1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ikhwanul Muslimin dan Demokrasi di Mesir

Matthias Sailer17 Mei 2013

Kelompok Ikhwanul Muslimin di Mesir menyatakan mereka ingin demokrasi. Tapi bekas anggotanya memberitakan tentang struktur yang tidak demokratis dalam organisasi itu.

Sunday Jan. 6, 2013, President Mohammed Morsi, center, meets with his cabinet at the presidential palace in Cairo (Foto:Egyptian Presidency, File/AP/dapd)
Ägypten Mursi Kabinett MuslimbrüderFoto: dapd

Selama 10 tahun Osama Dorra menjadi anggota Ikhwanul Muslimin di Mesir. Tahun 2011 ia keluar dari organisasi itu. Ia mengenal Ikhwanul Muslimin ketika masih di Sekolah Menengah. Seorang teman menceritakan tentang kelompok yang dilarang dan beroperasi secara diam-diam. Karena tekanan dari penguasa Mesir saat itu, Hosni Mubarak, Ikhwanul Muslimin berhasil menarik banyak simpatisan.

Tapi Osama Dorra segera menemui struktur yang sangat hierarkis. Anggota Ikhwanul Muslimin harus taat pada anggota yang lebih tua dan tidak boleh punya pandangan yang berbeda. "Bahkan beberapa orang harus mencium tangan. Saya tidak menganggap itu sebagai hal yang penting. Karena itu, mereka tidak benar-benar yakin pada saya. Mereka tidak ingin ada orang yang punya pandangan mandiri. Anggotanya harus menurut perintah.”

Naik Jabatan Lewat Disiplin

Itu salah satu alasan, mengapa Osama tidak pernah naik jabatan dalam organisasi. Ia mengatakan, orang yang bias naik jabatan di Ikhwanul Muslimin hanya orang yang benar-benar sangat menurut dan sangat disiplin. Atau orang yang punya banyak uang.

Uang menjadi penting, karena setiap anggota Ikhwanul Muslimin harus menyetor sekitar tujuh persen dari pendapatannya setiap bulan kepada organisasi.

Tapi juru bicara Ikhwanul Muslimin, Yasser Mehrez membantah bahwa anggota mereka dituntut hanya melaksanakan perintah. Memang dispilin adalah hal penting dalam organisasinya. Tapi anggotanya tidak dituntut punya disiplin yang buta.

Itu adalah gambaran yang dimiliki media di luar negeri, kata Mehrez. Gambaran itu sengaja disebarkan oleh penentang Ikhwanul Muslimin. "Itu tidak benar. Kami bebas, kami berpikir secara mandiri dan kreatif. Tapi disiplin memang sangat penting“.

Yasser Mehrez mengatakan, Ikhwanul Muslimin malah punya struktur yang demokratis. Keputusan dalam organisasi dibahas dari tingkat paling bawah sampai ke tingkat paling atas, yaitu Dewan Syura. Anggota dewan ini ditetapkan dalam sebuah pemilihan demokratius. Lalu Dewan Syura menetapkan 19 orang sebagai Dewan Pimpinan.

Tidak Demokratis

Osama Dorra menilai mekanisme perekrutan di Ikhwanul Muslimin tidak demokratis. Semua keputusan tergantung pada tokoh yang punya jabatan tinggi. "Setiap pejabat tinggi di Ikhwanul Muslimin punya murid-murid, yang selalu menurut. Kalau murid-muridnya tahu, bahwa sang Guru cenderung simpati pada seorang calon, semua muridnya akan mendukung calon itu”.

Pengamat politik Khalil Anani dari Universitas Durham juga meragukan struktur demokratis Ikhwanul Muslimin. Seharusnya, Dewan Pimpinan yang beranggotakan 19 orang diawasi oleh Dewan Syura. Tapi kenyataannya, Dewan Pimpinan yang mengendalikan Dewan Syura.

Osama Dorra menerangkan: "Institusi-institusi ini tidak berfungsi. Mereka hanya pura-pura berdemokrasi. Mubarak juga dulu punya parlemen. Tapi parlemen tidak melakukan apa-apa.“ Bagi Osama Dorra yang pernah 10 tahun menjadi anggota Ikhwanul Muslimin sudah jelas, struktur dan mental organisasi itu memang tidak demokratis.

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait