IAEA Melaporkan Iran Terus Genjot Pengayaan Uranium
18 Agustus 2021
Badan Pengawas Atom PBB IAEA melaporkan, Iran memperkaya uranium hingga nyaris mendekati batas mutu laik senjata nuklir. Ini dinilai provokasi negara barat.
Iklan
Laporan IAEA yang dirilis Selasa (17/8), menyebut tingkat kemurnian fisil yang mampu diproduksi di pembangkit nuklir Natanz mencapai 60 persen, dari yang tadinya hanya 20 persen.
Padahal bulan April silam, situs tersebut menjadi sasaran sabotase terhadap instalasi listrik yang melumpuhkan salah satu riam pemurniannya. Iran menuduh Israel mendalangi serangan tersebut. Menurut IAEA, Iran sebagai reaksinya mempercepat pengayaan uranium dengan mengaktifkan riam kedua, lapor Reuters.
Untuk memproduksi senjata nuklir, dibutuhkan kemurnian uranium sebesar 90 persen. Riam pemurnian menghubungkan rangkaian sentrifugal pemisah uranium menjadi sebuah klaster. Metode ini digunakan untuk mempercepat proses pengayaan.
Langkah Iran itu menambah panjang rangkaian pelanggaran terhadap Perjanjian Nuklir dari 2015. Dalam kesepakatan tersebut, Teheran bersedia membatasi tingkat pemurnian uranium pada kisaran di bawah empat persen, demi pelonggaran embargo.
Teheran berdalih Amerika Serikat terlebih dulu melanggar perjanjian, saat bekas Presiden Donald Trump kembali memberlakukan sanksi ekonomi. Kedua pihak saat ini sedang melanjutkan perundingan bersama Uni Eropa dan Rusia di Wina, Austria, dalam upaya menghidupkan kembali Perjanjian Nuklir 2015.
Iran menegaskan program nuklirnya adalah untuk keperluan damai, dan mengklaim telah berkoordinasi dengan IAEA perihal aktivitas pengayaan uranium. Teheran juga bersikeras program atomnya bisa kembali diredupkan sesuai Perjanjian Nuklir 2015 jika AS mencabut semua sanksi.
"Jika pihak lain kembali menaati kewajibannya di bawah kesepakatan nuklir, dan Washington mencabut sanksi sepihaknya yang ilegal, semua langkah mitigasi dan tindakan balasan dari Iran akan dihentikan,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri, Saeed Khatibzadeh, kepada media pemerintah.
Mengenang 40 Tahun Perang Iran vs Irak
Perang Iran-Irak jadi salah satu konflik militer terkelam di Timur Tengah. Berlangsung delapan tahun menjadi saksi penggunaan senjata kimia, tewasnya ratusan ribu orang, serta mengubah wilayah dan situasi politik global.
Foto: picture-alliance/Bildarchiv
Konflik teritorial
Pada 22 September 1980, diktator Irak Saddam Hussein mengirim pasukannya ke negara tetangga Iran. Ini jadi awal mula perang mematikan selama delapan tahun yang menewaskan ratusan ribu orang. Konflik perbatasan wilayah berlarut-larut jadi pemicu perselisihan dua negara mayoritas Muslim Syiah ini.
Foto: defapress
Perjanjian Aljazair
Lima tahun sebelumnya, pada Maret 1975, Saddam Hussein, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden Irak, dan Raja Iran saat itu Shah Pahlevi menandatangani perjanjian di Aljazair, untuk menyelesaikan sengketa perbatasan. Baghdad menuduh Teheran merencanakan serangan dan memutuskan mengevakuasi tiga pulau strategis di Selat Hormuz, yang diklaim milik Iran dan UEA.
Foto: Gemeinfrei
Sumber air
Pada 17 September 1980, Baghdad menyatakan Perjanjian Aljazair batal demi hukum dan menuntut kendali atas semua wilayah perbatasan Shatt al-Arab, sungai sepanjang 200 kilometer pertemuan sungai Tigris dan Sungai Efrat yang bermuara di Teluk Persia.
Foto: picture-alliance/AP Photo/N. al-Jurani
Pemboman pelabuhan dan kota
Pasukan Irak meledakkan bandara Iran, termasuk yang ada di Teheran, serta fasilitas militer dan kilang minyak Iran. Pada pekan pertama pasukan Irak berhasil merebut kota Qasr-e Shirin dan Mehran, serta pelabuhan Khorramshahr di barat daya Iran, di mana posisi Sungai Shatt al-Arab bermuara.
Foto: picture-alliance/Bildarchiv
Musuh bersama
Banyak negara Teluk, termasuk Arab Saudi dan Kuwait, mendukung Baghdad dalam perang melawan Iran. Hal ini didasari kekhawatiran atas perlawanan Syiah di Timur Tengah yang dipelopori oleh Ayatollah Khomeini dalam Revolusi Iran. Negara-negara Barat juga mendukung Baghdad dan menjual senjata kepada Saddam Hussein.
Foto: Getty Images/Keystone
Dipukul mundur Iran
Serangan balik Iran mengejutkan Irak ketika Teheran berhasil menguasai kembali pelabuhan Khorramshahr. Baghdad mengumumkan gencatan senjata dan menarik kembali pasukannya, tetapi Teheran menolaknya dan terus membom kota-kota Irak. Sejak April 1984, kedua belah pihak terlibat dalam "perang kota", di mana sekitar 30 kota di kedua belah pihak dihujani serangan rudal.
Foto: picture-alliance/dpa/UPI
Penggunaan senjata kimia
Salah satu yang jadi sorotan dalamperang ini adalah penggunaan senjata kimia. Teheran pertama kali melontarkan tuduhan tahun 1984 - dikonfirmasi oleh PBB - dan juga pada tahun 1988. Juni 1987, pasukan Irak menjatuhkan gas beracun di kota Sardasht, Iran. Maret 1988, Iran mengklaim Baghdad menggunakan senjata kimia kepada penduduk sipilnya di kota Halabja di utara Irak yang dikuasai Iran.
Foto: Fred Ernst/AP/picture-alliance
Gencatan senjata
Pada 18 Juli 1988, Khomeini menerima resolusi Dewan Keamanan PBB untuk mengakhiri perang. Meskipun jumlah pasti dari mereka yang tewas dalam perang tidak diketahui, sedikitnya 650.000 orang tewas dalam perang tersebut. Gencatan senjata diumumkan pada 20 Agustus 1988.
Foto: Sassan Moayedi
Lembaran baru
Penggulingan rezim Saddam Hussein oleh AS pada tahun 2003 membuka era baru di Timur Tengah. Hubungan antara Irak dan Iran telah membaik sejak saat itu dan kedua negara meningkatkan kerjasamanya dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya. (Ed: rap/hp)
Foto: picture-alliance/AP Photo/K. Mohammed
9 foto1 | 9
Senin (16/8), IAEA mengumumkan Iran telah memproduksi sebanyak 200 gram logam uranium dengan kemurnian 20%. Kementerian Luar Negeri AS meyakini Iran "tidak memliki kebutuhan yang kredibel untuk memproduksi logam uranium.”
"Kami sudah memperjelas bahwa kelanjutan eskalasi nuklir yang melanggar batasan Perjanjian Nuklir 2015 merupakan tindakan yang tidak konstruktif dan inkosisten dengan sikap saling patuh," kata juru bicara Gedung Putih, Ned Price.
Iran berdalih logam uranium tersebut akan digunakan dalam reaktor uji coba untuk keperluan penelitian.