1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Seks Bebas dan Pendidikan Seks

Uly Siregar1 Agustus 2016

Pernahkah Anda berdiskusi soal seks dengan anak? Apa yang biasanya Anda sampaikan? Dilema seks bebas dan pendidikan seks di Indonesia diulas dalam opini Uly Siregar berikut ini.

Symbolbild Sex education Aufklärung Sexualerziehung
Foto: Colourbox

Seks, seperti halnya makan, minum, bernapas, tidur dan buang air termasuk dalam kebutuhan paling dasar dalam Teori Hierarki Kebutuhan milik Abraham Maslow. Mungkin karena itu meski peradaban sudah demikian maju, 10 ribu orang di masa depan diproyeksikan bermigrasi ke planet Mars untuk membangun koloni pertama lewat proyek ambisius The Mars One Mission, kita masih terus berkutat dengan persoalan seputar selangkangan.

Di Indonesia urusan seks memang kerap membingungkan. Jalan yang ditempuh untuk menertibkan urusan seks dilakukan dengan cara beragam, dari yang masih bisa dimaklumi seperti pemblokiran situs-situs porno, hingga yang bikin bingung seperti sensor KPI terhadap bahu telanjang perempuan dan adegan memerah sapi di televisi.

Penulis: Uly SiregarFoto: Privat

Yang pasti, wacana tentang seks di Indonesia selalu dibalut dengan embel-embel moral dan agama. Kaum penjaga moral yang agamis ini berdiri paling depan dan menjerit paling keras ketika ada anggota masyarakat (terutama perempuan) dianggap melenceng dari pakem moral dan agama, utamanya dalam soal seks.

Tanyakan pada seorang ibu, apakah salah satu mimpi terburuk memiliki anak perempuan? Diperawani sebelum nikah termasuk salah satu ketakutan yang umum. Meskipun hubungan seks dilakukan atas dasar suka sama suka dan dilakukan setelah si anak melampaui usia dewasa 18 tahun. Yang lebih bikin pusing? Hamil di luar nikah.

Rasa malu ini juga muncul bila sang anak gadis diperkosa. Rasa takut, marah, mungkin bisa dipahami. Tapi malu? Iya, malu. Karena dalam tatanan masyarakat Indonesia yang moralis dan agamis, kasus perkosaan dipahami secara ajaib: tak melulu salah si pemerkosa.

Bisa jadi kesalahan terbesar justru pada korban karena mengundang syahwat si pemerkosa: ia terlalu cantik, kulitnya mulus, roknya terlalu pendek, ketiaknya terlihat, dadanya sentosa, senyumnya mengundang, berani jalan sendirian di tempat sepi, atau malam hari berani-beraninya bepergian naik kendaraan umum tanpa berombongan atau dikawal laki-laki dewasa.

Pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi

Ketika bicara soal seks, yang menjadi musuh bersama adalah pornografi dan seks bebas. Yang sering luput? Pendidikan seks dan kesehatan reproduksi. Masyarakat Indonesia lebih nyaman mengandalkan agama sebagai senjata menghentikan pornografi dan seks bebas. Rasa takut akan dosa dianggap ampuh meredam hormon dan nafsu-nafsu. Efektifkah?

Dalam berita lawas tahun 2014 yang dikutip dari situs resmi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN Julianto Witjaksono mengatakan jumlah remaja yang melakukan hubungan seks di luar nikah mengalami tren peningkatan. Ia menyebut 46% remaja berusia 15-19 tahun sudah berhubungan seksual.

Data Sensus Nasional menunjukkan 48-51 persen perempuan hamil adalah remaja, yang sebagian berakhir dengan aborsi. BKBBN memperkirakan ada 2,4 juta kasus aborsi setiap tahun. Dari angka tersebut, 15% dilakukan oleh remaja putri berstatus pelajar.

“Pendidikan seks bolehlah, misalnya tentang anatomi tubuh. Itu juga diajarkan kok di sekolah. Tapi jangan sampai detail bangetlah soal reproduksi, gimana penis ketemu vagina waktu bikin anak. Gila, ah. Cukup diinformasikan sperma membuahi sel telur,” ujar Yuni, ibu seorang remaja laki-laki berusia 14 tahun.

Entah mengapa, penis dan vagina membuat dia tak nyaman. Padahal Yuni mengaku pernah mendapati si anak lanang menonton film porno. Artinya, si remaja laki-laki ini sudah tahu soal fornikasi meski lewat film penggugah fantasi seks yang menyesatkan dan tidak informatif.

Belajar menghargai tubuh

Risih. Itu salah satu persoalan terbesar para orang tua ketika harus bicara soal seks pada anak. Akibatnya, mereka mengambil jalan pintas dengan mengajarkan agama habis-habisan pada sang anak sambil tak henti-hentinya melantunkan doa dan harapan: semoga agama bisa menjadi benteng pertahanan sang anak dari jeratan seks bebas.

Tentu bukan hal yang buruk menanamkan nilai kepantasan, moral, dan agama. Namun lebih sering terjadi hormon dan nafsu yang ternyata menang. Padahal penjelasan yang masuk akal seperti bahaya penyakit menular, kemungkinan hamil, risiko gangguan kesehatan dan psikologis bila melakukan aborsi, dan beratnya tanggung jawab sebagai orang tua bila sampai memiliki anak dalam usia yang masih remaja bisa jauh lebih efektif dalam mengerem perilaku seks bebas.

Metode bergantung pada agama diadopsi dengan terlalu bersemangat. Kampanye pencegahan penularan HIV dengan bagi-bagi kondom, misalnya, sering disalahartikan sebagai kampanye seks bebas. Padahal tujuan kampanye jelas: kondom efektif mencegah penularan HIV.

Apakah kondom digunakan untuk berzinah atau sebagai pilihan alat kontrasepsi bagi pasangan suami istri seharusnya bukan masalah. Faktanya kondom terbukti ampuh mencegah penyakit seks menular. Tak ada urusannya dengan moral bangsa. Herannya, kondom sering menjadi bulan-bulanan. Begitu mengintimidasinya kondom, bahkan menjelang hari Valentine pasti muncul himbauan agar kondom tak dijual bebas. Alasannya supaya anak muda tak tergoda melakukan seks bebas.

Pendidikan seks dan kesehatan reproduksi sangatlah penting. Bukan hanya untuk meredam seks bebas dan kehamilan di usia remaja, tapi juga untuk mengajarkan anak soal menghargai tubuh.

Penis dan vagina adalah bagian dari tubuh, tak perlu jadi sumber rasa malu atau pikiran kotor. Organ seks justru harus dipelajari fungsi-fungsinya sehingga sang pemilik organ bisa mengontrolnya dengan baik.

Lagipula, seandainya sejak usia dini kita diajarkan untuk menghargai organ seks sebagai bagian dari tubuh yang sama vitalnya dengan bagian tubuh lainnya, mungkin laki-laki bisa memandang perempuan tak hanya sebagai vagina berjalan yang fungsi utamanya direduksi hanya untuk memuaskan nafsu seksual kaum pria, bahkan dengan cara pemaksaan.

Penulis:

Uly Siregar bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Arizona, Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.

@sheknowshoney

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait