisa jadi Prabowo merujuk pada figur SBY, mengingat SBY dahulu juga pernah bertugas di Cijantung. Saat masih berpangkat kolonel, SBY sempat menjadi Komandan Brigif 17 di awal tahun 1990-an. Poin pentingnya adalah, SBY sudah pernah sampai ke Istana (baca: presiden), bahkan dua periode, sementara Prabowo masih terus berikhtiar.
Secara "tradisional” sejak dulu memang ada persaingan (terselubung) antara Koppassus dengan Brigif Para Raider 17/Kujang I. Persaingan dua satuan ini disimbolkan dengan posisi markas kedua satuan, markas Kopassus berada di ujung utara Cijantung, sementara Brigif 17 di ujung selatan. Saya sendiri menduga, bila aspirasi Prabowo menjadi presiden, adalah bagian dari jejak persaingan masa lalu, khususnya persaingan pribadi dengan SBY.
Garuda di Belantara Konflik Dunia
Acap dikritik di dalam negeri lantaran kasus HAM, TNI malah aktif menjaga damai dan melindungi warga sipil di berbagai kawasan konflik di dunia. Hingga kini sebanyak 30.000 prajurit pernah dilibatkan dalam misi damai PBB
Foto: UN Photo/Albert Gonzalez Farran
Terimakasih Pada Dunia
Kontingen Garuda awalnya adalah sebuah tanda terimakasih Soekarno terhadap dunia internasional yang telah mendukung kemerdekaan Indonesia. Sejak pertamakali bertugas tahun 1957 untuk menjaga perbatasan Mesir, TNI hingga kini telah bertugas di setidaknya 70 misi perdamaian PBB.
Foto: UN Photo/Pasqual Gorriz
11 Kontingen di Libanon
Salah satu operasi terbesar TNI di luar negeri adalah mengawal perdamaian di Libanon pasca serangan Israel tahun 2006 silam (UNIFIL). Untuk misi pelik tersebut TNI menurunkan hingga 11 kontingen yang menggabungkan kekuatan udara, laut dan darat.
Foto: UN Photo/Pasqual Gorriz
Srikandi TNI
Untuk misi di Libanon TNI tidak segan membawa prajurit perempuan. Tampak dalam gambar adalah Sri Sulistyowati yang ditugaskan sebagai perawat di klinik milik UNIFIL di kota Taibe. Seluruhnya TNI menugaskan 13 perempuan untuk mengawal masa damai di Libanon.
Foto: UN Photo/Pasqual Gorriz
Taring Laut
Pasukan Garuda yang paling spektakuler adalah kontingen 28H. Dalam misi tersebut TNI AL mengirimkan 107 prajurit beserta kapal fregat jenis terbaru milik TNI, KRI Bung Tomo-357, untuk mengawasi perairan Libanon.
Foto: UN Photo
Pasukan Lintas Negara
Sebelum mengirimkan KRI Bung Tomo, TNI juga pernah menempatkan kapal korvet kelas Sigma buatan Belanda, KRI Sultan Iskandar Muda, di Libanon. Di sana TNI bergabung bersama angkatan laut negara lain dari Jerman, Brazil dan Turki untuk mencegah penyelundupan senjata oleh kelompok Hizbullah di Libanon Selatan.
Foto: UN Photo/Pasqual Gorriz
Keberatan Israel
Israel sempat mengutarakan keberatan ketika PBB berniat menunjuk Indonesia sebagai komandan baru angkatan laut UNIFIL buat menggantikan Italia. Pemerintah negeri Yahudi itu berdalih, sikap Indoensia yang menolak mengakui kedaulatan Israel bisa mempersulit kerjasama antara pasukan kedua negara di lapangan.
Foto: UN Photo/Pasqual Gorriz
Damai di Tanah Darah
Misi besar lain TNI adalah mengawal damai di kawasan Sudan yang remuk dilanda perang, Darfur (UNAMID). Hingga setengah juta orang kehilangan nyawa dalam perang antara pemerintah dan pasukan pemberontak. Militer Sudan berulangkali melanggar resolusi PBB dengan melancarkan serangan udara yang kebanyakan menewaskan warga sipil.
Foto: UN Photo/Albert Gonzalez Farran
Pasukan Spesial
Di Sudan TNI/Polri bertugas mengawal bantuan kemanusiaan dan melindungi warga sipil dari pertempuran. Awal 2015 silam Indonesia mengirimkan sekitar 800 pasukan yang dilengkapi dengan 24 Panser ANOA, 30 truk angkut dan 34 kendaraan ringan. Kontingen tersebut terhitung spesial karena dididik khusus untuk mengemban misi damai di Darfur.
Foto: UN Photo/Albert Gonzalez Farran
Bahaya Maut Mengintai
Prajurit TNI dan anggota Polri tidak cuma ditugaskan mengawal pengiriman bantuan kemanusiaan, tetapi juga ikut turun ke lapangan untuk membangun fasilitas kesehatan dan pendidikan. Bertugas di Darfur bukan tanpa bahaya. Sejak pertama kali diterjunkan, sudah sebanyak 192 prajurit UNAMID yang tewas saat bertugas.
Foto: UN Photo/Albert Gonzalez Farran
Kenyang Menjaga Damai
Kontingen Garuda termasuk yang paling rajin ditugaskan dalam misi damai PBB. Selain Darfur, TNI pernah mengirimkan kontingen besar ke Mesir, Kongo dan Kamboja. Secara keseluruhan hampir 30.000 prajurit TNI pernah terlibat dalam misi menjaga perdamaian di seluruh dunia.
Foto: UN Photo/Albert Gonzalez Farran
10 foto1 | 10
Persaingan sedikit mereda, ketika Kopassus dipimpin Mayjen Prabowo Subianto (1995-1998), mengingat Prabowo sendiri juga pernah bertugas di lingkungan Brigif 17, masing-masing sebagai Komandan Yonif Linud 328 dan Kepala Staf Brigif 17. Saat Prabowo masih berdinas di jajaran Brigif 17, pada saat hampir bersamaan bergabung pula perwira lain segenerasi Prabowo, seperti Ryamizard Ryacudu (kini Menhan) dan Agus Wirahadikusumah (almarhum), selain SBY tentunya.
Sebagian eksponen Cijantung, sekarang telah masuk dalam lingkaran elite nasional, bahkan tak jarang mereka saling bersaing demi memperebutkan kekuasaan. Seolah lupa dulu pernah saling menitipkan nyawa ketika bersama-sama terjun di medan tempur. Logika operasi tempur dan ranah politik ternyata berbeda. Bila dalam medan tempur, kita perlu banyak teman, agar bisa selamat sampai tiba saatnya pasukan dipulangkan ke pangkalan masing-masing. Sementara di ranah politik, perbedaan antara kawan dan lawan demikian kabur.
Penulis: Aris Santoso (ap/vlz), sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis
Dosa Tentara di Serambi Mekah
Bertahun-tahun rakyat Aceh menanggung kebiadaban TNI selama operasi militer menumpas Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Serupa kasus 65, darah yang membalur Serambi Mekah adalah dosa yang selamanya menghantui militer Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/S. Ananda
Perintah dari Istana
Pada 19 Mei 2003, pemerintahan Megawati melancarkan operasi militer di Aceh dengan mengirimkan lebih dari 30.000 serdadu dan 12.000 polisi. Sebelumnya Gerakan Aceh Merdeka menolak status otonomi khusus yang ditawarkan pemerintah. Perang yang dikobarkan Megawati berlangsung selama setahun.
Foto: Getty Images/AFP/Raka
Senjata Gelap TNI
GAM sudah berperang demi kemerdekaan Aceh sejak tahun 1976. Kegigihan gerakan separatis itu menyulut perang berkepanjangan dengan TNI. Ironisnya GAM banyak membeli senjata secara gelap dari TNI. Tahun 2000 silam Polda Metro Jaya menggerebek sebuah rumah dan menemukan bukti pembelian senjata TNI oleh GAM dengan nilai sebesar tiga miliar Rupiah.
Foto: Getty Images/AFP/H. Simanjuntak
Berpaling Simpati
Perang pemberontakan Aceh 1990-1998 termasuk yang paling rentan pelanggaran HAM. Selama delapan tahun sekitar 12.000 nyawa menghilang, kebanyakan adalah warga sipil Aceh. Kebiadaban TNI selama itu diyakini justru menambah simpati rakyat Aceh terhadap gerakan separatis.
Foto: Getty Images/AFP/Inoong
Kejahatan Demi NKRI?
Tahun 2013 silam Komnas HAM menyelidiki lima kasus kejahatan perang selama DOM 1990-1998, yakni tempat penyiksaan Rumoh Geudong di Pidie, pembantaian massal di Bumi Flora, Aceh Timur dan Simpang KKA di Aceh Utara, serta kasus penghilangan paksa dan kuburan massal di Bener Meriah.
Foto: Getty Images/AFP/C. Youn-Kong
Intimidasi Demi Informasi
TNI berikrar akan lebih hati-hati selama operasi militer di Aceh 2003. Tapi serupa di Timor Leste, tentara dilaporkan sering mengintimidasi penduduk desa untuk mengungkap tempat persembunyian pemberontak. Human Rights Watch mencatat berbagai kasus penculikan dan penganiayaan anggota keluarga terduga gerilayawan. Desember 2003 Polri memerintahkan "menembak mati" siapapun yang "membawa bendera GAM."
Foto: Getty Images/AFP/Inoong
Pondok Kelabu
Pada 17 Mei 2003 tiga truk tentara mendatangi desa Jambo Keupok, Aceh Selatan. Di sana mereka menginterogasi penduduk desa ihwal persembunyian GAM. Hasilnya 16 penduduk tewas. Sebagian ditembak, ada yang disiksa atau bahkan dibakar hidup-hidup, tulis Komisi untuk Orang Hilang, Kontras. Insiden tersebut kemudian dikenal dengan istilah Tragedi Jambo Keupok.
Foto: Getty Images/AFP/C. Youn-Kong
Media Propaganda
Berbeda dengan DOM 1990-1998, TNI menggandeng media untuk menguasai pemberitaan ihwal perang di Aceh. Wartawan misalnya dilarang mengutip sumber dari GAM. "Saya berharap wartawan menulis dalam kerangka NKRI. Kalau saya terkesan keras, harap dimaklumi," tutur penguasa darurat militer Aceh saat itu, Mayjen Endang Suwarya.
Foto: Getty Images/AFP/Stringer
Adu Klaim Soal Korban
Selama satu tahun antara Mei 2003 hingga 2004, sebanyak 2000 orang tewas dalam pertempuran. TNI mengklaim semuanya adalah gerilayawan GAM. Namun berbagai LSM dan termasuk Komnas HAM membantah klaim tersebut. Sebagian besar korban ternyata warga sipil biasa.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Pagar Manusia
Salah satu strategi TNI adalah membangun "pagar betis" yang terdiri dari warga sipil. Mereka diperintahkan untuk menyisir sebuah kawasan yang diduga dijadikan tempat persembunyian GAM. Dengan cara itu, TNI berharap GAM tidak akan menembak dan mau keluar dari sarangnya. Strategi serupa sering diterapkan saat Operasi Seroja di Timor Leste.
Foto: Getty Images/AFP/H. Simanjuntak
Tanpa Keadilan
Berbagai penyelidikan yang dilakukan LSM Kemanusiaan dan Komnas HAM terkait kejahatan perang di Aceh gagal membuahkan keadilan buat korban. Hingga kini sebagian rakyat Aceh masih hidup dengan trauma perang.