1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikRusia

Imam di Rusia yang Antiperang Hadapi Hukuman

Maria Katamadze
16 Oktober 2023

Para imam Gereja Ortodoks Rusia dipecat dan didenda di pengadilan karena secara terbuka menentang perang di Ukraina. Satu persen imam Gereja Ortodoks Rusia menandatangani surat serukan diakhirinya perang di Ukraina.

Gambar ilustrasi
Gereja Ortodoks Rusia telah lama menjadi sekutu Presiden Putin dan mendukung upaya perang di Ukraina.Foto: Sergei Malgavko/TASS/dpa/picture alliance

DW berbicara dengan para imam yang meninggalkan Rusia dan yang tetap tinggal di Rusia. Mereka semua berusaha menghadapi lingkungan yang semakin represif di dalam Gereja Ortodoks.

Ketika Rusia menginvasi Ukraina pada Februari 2022, Andrey, seorang imam Gereja Ortodoks Rusia (ROC), menghadapi dilema: Menyelamatkan komunitas yang telah ia bangun di gereja, atau mengambil risiko dengan angkat bicara? Tetap di sini atau pergi?

Pendeta Andrey (bukan nama sebenarnya) adalah salah satu dari mereka yang secara terbuka mengutuk perang tersebut dan memutuskan untuk melarikan diri. Dia merelokasi seluruh keluarganya ke negara tetangga Georgia, di mana dia tidak dapat memenuhi misi pastoralnya tanpa persetujuan ROC. Dia memilih untuk berbicara dengan DW dari sana dengan syarat anonimitas untuk menjaga "secercah harapan” terakhirnya untuk kembali melakukan pelayanan imamatnya di Rusia suatu hari nanti.

"Saya tidak bisa mengutuk mereka yang harus berkompromi dengan diri mereka sendiri untuk mempertahankan tempat mereka,” katanya, berbicara tentang imam yang memilih untuk tetap tinggal di Rusia.

Berdoa untuk perdamaian menempatkan imam Rusia dalam bahaya

Ada satu doa khusus yang direkomendasikan oleh Gereja Ortodoks Rusia untuk dibaca ketika Kremlin mengintensifkan upaya perangnya di Ukraina. Para imam berdoa "untuk perdamaian” pada bulan pertama konflik, namun kemudian mereka diminta berdoa "untuk kemenangan”.

"Kedua versi tersebut mengandung kebohongan dan propaganda… Rusialah yang memulai perang, bukan sebaliknya,” kata Andrey.

Meskipun beberapa imam lolos dengan tidak membaca versi baru doa tersebut, tidak semua orang cukup beruntung untuk menghindari hukuman.

Ioann Koval, seorang imam dari Moskow, dipecat setelah mengganti kata "kemenangan" dengan "perdamaian". Otoritas Gereja memandang hal ini sebagai tindakan pembangkangan.

Penebusan dosa di muka umum untuk para imam

Penebusan dosa di depan umum adalah alat lain yang digunakan otoritas gereja untuk menindak perbedaan pendapat.

Imam Ilya Gavrishkiv dari Pogorelov Gorodishche, sebuah desa yang terletak sekitar 200 kilometer dari Moskow, secara terbuka meminta maaf karena tidak mendoakan kemenangan Rusia.

Dalam video yang beredar di saluran Telegram Rusia, seorang uskup muncul dari belakang altar, menyapa umat paroki dengan Gavrishkiv berdiri di sisinya.

"Pertama, dia akan dilarang melakukan pelayanan suci… lalu dia akan dicopot dari imamatnya… Apa yang akan terjadi padamu, Imam Ilya? Sangat aneh… Ketika kami menjelaskan kesalahannya kepadanya, dia segera memahami,” kata uskup itu.

Sebagai tanggapan, Gavrishkiv menerima kesalahannya: "Bodoh... dan karena sombong, saya membaca doa untuk perdamaian, dan tidak membaca apa yang diminta dari saya," katanya lirih menatap ke arah lantai.

Bagaimana Gereja Ortodoks Rusia memandang pernyataan antiperang?

Gereja Ortodoks Rusia menyangkal telah melakukan persekusi dan menyatakan bahwa para imam dipecat karena membuat pernyataan politik.

Wakil Kepala Kantor Pers Gereja, Vakhtang Kipshidze, mengatakan kepada Associated Press, "Para imam yang mengubah diri mereka dari imam menjadi agitator politik dan orang-orang yang berpartisipasi dalam perjuangan politik jelas-jelas tidak lagi memenuhi tugas pastoral mereka dan tunduk pada larangan kanonik."

Meski mengaku apolitis, Gereja Ortodoks Rusia sangat menghormati para imam yang melakukan perjalanan untuk meningkatkan moral Rusia di Ukraina. Para imam Rusia telah muncul di garis depan, memberkati tentara Rusia dengan air suci dan simbol keagamaan sebelum berperang.

Patriark Kirill, pemimpin Gereja Ortodoks Rusia, merupakan pendukung setia Presiden Rusia Vladimir Putin. Untuk menunjukkan kesetiaannya kepada presiden, ia mendukung kampanye perang melawan Ukraina sejak awal, dengan mengklaim bahwa mati dalam pertempuran akan, "menghapus semua dosa [seorang prajurit]." Gereja Ortodoks, yang menggambarkan Rusia dan Ukraina sebagai "satu bangsa,” menuduh "pengaruh asing” "menghasut konflik di antara mereka.”

Seperti yang dikatakan Natallia Vasilevich, pakar Gereja Ortodoks Rusia dan koordinator kelompok hak asasi manusia Christians Against War kepada DW, "imam antiperang melihat perang ini sebagai perang imperialistik, dan Rusia ingin mencekik Ukraina. Sebaliknya, Patriark Kirill, memandangnya sebagai perang antiimperialis Rusia melawan kolektif Barat, yang ingin memperbudak Rusia yang suci."

Kehidupan gereja semakin tidak aman

Dalam iklim gereja yang semakin tidak aman, beberapa orang yang memiliki sentimen antiperang terpaksa bersembunyi—menjauh dari intaian.

Imam Nikolay, yang tinggal di St. Petersburg, mengatakan kepada DW bahwa ia berusaha dengan lembut mengungkapkan sikap pasifisnya dan menyamakan suasana di dalam gereja dengan saat, "Umat Kristen dianiaya dan menggunakan simbol-simbol rahasia untuk mengidentifikasi satu sama lain."

Saat mempertimbangkan pilihannya, Nikolay mengatakan bahwa mentor rohaninya membujuknya untuk tidak pergi ke pengasingan. "Siapa yang akan menggantikanmu?" dia bertanya padaku. “Apakah orang ini akan berkhotbah tentang perdamaian sepertimu atau tentang perang?”

Dalam upaya perlawanan perangnya, Nikolay membuat obrolan rahasia di Telegram di mana para pesertanya berkumpul secara diam-diam untuk berdoa bagi perdamaian. "Ini berhasil dari mulut ke mulut. Kami berbicara dengan hati-hati dan mengetahui bahwa seseorang tidak mendukung perang, dan kami menjadi lebih dekat," katanya, seraya menambahkan bahwa hal itu mengingatkannya pada gerakan "partisan". Dia menggambarkan pertemuan rahasia itu sebagai, "menghirup udara segar."

“Setelah berdoa untuk saudara-saudari kami di Ukraina, kami berbicara satu sama lain, dan komunikasi itu menyelamatkan kami. Ini adalah kesempatan bagi kami untuk mengatakan apa yang ada di hati kami dan menyebut segala sesuatunya dengan nama mereka,” katanya.

Diakui Nikolay, keberadaan kelompok semacam itu bisa menjadi rahasia umum dan membahayakan dirinya. "Kalau begitu, konsekuensinya tidak bisa diprediksi. Saya mungkin harus menderita demi kebenaran saya. Tuhan menyertai kita; saya tidak takut."

*Nama dan lokasi telah diubah untuk melindungi identitas para imam.

(hp/ap)