1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ibu 'Si Bolang' Nekat Menjadi Periset Zooplankton di Jerman

25 Januari 2020

Dengan empat orang anak yang menjadi tanggungan, bagaimana perempuan Sukabumi ini mengambil langkah esktrem untuk menjadi periset zooplankton di Jerman? Ia bahkan sempat disebut tak waras! Mengapa? Ikuti kisahnya.

Deutschland Forschung über Mikroplankton am Bodensee, Konstanz - Pelita Octorina
Foto: DW/A. Purwaningsih

Pelita Octorina melewati pergumulan batin saat memutuskan riset doktoral dengan fokus studi zooplankton di Universitas Konstanz di Jerman. Dengan empat orang anak yang menjadi tanggungan dia dan sang suami, baginya keputusan meninggalkan tanah air adalah hal yang berat, baik dari segi mental, finansial dan spiritual. Ia ingin menjadi pionir di keluarganya agar semua anggota keluarga bisa mendapat pendidikan yang lebih baik.

Tahun 2017, ia mulai hidup di Jerman sebagai periset. Setahun berikutnya, sang suami dan dua anak terkecil menyusulnya. Ia bercerita, bahwa ia sempat disebut tidak waras oleh koleganya karena dianggap meninggalkan dua anaknya yang lain untuk menjadi periset di Jerman. Namun Pelita punya alasan tersendiri yang ia kisahkan kepada Deutsche Welle. Simak kisah periset zooplankton  danau asal Sukabumi ini tentang kisah hidupnya sebagai ibu dan ilmuwan di negeri orang. 

Bagaimana kisahnya Anda berpikir untuk ke Jerman guna melakukan riset zooplankton di Kota Konstanz?

Impian untuk melanjutkan studi di luar negeri (Jerman) muncul sejak saya kuliah tingkat S1 di Universitas Padjajaran (Unpad). Proses persiapan mulai saya jalani sejak tahun 2010, saat itu saya masih studi pada jenjang S2 di Institut Pertanian Bogor (IPB). Saya mulai mencari beasiswa untuk kursus bahasa Jerman secara intensif. Kursus bahasa Jerman sangat mahal, gaji saya tidak mencukupi untuk kursus bahasa intensif di kota besar sehingga saya harus mengandalkan beasiswa. Meskipun akhirnya saya mendapatkan beasiswa untuk kursus bahasa intensif, jalan yang ditempuh tetaplah panjang dan tidak mudah mengingat posisi saya yang juga sebagai istri dan ibu.

Saya harus melupakan mimpi itu sementara waktu, karena melahirkan dan merawat anak ketiga saya yang masih bayi. Tapi semangat tidak surut setelah anak ketiga saya sedikit besar, saya mendapatkan beasiswa untuk kursus bahasa intensif selama 11 bulan. Saat itu saya berpikir jalan telah terbuka lebar dan kesempatan studi lanjut semakin mudah dicapai. Tetapi kemudian saya kembali harus melupakan impian itu bersamaan dengan lahirnya anak keempat. Saya sempat berputus-asa namun suami terus menyemangati untuk tidak melupakan mimpi itu. Saya kembali memantapkan hati untuk terus berusaha mendapatkan beasiswa luar negeri setelah anak keempat saya lahir.

Dengan bersusah-payah mulai dari tes bahasa, mencari calon pembimbing dan berburu beasiswa sambil mengasuh anak, akhirnya saya bisa melanjutkan studi di Jerman melalui beasiswa yang saya dapatkan tahun 2016, enam tahun sejak pertama kali saya memulai perjuangan untuk bisa studi lanjut. Hal itu tidaklah mudah mengingat saat saya mendapatkan beasiswa, saya telah memiliki empat orang anak yang masih kecil. Langkah saya tidak sebebas anak-anak muda dalam menggapai impiannya. Untuk mencapai impian dan cita cita saya melangkah perlahan mencoba menyelaraskan antara mengasuh anak, bekerja sekaligus belajar. Beruntung saya mendapat banyak dukungan dari keluarga terutama suami dan orang tua saya. Kami bersama-sama bergantian mengasuh anak-anak sehingga saya bisa meluangkan waktu untuk belajar.

Walaupun dapat beasiswa, tapi bukankah itu artinya harus bisa untuk menghidupi empat orang anak, bukan? Bagaimana menyiasatinya?

Saya sangat bersyukur bahwa beasiswa saya beasiswa yang menyediakan tunjangan keluarga, namun memang tetap tidak mencukupi untuk membiayai enam orang tinggal di negara mahal seperti Jerman.

Saya harus memilih maju terus atau mundur, sebuah keputusan yang sangat berat antara tanggung jawab sebagai seorang ibu dan istri sekaligus juga sebagai penerima beasiswa. Namun suami saya tetap mendukung dan mengingatkan bahwa perjuangan untuk mendapatkan beasiswa tersebut sangat panjang, lama dan berat, mundur bukan merupakan sebuah pilihan terutama niat kami adalah untuk mencari ilmu, suatu kewajiban dalam agama kami, pasti ada jalan keluar.

Akhirnya saya memutuskan untuk maju terus dan berangkat ke Jerman sendirian untuk mempelajari situasi dan melihat peluang bagaimana cara membawa keluarga saya ke Jerman. Meskipun uang beasiswa tidak mencukupi namun saya tetap berusaha, karena saya dari dulu selalu berpendapat bahwa keluarga itu harus besar bersama, tidak boleh bercerai-berai. Satu tahun saya jalani sendirian di Jerman. Sebagai wanita berkeluarga tentu hal ini sangat berat berpisah dari anak-anak saya yang masih kecil. Saya sempat mengalami depresi karenanya. Terlebih sangat berat bagi anak-anak saya, mereka harus tumbuh tanpa ibunya, saat itu tiga anak saya masih bersekolah di bangku sekolah dasar (kelas 6, 4 dan 1 SD)  dan satu lagi masih di taman kanak-kanak (TK). Saya tidak bisa mendampingi mereka di masa sulit, terutama bagi anak-anak saya yang menjelang remaja. Demikian pula bagi anak saya yang paling kecil, saya tidak bisa merawat jika anak saya jatuh sakit.

Lalu bagaimana jalan keluarnya?

Saya bersusah-payah mengumpulkan uang agar bisa membiayai seluruh keluarga tinggal di Jerman, namun nasib berkata lain. Uang yang saya miliki hanya cukup untuk biaya membawa dua anak dari empat  anak saya ke Jerman. Saya memutuskan untuk membawa anak-anak yang masih kecil yang belum siap untuk berpisah dengan ibunya. Berbeda dengan kedua anak saya yang lebih besar, mereka sudah lebih memahami situasinya. Saya dan suami memberikan pengertian bahwa jika mereka ingin bersekolah di Jerman, mereka harus mempersiapkan mental mereka. Di samping itu mereka juga harus dibekali dengan ilmu agama yang kuat untuk keimanan mereka di masa depan dalam menghadapi tantangan hidup. Mereka harus mempersiapkan diri dengan benar, baik dari sisi keilmuan maupun keimanan, sehingga akhirnya mereka masuk boarding school atau pesantren di Sukabumi. Dengan tidak meninggalkan kewajiban dalam memberikan kebutuhan hidup yang baik bagi anak laki-laki kami di Indonesia, kami menitipkan mereka pada orang tua saya dan juga pada ustad (guru) mereka di pesantren.

Ini adalah keputusan yang  kami anggap terbaik, meskipun sangat berat. Bahkan kolega saya di kampus menganggap saya tidak waras karena meninggalkan kedua anak saya di Indonesia. Namun saat ini saya dalam posisi tidak memiliki pilihan lain. Meskipun saya sudah mati-matian berusaha dan berdoa tapi Tuhan juga yang menentukan. Dan kami meyakini inilah jalan terbaik yang ditunjukkan Tuhan kami Allah SWT, sehingga kami menjalaninya setabah mungkin. Namun demikian kami tetap berusaha mencari peluang dan terus berdoa agar suatu hari kami dapat sekeluarga bisa berkumpul kembali.

Kini Anda berhasil bermukim di Konstanz, Jerman dengan berbekal beasiswa dan uang tabungan. Dengan perbedaan kultur antara Sukabumi (Indonesia)-Konstanz (Jerman), bagaimana menyiasatinya?

Di Sukabumi saya bekerja di institusi Islam yaitu Universitas Muhammadiyah Sukabumi. Sudah tentu semua kegiatan kami di tempat kerja bernapaskan Islam mulai dari pakaian, bahasa, dan waktu beribadah. Kampus kami memiliki fasilitas untuk beribadah dan menyediakan waktu khusus untuk beribadah bersama-sama (berjamaah). Dan kajian keislaman pun menjadi kegiatan rutin mingguan.

Pada awalnya saya sedikit mengalami kesulitan untuk beribadah (salat) di Eropa, terutama karena kondisi musim yang menyebabkan perbedaan lamanya waktu siang dan malam yang signifikan di musim panas maupun musim dingin. Selain itu institut tempat saya belajar tidak memiliki fasilitas untuk beribadah, serta jadwal salat yang tidak bertepatan dengan jadwal istirahat.

Namun seiring berjalannya waktu saya mulai beradaptasi. Hal ini tidak terlepas dari dukungan kolega di institut. Mereka mengizinkan saya untuk beribadah di ruang perpustakaan atau ruang kumpul bersama. Bahkan saya sering melakukan ibadah di kantor saya, di mana di sana juga berkerja dua orang kolega saya yang berkebangsaan Jerman.

Mereka tidak keberatan saya beribadah di saat mereka pun sedang bekerja di ruangan yang sama. Saya tidak menemui kesulitan menjadi satu-satunya muslim berhijab yang bekerja di sana.

Sempat mengalami kesulitan beradaptasi selama tinggal di Jerman?

Ya kami sempat mengalami kesulitan beradaptasi terutama cara berpakaian pada saat musim dingin. Di negara kami hanya mengenal dua musim yaitu musim panas dan hujan. Di sini ada empat musim yang berbeda dengan perbedaan temperatur yang ekstrem, terutama pada saat musim dingin. Walaupun sudah menggunakan pakaian musim dingin tetap saja kami tidak dapat langsung beradaptasi. Berhari-hari kami tidak sanggup keluar rumah untuk beraktivitas karena suhu terlalu dingin. Selain suhu kami pun belum terbiasa dengan gaya berpakaian. Setiap musim kami harus berganti gaya berpakaian. Saat musim dingin kami menyimpan seluruh pakaian dan sepatu musim panas di gudang dan saat musim panas seluruh perlengkapan musim dingin yang giliran masuk gudang. Informasi perkiraan cuaca sangat kami perhatikan untuk menentukan jenis pakaian yang akan kami kenakan jika kami harus berpergian. Pada awalnya sangat merepotkan karena kami tidak mengalami hal ini di indonesia. Namun hal itu tidak menjadi masalah besar bagi kami, perlahan-lahan kami terbiasa dengan hal ini.

Demikian pula kondisi tutupnya semua toko pada hari libur. Di Indonesia kami berbelanja di hari Minggu karena dari hari Senin hingga Sabtu, kami harus bekerja. Pada awalnya kami selalu lupa jika toko di Jerman tutup pada hari libur, terutama libur di luar akhir pekan. Kerap kali kami tidak berbelanja sebelum hari libur dan berakhir tanpa makanan di kulkas. Kami sekeluarga tidak makan roti, kentang atau pasta, lalu kami mulai membiasakan diri untuk makan makanan selain beras (terutama anak-anak) sebagai alternatif, saat kami lupa berbelanja sebelum hari libur, karena hanya toko roti yang buka di hari libur.

Alhamdulillah saya tidak mendapatkan masalah dengan menjadi minoritas di Jerman, baik dalam kehidupan beragama maupun sosial. Banyak warga Jerman tidak peduli apa agama saya dan mereka tetap memperlakukan saya dengan baik. 

Selain itu kami tinggal berdekatan dengan masjid kota, sehingga ibadah lebih mudah dilakukan terutama saat Ramadan. Namun yang agak sulit adalah mencari pertemuan tentang kajian religi. Meskipun saya tinggal dekat masjid dan mereka memiliki jadwal kajian terutama bagi anak anak, keluarga kami tidak ikut serta sebab faktor bahasa menjadi kendala karena kajian tidak diselengarakan dalam bahasa Jerman, melainkan bahasa Turki, sebab mayoritas jamaahnya adalah orang Turki. Pada intinya kami tidak kesulitan beradaptasi sebab warga Konstanz pun tidak memperlakukan kami berbeda dengan yang lainnya.

Suami akhirnya menyusul Anda bersama kedua anak Anda yang paling kecil. Seberapa besar dukungan pasangan Anda dalam kesibukan Anda di Jerman sebagai periset?

Beliau memutuskan untuk tetap mendampingi saya dan mengorbankan kariernya. Beliau berpendapat bahwa menjaga istri dan anaknya adalah kewajiban yang lebih penting daripada kariernya. Beliau meninggalkan posisi sebagai ketua program studi atau ketua jurusan di tempat kami bekerja dan beliau siap dengan risikonya saat kami kembali nanti, tentu ada kemungkinan beliau tidak akan mendapatkan posisi tersebut kembali. Saya sangat berterima kasih pada beliau, rasanya tidak banyak lelaki di Indonesia yang mau berkorban sedemikian rupa untuk keluarganya terutama saat harus meninggalkan kariernya.

Selain itu kami berdua sering berkolaborasi dalam keilmuan. Beliau selalu menemani saya mencari data terutama saat saya melakukan penelitian di luar laboratorium. Pekerjaan saya sebagai ekologis seringkali membutuhkan data yang berasal dari alam, yang mana mengumpulkannya tidak mudah dan terkadang beresiko terhadap keselamatan. Sebab itu beliau selalu mendampingi dan membantu saya saat penelitian. Data yang kami hasilkan digunakan bersama-sama untuk menambah pengetahuan kami berdua dan menerbitkan karya tulis sesuai keilmuan kami masing masing.

Beban apa yang paling berat selama hidup di Jerman?

Hal yang terberat saat ini adalah menghadapi kenyataan bahwa saya hidup terpisah dari dua anak saya yang berada di Indonesia. Bisa dikatakan bahwa setiap hari saya bersedih saat teringat anak saya terutama saat sarapan atau makan malam karena saya selalu menyiapkan dua hal tersebut untuk seluruh keluarga.

Saya selalu teringat apakah anak saya makan dengan baik atau tidak. Juga saat berlibur keluarga. Dulu, kami berenam selalu bepergian bersama, namun kini jika kami berlibur, keluarga kami tidak lengkap.

Saya sebelumnya tidak pernah berpisah dengan anak-anak saya, bahkan saat bekerja pun mereka selalu ikut saya. Sebagai seorang staf pengajar dan peneliti di bidang ekologi perairan, saya sering mendatangi pantai, sungai atau danau di sekitar kota tempat saya tinggal dan anak-anak saya selalu saya ajak. Mereka dibiasakan untuk berpetualang sejak kecil mengenal alam dan mengetahui bagaimana ibunya bekerja. Oleh para mahasiswa dan kolega saya di Sukabumi mereka dijuluki Si Bolang atau bocah petualang. Alasan lainnya adalah saya tidak memiliki pengasuh sehingga kerap kali saya harus bekerja sambil menjaga mereka.

Jadi sangat menyedihkan saat saya berpetualang di benua lain, menyusuri danau di negara asing namun dua anak tertua saya yang biasanya selalu mengikuti kemana pun saya pergi, kini tidak dapat ikut serta karena berada di Indonesia.

Berulang kali saya mengatakan pada diri saya sendiri saat ini mereka sedang mempersiapkan diri untuk datang ke Jerman baik dari sisi akademik dan religi. Dan itu sangat penting bagi masa depan mereka, dan mereka baik-baik saja di pesantren. Dengan begitu saya seolah menghibur diri sendiri atas situasi saat ini dan tidak menyalahkan diri atas keputusan yang saya ambil.

Apa pernah merasakan pengalaman yang mengesankan selama di Jerman?

Hal mengesankan di Jerman adalah kepedulian orang-orang Jerman terhadap sesama. Saya sangat berterima kasih pada seluruh sahabat-sahabat saya di universitas dan di institut, karena mereka membantu saya melewati masa sulit seperti saat mencari apartemen yang super sulit didapat di Konstanz, mengurus administrasi kependudukan, mencari sekolah untuk anak anak, pergi ke dokter, dll.

Universitas Konstanz memiliki motto "family friendly university", sehingga mereka mengurus kepentingan akademik dan non-akademik dengan baik terutama yang berkaitan dengan keluarga. Ini adalah salah satu alasan saya memilih untuk berkuliah di Universitas Konstanz karena di belakang saya ada anak-anak dan keluarga yang harus diurus.

Sahabat dan kolega saya pun membantu dengan menyediakan barang-barang yang keluarga kami perlukan sehingga kami tidak perlu membeli barang baru. Bahkan teman-teman kerja saya sangat menyayangi anak-anak, kerap kali mereka memberikan hadiah bagi anak-anak saya. Bahkan saat Tahun Baru mereka memberi hadiah karena tahu bahwa kami tidak merayakan Natal sehingga anak-anak tidak mendapatkan hadiah Natal. Sebagai gantinya mereka memberi hadiah Tahun Baru. Selain itu, rasa persaudaraan dengan sesama orang Indonesia terutama sesama mahasiswa menjadi semakin kuat. Kita sama-sama di rantau, berjuang agar bisa hidup dengan layak di negara yang mahal sehingga semangat saling membantu dan menolong kuat walaupun di Indonesia sebelumnya tidak saling mengenal.

Pada intinya keluarga kami akan kesulitan untuk hidup layak di Jerman tanpa dukungan dari banyak pihak baik orang Indonesia maupun non-warga indonesia.

Dalam hal akademik, saya pun kagum dengan situasi di institut tempat saya bekerja yaitu Limnological Institute di Universitas  Konstanz. Atmosfer bekerja efektif sangat kental, saat bekerja kami benar-benar konsentrasi bekerja tanpa mengobrol tak jelas. Saat istirahat minum kopi dan saat istirahat makan siang dipergunakan sepuasnya untuk bercanda dan mengobrol. Melakukan riset pun jauh lebih mudah didukung dengan ketersediaan alat dan lokasi yang sangat berdekatan dengan danau.

Hal mengesankan lainnya adalah sistem pendidikan dasar di Jerman, yang cukup baik dan menyenangkan bagi anak-anak. Selain itu hampir di setiap sudut terdapat taman bermain bagi anak-anak. Hal yang jarang tersedia di Indonesia, dengan demikian kami tidak perlu lagi jalan-jalan ke mal. Cukup mengunjungi taman bermain tanpa mengeluarkan biaya sama sekali cukup bekal makanan dan minuman dari rumah, tidak perlu jajan di luar. Selama di Jerman, anak-anak saya tidak pernah meminta uang jajan, jadi lebih hemat dan anak-anak belajar untuk tidak konsumtif, serta tidak mengkonsumsi makanan tidak sehat dari jajanan.

Apa impian Anda selepas riset di Jerman?

Saya memiliki dua cita cita besar. Yang pertama berkaitan dengan pendidikan keluarga. Saya selalu berpikir bahwa keluarga saya  harus mendapatkan pendidikan yang baik. Hal itulah yang menyemangati saya untuk terus bekerja keras mencari cara agar seluruh anggota keluarga saya berkesempatan mengenyam pendidikan di Jerman. Jadi, cita-cita terbesar saya bagi keluarga adalah seluruh anak-anak saya mendapatkan kesempatan untuk berkuliah di Jerman hingga jenjang tertinggi dan dengan demikian mereka bisa menjadi manusia yang bermanfaat. Saya melihat bahwa saya yang pertama melakukannya di keluarga dan yang harus membuka jalan bagi yang lain untuk mencapai hal tersebut dengan berkuliah di Jerman.

Yang kedua berkaitan dengan bagaimana bisa memanfaatkan ilmu saya bagi masyarakat. Sebagai staf pengajar di universitas Muhammadiyah Sukabumi (UMMI) sudah menjadi kewajiban saya untuk mengabdikan diri untuk mencerdaskan masyarakat. Dengan pengetahuan yang saya dapatkan di Jerman, saya telah memiliki banyak rencana untuk mengembangkanriset di Indonesia terutama di Sukabumi. Saya ingin mengenalkan manfaat ilmu ekologi pada masyarakat agar mereka bisa memanfaatkan sumber daya alam dengan berwawasan lingkungan.

Selain itu sebagai pengabdian pada institusi tempat saya bekerja yaitu Universitas Muhammadiyah Sukabumi. Saya mencari cara agar kampus kami dapat melakukan kerja sama dengan kampus-kampus di Jerman, baik dalam hal riset, studi lanjut, program double degree, publikasi bersama atau apa saja yang membuat kampus kami bisa belajar banyak dari kampus-kampus yang ada di Eropa, terutama di Jerman. (Ed: yp)