1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pemilu Itu Untuk Pilih si Baik Untuk Berkuasa

Sumanto al Qurtuby
Sumanto al Qurtuby
13 Maret 2019

Pemilu bisa menjadi kontraproduktif dan melahirkan si Jahat untuk berkuasa karena sejumlah faktor atau alasan mendasar berikut ini. Simak opini Sumanto al Qurtuby.

Foto: BortN66 - Fotolia.com

Pemilu adalah sebuah proses pengambilan keputusan formal yang dilakukan oleh warga atau anggota masyarakat atau kelompok untuk memilih individu guna menduduki jabatan publik tertentu, baik di legislatif maupun di eksekutif.

Sejak abad ke-17, pemilihan ini menjadi mekanisme yang biasa dilakukan oleh negara yang menganut sistem demokrasi representatif ("representative democracy” atau "indirect democracy”), yakni salah satu tipe demokrasi yang dibangun diatas prinsip atau basis dimana individu-individu yang terpilih (melalui mekanisme pemilihan formal tadi) merepresentasikan kelompok yang memilihnya.

Demokrasi representatif (representative democracy) ini, yang dianut oleh mayoritas negara di dunia ini, adalah lawan dari "direct/pure democracy” dimana rakyat membuat kebijakan secara langsung. Contoh negara yang menganut sistem demokrasi langsung adalah Swiss.

Dalam konteks Indonesia, pemilu bisa dalam bentuk Pileg (Pemilihan Legislatif), Pilpres (Pemilihan Presiden), Pilgub (Pemilihan Gubernur), Pilbup (Pemilihan Bupati), atau bahkan Pilkades (Pemilihan Kepala Desa).

Idealnya, dan ide awalnya memang demikian, pemilu (apapun jenisnya) itu untuk memilih orang-orang baik, mumpuni, dan berkompeten untuk berkuasa atau memimpin atas nama warga atau rakyat yang memilihnya serta untuk mencegah orang-orang korup, tiran, dan otoriter untuk berkuasa.

Tetapi pada praktiknya tidak selalu demikian. Banyak pemimpin dan elit politik, baik di legislatif maupun eksekutif, yang jahat, rakus, dan sama sekali tidak layak dan tidak berkompeten untuk menjadi seorang pemimpin, yang lahir dari proses pemilu ini. Dengan kata lain, rakyat bukannya memilih si Baik untuk berkuasa tetapi malah memilih si Jahat untuk memimpin.

Penulis: Sumanto al Qurtuby Foto: S. al Qurtuby

Kenapa bisa demikian?

Persekongkolan Jahat dalam Pemilu

Pemilu bisa menjadi kontraproduktif dan melahirkan si jahat untuk berkuasa karena sejumlah faktor atau alasan mendasar berikut ini.

Pertama, adanya sekelompok orang berkepentingan kuat yang menggunakan cara-cara kotor, licik, dan kejam, termasuk teror, untuk menakut-nakuti warga jika mereka tidak memilih kandidat yang diinginkan oleh "sekelompok orang" ini.

Sekelompok orang ini bisa gabungan dari politikus, pebisnis, birokrat, aparat, tokoh agama, cukong, preman, pensiunan, artis, pengacara, pemimpin ormas, aktivis LSM, atau para makelar kekuasaan. Mereka bersekongkol dengan melakukan cara-cara busuk tadi untuk memenangkan calon tertentu yang mereka pandang bisa menjadi "jalan tol" untuk menyalurkan "syahwat kekuasaan", "syahwat bisnis", atau minimal bisa menikmati "proyek recehan" atau "kue kekuasaan" jika calon yang mereka usung itu menang dalam kontes pemilu.

Bukan hanya dengan teror dan ancaman kekerasan (misalnya, jika "Si A" tidak terpilih, maka daerah anu akan dilanda perang dan kerusuhan), mereka juga rela melakukan manipulasi teks-teks suci untuk mengelabui masyarakat demi kepentingan duniawi mereka.

Karena takut diancam dan diteror atau kena "sanksi teologis", maka warga pun dengan terpaksa memilih calon yang sebetulnya tidak mereka inginkan itu. Maka jadilah "si Buruk Rupa" yang tidak tahu bagaimana cara memimpin itu terpilih dan berkuasa.

Politik Uang

Faktor berikutnya, kedua, adalah apa yang disebut dengan "politik uang” (money politics) yang sering dipelesetkan menjadi "fulitik” (dari akar kata "fulus”/uang dan "politik”). Di Indonesia, harus diakui bahwa "politik uang” ini masih cukup cespleng untuk mempengaruhi opini warga. Kandidat yang akan maju berlaga dalam pemilu, baik di kursi legislatif maupun eksekutif, harus berkantong tebal atau ada orang yang bersedia menyediakan segepok duit, jika ingin menang dan terpilih.

Tentu saja disana-sini ada pengecualian. Ada sejumlah kandidat yang dengan mudah melenggang ke kekuasaan tanpa menggunakan "fulitik” lantaran mereka mempunyai jaringan massa akar rumput yang kuat dan luas yang terbentuk lantaran ia dari golongan ningrat, darah biru, tokoh berpengaruh, atau orang-orang kharismatik. Tetapi itu jumlahnya masih sangat terbatas. 

Baik di kota maupun di desa, masih banyak dijumpai warga yang, orang Jawa bilang, "moto duiten”, artinya mereka akan memilih kandidat yang memberikan "uang saku” lebih tinggi dari kandidat lain. Maka, pemilu bagi banyak orang masih dianggap sebagai "ajang bisnis” untuk mengumpulkan uang recehan. Warga memilih kandidat yang membayar lebih tinggi itu, selain "moto duiten” tadi juga lantaran karena mereka "apatis”.

Jika sedang di Indonesia, saya sering ngobrol dengan orang-orang kampung dan menanyakan alasan kenapa mereka mau menerima uang politik dari calon, jawaban mereka kurang lebih sama, yaitu karena (1) mereka tidak mengerti profil, rekam jejak, dan kualitas masing-masing kandidat, (2) tidak ada jaminan jika Si A atau Si B terpilih, maka kondisi sosial-politik-ekonomi akan lebih baik, dan (3) semua calon dianggap sama saja, maksudnya sama-sama akan korupsi dan tidak memikirkan rakyat jika kelak terpilih.

Inilah sebuah bentuk sikap apatisme. Sikap apatis warga itu bisa jadi akibat atau produk pengalaman buruk masa silam di mana para elit politik yang dipilih melalui mekanisme pemilu ternyata tidak menunjukkan kinerja baik dan positif. Dalam konteks ini, dengan memilih calon-calon pemimpin legislatif atau eksekutif yang bersedia membayar lebih tinggi tadi, rakyat sebetulnya juga ikut berkontribusi dalam menciptakan tatanan atau sistem politik yang korup. 

Kebencian dan Dendam

Faktor ketiga, "si Buruk Rupa” bisa melenggang ke parlemen atau kantor pemerintahan sebagai kepala daerah ataupun kepala negara lantaran warga menyimpan rasa dendam kesumat dan kebencian membara terhadap calon tertentu, meskipun calon tersebut sebetulnya sangat baik, jujur, kapabel, dan berkompeten.

Didorong oleh rasa benci dan dendam yang membuncah itu, mereka rela, mempengaruhi orang lain dan bahkan mengorganisasi massa guna memilih calon lain, meskipun calon lain itu memiliki reputasi buruk, rekam jejak yang hancur-lebur, nol prestasi, dan sama sekali tidak layak dan tidak berkompeten duduk di kursi legislatif maupun eksekutif. Kebencian dan dendam kesumat memang bisa membutakan akal sehat dan hati nurani orang.

Dendam dan kebencian terhadap "si Baik” itu bisa jadi lantaran ia selama ini telah melakukan sejumlah kebijakan publik yang merugikan kepentingan mereka dan kelompok mereka. Dendam dan kebencian terhadap calon tertentu juga bisa lahir dari kontes "politik lokal” di tingkat desa. Maksudnya, sebagian warga rela memilih "calon si Buruk Rupa” yang berlaga di tingkat pusat, provinsi, atau kabupaten, lantaran calon yang baik itu didukung oleh rival politik mereka di kampung. Jadi, rasa dendam dan kebencian di tingkat kampung "diperpanjang” di tingkat yang lebih atas.

Lain ladang, lain belalang. Lain kepala, lain pula jalan pikirannya. Begitulah umat manusia. Ada yang berakal sehat dan berhati nurani, ada pula yang minus akal sehat dan hati nurani. Ada lagi yang mengklaim berakal sehat dan berhati nurani, meskipun realitasnya tidak memiliki semua itu.

Orang-orang jahat yang bisa mengorganisasi kejahatan dengan rapi bisa mengalahkan orang-orang baik yang teledor yang tidak bersedia (atau tidak mampu) mengorganisasi, mengkapitalisasi, dan menginstitusionalisasi kebaikan mereka. Maka tetap waspadalah!

Tentu saja saya berharap populasi orang-orang baik yang tidak gegabah jumlahnya lebih besar atau mayoritas sehingga bisa menjalani proses Pemilu 2019 ini dengan baik dan gemilang, yakni pemilu yang mampu mengantarkan orang-orang baik, jujur, kredibel, kapabel, dan berkompeten untuk menempati posisi-posisi strategis di legislatif maupun eksekutif agar Indonesia kelak menjadi negara yang jaya, subur makmur, dan aman-tentram atau seperti orang Jawa bilang: gemah ripah loh jinawi, toto titi tenterem karto lan raharjo.

Penulis:

Sumanto Al Qurtuby adalah anggota dewan pendiri Nusantara Kita Foundation dan Presiden Nusantara Institute. Ia juga Dosen Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran, Arab Saudi. Ia pernah menjadi fellow dan senior scholar di berbagai universitas seperti National University of Singapore, Kyoto University, University of Notre Dame, dan University of Oxdord. Ia memperoleh gelar doktor (PhD) dari Boston University, Amerika Serikat, di bidang Antropologi Budaya, khususnya Antropologi Politik dan Agama. Ia telah menulis lebih dari 20 buku, ratusan artikel ilmiah, dan ribuan esai popular, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Bukunya yang berjudul Religious Violence and Conciliation in Indonesia diterbitkan oleh Routledge (London & New York) pada 2016. Manuskrip bukunya yang lain, berjudul Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education and Islam, akan diterbitkan oleh I.B. Tauris (London & New York) bekerja sama dengan Muhammad Alagil Arabia-Asia Chair, Asia Research Institute, National University of Singapore.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Tulis komentar Anda di  kolom di bawah ini.