Negara berkembang yang berinvestasi bagi 'pekerjaan berkualitas' semakin mengejar ekonomi maju, ungkap ILO melalui laporannya yang juga menemukan bahwa Uni Eropa tetap menjadi favorit para migran.
Iklan
Negara-negara berkembang yang paling banyak menaruh investasi pada pekerjaan berkualitas - pekerjaan dengan produktivitas tinggi dan pemasukan reguler - tumbuh hampir satu persen lebih cepat sejak tahun 2007 dibandingkan negara maju, menurut laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO).
Hasilnya, semakin banyak pekerja di negara berkembang yang bergerak menuju pekerjaan yang lebih baik dan masuk kelas menengah. Laporan memperlihatkan bahwa pendapatan per kapita di negara-negara seperti Senegal, Vietnam dan Tunisia tumbuh rata-rata 3,3 persen per tahun antara 1980-2011 - jauh lebih cepat dari 1,8 persen di ekonomi maju.
Namun pemasukan 839 juta orang masih di bawah 2 Dolar per hari - sepertiga pekerja di negara berkembang. Walau jumlah ini sudah turun dari separuh pekerja sejak awal 2000-an.
Perlindungan sosial
Sekitar 1,5 miliar orang di negara berkembang memiliki pekerjaan yang tidak stabil - tanpa kontrak dan perlindungan serta acapkali diliput kemiskinan.
"Menghormati standar buruh dan kebijakan yang mempromosikan pekerjaan formal juga penting dalam menciptakan pekerjaan berkualitas yang meningkatkan standar hidup, menaikkan konsumsi domestik dan mendorong pertumbuhan ekonomi," tegas Guy Ryder, dirjen ILO.
Laporan ILO juga menyerukan pentingnya penghapusan birokrasi bagi warga yang ingin memulai usaha. Mereka terutama memuji skema perlindungan sosial 'pajak tunggal' bagi wirausaha di Uruguay.
Pola migrasi
Kondisi lapangan kerja antara ekonomi maju dan berkembang tercatat semakin konvergen sejak krisis finansial global tahun 2007. Sementara angka pengangguran di negara maju naik, negara-negara berkembang sempat mengalami kenaikan sebelum kembali ke level pra-krisis.
Menurut laporan, perubahan peluang juga mempengaruhi pola migrasi. Generasi muda yang terdidik dari negara-negara yang terkena krisis semakin banyak yang pindah ke negara berkembang.
Tahun 2013, 231,5 juta orang tinggal di negara selain tanah kelahiran. Total jumlah migran naik sebanyak 57 juta orang sejak tahun 2000 - sekitar seperlima dari kenaikan terjadi dalam 3 tahun terakhir.
Penderitaan Diselubungi Mode Cantik
Di balik gemerlap dunia mode tersembunyi penderitaan para buruh di pabrik tekstil. Pakaian yang merekat di tubuh konsumen Eropa menyelubungi kenyataan hidup memprihatinkan pekerja tekstil di Asia.
Foto: DW/M. Mohseni
Industri Global
Sebagian besar pakaian yang dikenakan dunia melalui tangan-tangan pekerja tekstil di negara berkembang. Merek besar internasional sudah lama memindahkan produksi mereka ke Asia Tenggara dan Amerika Latin, di mana buruh mendapat upah rendah. Jika pakaian diproduksi murah, menjaga kelestarian lingkungan dan hak pekerja tidak jadi prioritas.
Foto: picture-alliance/dpa
Produksi Massal
Produksi massal pakaian diawali di Inggris di masa revolusi industri, yang dimulai awal abad ke-18. Ketika itu industri tekstil mengalami 'boom' di kawasan London dan Manchester, yang punya lebih dari 100 pabrik katun di tahun 1850-an. Pekerja anak-anak, waktu kerja yang panjang, gaji kecil dan masalah kesehatan sudah umum di kalangan buruh.
Foto: gemeinfrei
Sejarah Penyalahgunaan
Setelah itu kondisi tersebut juga muncul di AS. Tahun 1911, 146 pekerja tekstil tewas dalam kebakaran di pabrik Triangle Shirtwaist, di New York, karena manajer mengunci pintu keluar. Sebagian besar korban adalah perempuan muda. Kondisi kerja mereka serupa dengan yang bisa dilihat di Asia sekarang. Jam kerja panjang, upah kecil dan bangunan yang tidak aman.
Foto: picture-alliance/dpa
"Made in China"
Ketika makin banyak negara bersaing untuk kurangi biaya produksi pakaian, banyak pabrik dipindahkan dari AS dan Eropa ke Asia dan Amerika Latin di tahun 1970-an. Sekarang Cina jadi produsen tekstil terbesar dunia. Pekerjanya sekarang dapat bayaran makin baik, sampai hampir enam juta Rupiah per bulan. Sekarang pemilik pabrik memindahkan produksi ke negara tetangga, yang upah buruhnya masih rendah.
Foto: picture-alliance/dpa
Upah Eksploitasi
Di negara bagian Tamil Nadu di India selatan, anak-anak perempuan bekerja dalam sistem Sumangali, yang dalam bahasa Tamil berarti "pengantin yang bawa kesejahteraan." Diperkirakan, 120.000 anak bekerja dalam 'periode pelatihan' selama empat tahun untuk mengumpulkan uang bagi biaya pernikahannya. Mereka bekerja 12 jam, dan hanya mendapat sekitar 8.000 Rupiah.
Foto: picture-alliance/Godong
Perjuangkan Upah Lebih Baik
Di Kamboja, diperkirakan 300.000 perempuan bekerja di pabrik tekstil dalam kondisi menyedihkan. Seorang pekerja mendapat sekitar 790.000 Rupiah per bulan. Ketika memprotes upah yang rendah, pekerja ditembaki. Di Bangladesh, sekitar empat juta bekerja di industri tekstil, sebagian besar perempuan. Negara itu sangat tergantung pada sektor industri garmen dengan upah rendah.
Foto: Reuters
Konsekuensi Tragis
Kesengsaraan pekerja tekstil modern dapat perhatian global ketika sebuah pabrik runtuh di Bangladesh, 24 April 2013. Lebih dari 1.100 orang tewas. Ini adalah salah satu kecelakaan paling besar akibat bangunan bobrok atau kebakaran. Tragedi itu mengakibatkan sekitar 80 perusahaan, seperti H&M dan Metro untuk tandatangani kesepakatan kondisi kerja lebih aman di Bangladesh.
Foto: Reuters
Dunia Berbeda
Pakaian yang dipamer di jendela toko menyelubungi kenyataan hidup menyedihkan bagi banyak pekerja tekstil. Merk-merk Jerman termasuk pelanggan pabrik tekstil yang menjalankan praktek kerja memprihatinkan. Jalur suplai panjang dan tidak adanya transparansi menyebabkan sulitnya pelacakan, dari mana dan bagaimana barang diproduksi.
Foto: DW/M. Mohseni
8 foto1 | 8
Uni Eropa tetap menjadi pilihan tujuan, dengan 51 persen migran bermukim di wilayah ini.
Harapan bagi masa depan
"Untuk pertama kalinya dalam sejarah, dalam beberapa tahun ke depan, mayoritas pekerjaan baru di negara berkembang sudah memenuhi kualitas yang memungkinkan pekerja serta keluarganya hidup di atas garis kemiskinan di Amerika Serikat," demikian tertulis dalam laporan. Namun ILO juga mengakui bahwa 85 persen tenaga kerja di negara berkembang akan masih hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun 2018.
Sekitar 213 juta orang diprediksi masuk pasar tenaga kerja dalam 5 tahun mendatang, 200 juta diantaranya di negara berkembang.