1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

ICW: Seberapa Efektif Penggunaan Jasa Influencer?

21 Agustus 2020

Peneliti ICW, Egi Primayogha, menyebut transparansi dan akuntabilitas menggunakan jasa influencer dalam mempromosikan kebijakan pemerintah sangat lemah.

Presiden Joko Widodo dan Agnez Mo
Presiden Joko Widodo saat betemu dengan Agnez Mo di Jakarta (11/01/2019).Foto: L. Rachev

Indonesia Corruption Watch, ICW, melaporkan temuan terbaru terkait penggelontoran anggaran besar negara untuk ragam aktivitas digital yang salah satunya adalah penggunaan jasa influencer guna mempromosikan kebijakan pemerintah selama beberapa tahun terakhir.

Peneliti ICW, Egi Primayogha menyatakan lembaganya menemukan Rp 1,29 triliun total anggaran belanja pemerintah pusat terkait aktivitas digital, di mana Rp 90,45 miliar diantaranya digunakan untuk jasa influencer.

Penelusuran dilakukan melalui pengecekan terhadap aktivitas pengadaan barang dan jasa (PBJ) di kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK) di masing-masing situs layanan pengadaan secara elektronik (LPSE). Secara total ada 34 kementerian, lima LPNK, dan dua institusi penegak hukum yakni Kejaksaan Agung dan Kepolisian yang ditelusuri anggarannya oleh ICW.

Egi lantas mempertanyakan apakah benar ada urgensi menggunakan jasa influencer? Bagaimana akuntabilitas dan transparansi pemerintah ketika menggunakan jasa influencer? Karena apabila institusi kehumasan berjalan baik, pemerintah tidak lagi memerlukan influencer untuk mensosialisasikan kebijakan.

Transparansi dan akuntabilitas anggaran dalam penggunaan influencer dinilai sangat lemah, sebab tak ada tolok ukur yang dipakai ketika menentukan atau memilih seorang pemengaruh dalam mensosialisasikan kebijakan.

“Karena menggunakan anggaran publik, makanya kita harus kejar akuntabilitasnya seperti apa, transparansinya seperti apa? Dari aspek akuntabilitas misalnya, mekanisme atau prosedur pemilihan dan pertanggungjawaban influencer seperti apa? Lalu, efektivitas jasa penggunaan influencer seperti apa? Ukuran keberhasilannya seperti apa? Jangan sampai hanya membuang anggaran publik,” kata Egi kepada DW.

Peneliti ICW, Egi PrimayoghaFoto: privat

Ia mengaku penelusuran ini dilakukan secara singkat, sehingga apabila ICW melakukan penelusuran lebih lanjut ke beberapa sumber lain, dan pemerintah daerah tidak menutup kemungkinan anggaran untuk aktivitas digital, bisa lebih besar lagi.

“Yang harus diperjelas lagi oleh pemerintah, ada lagi atau tidak kegiatan lain yang melibatkan jasa influencer? Atau menggunakan aktivitas media sosial yang belum tercantum dalam LPSE? Lalu misalnya mereka menggunakan jasa influencer untuk mempromosikan sebuah kebijakan, pemerintah harus memberitahu juga kepada publik kebijakan apa yang mempergunakan jasa influencer,” tambahnya.

Berbicara mengenai transparansi, ICW menilai dalam penggunaan jasa influencer atau pun aktivitas digital secara umum anggaran yang mencakup alokasi atau pertanggungjawabannya harus diumumkan secara terbuka kepada publik.

Namun, berkaca pada kondisi yang tengah dihadapi Indonesia saat ini, penggunaan anggaran secara besar-besaran menjadi sorotan publik. Alih-alih membayar jasa influencer, ICW menganggap dana sebesar itu bisa dimaksimalkan untuk hal yang lebih penting lagi seperti contohnya penanganan pandemi COVID-19.

“Misalnya kalau dilihat tahun 2020, kita menemukan ada Rp 9,3 miliar, kenapa tidak digunakan untuk penanganan pandemi? Atau pendidikan untuk anak-anak yang kesulitan mendapat akses internet atau akses perangkat digital dan sebagainya,” kata Egi.

Rp 90 miliar bukan hanya untuk influencer

Sejumlah nama influencer tercantum dalam LPSE, seperti Ayushita Widyartoeti Nugraha dan Gritte Agatha, dengan besaran anggaran yang ditawarkan mencapai Rp 117 juta.

Dihubungi melalui pesan singkat, Manajer Ayushita Widyartoeti Nugraha, Ciria mengungkapkan artisnya sebagai warga negara hanya membantu program pemerintah di bidang umum, seperti pendidikan, budaya, dan pemberdayaan perempuan.

Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden, Donny Gahral Adian mengatakan, belanja pemerintah sejak tahun 2017 sebesar Rp 90 miliar tidak hanya dialokasikan untuk influencer, tetapi juga untuk biaya iklan layanan masyarakat, iklan di media cetak, audio visual, hingga sosialisasi.

"Bahwa 90 M untuk influencer itu harus dilihat dari dalamnya. Tidak mungkin 90 diberikan kepada influencer. Influencer itu berapa," kata Donny kepada wartawan, Jumat (21/08).

Ia menilai tak ada masalah terhadap penggunaan jasa influencer untuk mensosialisasikan program pemerintah. Donny menyebut influencer yang dipilih pun memang yang berkompeten dan menguasai substansi.

ha/hp