Di tengah kecemasan atas pengusiran warga ilegal di AS, Imam asal Indonesia Shamsi Ali meyakini solidaritas dan demokrasi di AS masih tinggi. Penolakan terhadap larangan imigrasi Trump terus membumbung.
Iklan
Menurut Presiden Muslim Foundation of America, Imam Shamsi Ali, putusan pengadilan yang menolak untuk memulihkan larangan imigrasi Presiden AS Donald Trump baru-baru ini, menggambarkan bahwa demokrasi di AS masih hidup.
Imam Shamsi Ali yang berasal dari Indonesia ini menceritakan, pasca Trump mengeluarkan aturan kontroversial tersebut, tekanan warga di berbagai kota di Amerika meninggi dan semakin menjamur. Sementara itu berbagai asosiasi pengacara melakukan tuntutan hukum darurat menuntut agar keputusan itu dibatalkan.
Menurut Shamsi Ali,yang juga merupakan Presiden Nusantara Foundation di New York, sekali lagi Donald Trump harus menerima kenyataan pahit bahwa para hakim pengadilan tinggi di San Fransisco --di mana pemerintahannya mengajukan peninjauan kembali atas pembatalan "perintah eksekutif" itu-- menolak kebijakannya secara aklamasi.
"Alhamdulillah, ternyata karakter anti Islam dan Muslim Donald Trump, khususnya dengan pelarangan orang Islam masuk Amerika ini, menumbuhkan simpati dan solidaritas warga Amerika secara luas. Berbagai demo di bandara-bandara internasional Amerika justru diinisiasi oleh warga Amerika non Muslim termasuk komunitas Yahudi," ujarnya.
Aksi Women’s March di Berbagai Penjuru Dunia
Aksi Women’s March di Washington meninggalkan jejak. Ratusan aksi serupa digelar di seluruh dunia, menentang sikap Presiden Amerika Donald Trump yang kerap rendahkan hak-hak perempuan dan kaum minoritas.
Foto: picture-alliance/dpa/ZUMA WIRE/El Universal
Kerumunan massa untuk hak-hak perempuan
Ratusan ribu orang turun ke jalan di Washington, DC. Penyelenggara pawai mengatakan bahwa aksi protes itu tidak hanya untuk menunjukkan penentangan atas disahkannya Presiden AS Donald Trump, namun juga seruan agar hak-hak perempuan dan minoritas lainnya dihormati.
Foto: DW / F. Kroker
Solidaritas
Pengunjuk rasa di Brasil saling bergandengan tangan di ibukota Brasil, Brasilia. Lebih dari 600 peristiwa solidaritas serupa diadakan di seluruh dunia, di setiap benua termasuk Antartika, di mana sekelompok ilmuwan mengadakan demonstrasi kecil di kapal penelitian.
Foto: Reuters/A. Machado
'Pussy hats'
Sebuah keluarga yang ikut serta dalam pawai di Frankfurt mengenakan "Pussy Hats", sebagian juga dikenakan demonstran di lokasi-lokasi lainnya. Topi itu ditujukan sebagai protes atas komentar misoginis Presiden Trump yang dikatakannya pada tahun 2005, "Grab her by the pussy". Isu itu jadi sorotan selama kampanye pemilu.
Foto: DW/M. Bierbach
'Membangun kebaikan, bukan tembok‘
Banyak slogan dalam protes berkaitan dengan janji Presiden Trump untuk membangun dinding di perbatasan antara AS dan Meksiko. Dalam aksi protes di ibukota Kenya, Nairobi, pendukung menuntut kesetaraan dan toleransi.
Foto: Reuters/T. Mukoya
Paris melawan patriarki
Setidaknya 2.000 orang ambil bagian dalam pawai di Paris. Banyak demonstran di seluruh Eropa mengatakan mereka tidak hanya memprotes Trump, tapi juga memprotes kebangkitan sayap kanan di seluruh benua, termasuk jelang pemilu Perancis pada bulan Maret.
Foto: Reuters/J. Naegelen
Jumlah pendemo lebih tinggi dari pelantikan
Banyak yang memperkirakan rendahnya jumlah yang hadir di pelantikan Presiden Trump. Di media sosial beredar gambar-gambar kereta bawah tanah yang kosong di Washington pada hari pelantikan, namun para pejabat transportasi di ibukota AS mengatakan hari Sabtu (21/01) adalah hari kelima tersibuk dalam sejarah kereta bawah di kota itu.
Foto: DW/D. Raish
Protes terbesar dalam sejarah AS
Jantung Manhattan dibanjiri demonstran Sabtu (21/01) sore. Aksi demonstrasi akbar juga terjadi di kota-kota besar di Amerika Serikat lainnya. Kaum akademisi sebelumnya sudah memprediksi bahwa akan terjadi aksi protes terbesar dalam sejarah negara itu.
Foto: Reuters/S. Keith
Meksiko bergerak
Aktivis di Mexico City berbaris menuju kedutaan AS. Salah satu dari banyak pernyataan kampanye Donald Trump yang memicu kontroversi adalah tuduhan bahwa banyak imigran Meksiko yang masuk ke Amerika Serikat adalah penjahat.
Foto: picture-alliance/dpa/ZUMA WIRE/El Universal
8 foto1 | 8
Hidup dalam realitanya sendiri
Ketujuh negara yang terimbas larangan Trump adalah adalah Iran, Irak, Suriah, Libia, Yaman, Sudan dan Somalia. Mereka dilarang masuk Amerika dengan alasan menjaga keamanan Amerika dari serangan teror dari luar. Shamsi Ali berpendapat, Presiden Donald Trump menampakkan diri sebagai orang yang hidup dalam bayang-bayang dirinya sendiri: "Di mana dirinya selalu merasa terancam dan hanya dia sendiri yang bisa menjamin keamanannya. Sebuah kepribadian yang terlepas dari realita sekitarnya."
Menurut Shamsi Ali, dalam sejarahnya Amerika selalu teruji oleh nilai-nilai kemanusiaan universal yang dibanggakan. Bahwa Amerika adalah negara dan bangsa imigran, terbuka untuk imigran, dan selalu mengedepankan sikap berkeadilan kepada semua tanpa batas agama, ras dan latar belakang kebangsaan. "Nilai-nilai universal Amerika inilah yang membangun kesadaran bangsa Amerika bahwa apa yang dilakukan oleh presidennya saat ini salah. Sehingga wajar jika banyak warga Amerika saat ini yang bangkit dan melakukan resistensi terhadap kebijakan Donald Trump itu," tandasnya.
Gelar aksi solidaritas
Shamsi Ali sendiri sejak awal kampanye hingga terpilihnya Trump sebagai presiden AS, dan bahkan hingga kini mengaku banyak mendapat dukungan dari teman-teman non Muslim, baik itu secara langsung dengan menawarkan perlindungan apapun yang diperlukan dalam menghadapi tantangan masa kini, atau juga secara tidak langsung dengan mengajak kerjasama dalam membangun komunitas bersama yang solid.
7 Negara Ini Paling Ketar-ketir Terhadap Trump
Sementara beberapa negara menyambut Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat ke-45, negara-negara ini diliputi kecemasan, termasuk ketar-ketir akan persekutuan Trump dengan petinggi Rusia, Putin.
Foto: Getty Images/S. Gallup
Meksiko
Trump berkali-kali peringatkan soal deportasi dan tekanan hubungan perdagangan. Selama ini 80% ekspor Meksiko bergantung pada AS. 60% produk impor berasal dari AS. Ancaman dan retorika permusuhan Trump bisa jadi meningkatkan pencalonan kandidat sayap kiri, Andres Manuel Obrador dalam pemilu Meksiko mendatang.
Foto: Getty Images/AFP/Y. Cortez
Jepang
Seperti halnya Trump, Perdana Menteri Shinzo Abe ingin punya hubungan yang lebih baik dengan Rusia, penyedia sumber energi penting bagi Jepang. Namun Jepang juga menginginkan kembalinya pulau-pulau Jepang yang dikuasai Soviet saat perang Dunia ke-2. Sementara, jika Trump menciptakan hubungan yang makin panas dengan Cina, Jepang akan terjebak di antara dua mitra komersial terbesarnya itu.
Foto: picture-alliance/dpa/Cabinet Public Relations Office/Ho
Latvia, Estonia dan Lithuania
Rusia kerap campur tangan di Ukraina, dengan alasan untuk lindungi etnis Rusia di perbatasan. Latvia dan Estonia memiliki persentase yang lebih tinggi populasi etnis Rusia ketimbang Ukraina. Sementara Lithuania akan menutup perbatasannya dengan Kaliningrad, Rusia. Kawat berduri kecil tidak akan menghentikan invasi, namun mempersulit gerak-gerik kelompok-kelompok kecil tentara Rusia.
Foto: Getty Images/S. Gallup
Jerman
Kanselir Angela Merkel mengajukan tawaran: AS harus kerjasama berdasarkan nilai-nilai "demokrasi, kebebasan, aturan hukum dan martabat individu, terlepas dari warna kulit, keyakinan, gender, orientasi seksual, atau pandangan politik. Selain itu, Merkel dan negara-negara Eropa mengecam intervensi Presiden Rusia Vladimir Putin di Ukraina. Kedekatan Trump dengan Putin berpotensi melemahkan Eropa.
Perancis
Kemenangan Trump mungkin membuka peluang bagi partai sayap kanan, Front Nasional, dalam pemilu 2017. Pemimpin partai Marine Le Pen telah berjanji bahwa, jika terpilih sebagai presiden, ia akan membawa Perancis keluar dari Uni Eropa. Lawan Le Pen cemas, Trump mendukung Le Pen dan bakal tutup mata, jika Rusia melakukan kejahatan siber untuk meningkatkan pencalonan politisi anti Islam ini. (time)
Foto: picture-alliance/AP Photo/P. Golovkin
5 foto1 | 5
Salah satu bentuk dukungan teman-teman non Muslim yang dipaparkan oleh Presiden Nusantara Foundation tersebut, adalah keinginan mereka untuk secara terbuka menyatakan rasa simpati dan solidaritas dengan mengadakan rally bertemakan "Hari ini kami juga Muslim". Rencana kegiatan tersebut akan diadakan pada tanggal 19 Februari mendatang di jantung kota New York, Time Square.
Berbagai tokoh agama yang berpengaruh di kota New York telah menyatakan kesiapannya untuk hadir berbicara, antara lain Cardinal Dolan (pimpinan Katolik), Rabbi Joseph Potasnik (Majelis Rabi Yahudi di New York), Rabbi March Schneier (president FFEU), Rev. Chloe Breyer (Direktur Interfaith Center of New York), dan banyak lagi.
Imam Shamsi Ali menyebutkan, dari kalangan pejabat yang kemungkinan akan hadir adalah Gubernur New York, Jaksa Agung New York (AG), Walikota New York, maupun anggota kongres yang mewakili New York di Washington DC. Selain itu juga, disebutkannya akan hadir beberapa selebriti Hollywood. Salah satu di antara mereka yang memang menjadi bagian dari panitia pelaksana adalah musisi Russell Simmons.
Penjara Kaum Sipit di Negeri Kulit Putih
Penasehat Donald Trump menyebut kamp pengasingan Jepang selama Perang Dunia II sebagai model untuk menampung imigran Muslim di Amerika. Seperti apa bentuk kamp yang dibangun atas dasar histeria perang bermotif rasis itu?
Foto: STF/AFP/Getty Images
Relokasi Paksa
Setelah serangan Jepang ke Pearl Harbor, pemerintah AS yang dipimpin Franklin D. Roosevelt tahun 1942 memerintahkan relokasi paksa 120.000 warga negara AS berdarah Jepang ke kamp-kamp pengasingan yang dijaga ketat. Mereka, tanpa terkecuali, dikategorikan sebagai enemy alien alias musuh asing.
Foto: Public Domain
Rasisme Terbuka
Gagasan dasar kamp pengasingan buat warga keturunan Jepang adalah untuk mencegah aksi spionase atau sabotase selama masa perang. Kecurigaan yang berdasarkan pola pikir rasialis dan dipicu oleh politisi dan militer itu ikut menyebar di kalangan penduduk.
Foto: Public Domain
Kerugian Materiil
Relokasi paksa cuma mengizinkan warga keturunan Jepang membawa barang-barang seadanya. Sebagian besar penduduk yang diasingkan akhirnya kehilangan harta benda atau dipecat dari pekerjaan hanya karena latarbelakang etnis. Petani yang menggarap lahan sewaan juga kehilangan hak sewanya seketika.
Foto: Public Domain
Penghilangan Etnis
Anehnya kelompok yang terkena kebijakan tersebut cuma warga keturunan Jepang. Sementara untuk warga negara AS berlatar belakang Eropa seperti Jerman atau Italia tidak mengalami relokasi atau hanya dalam skala kecil. Sekitar 300.000 warga negara Jerman yang saat itu tinggal di Amerika misalnya cuma harus melaporkan diri secara berkala.
Foto: Public Domain
Minim Fasilitas
Bahwa keputusan tersebut diambil secara mendadak, terlihat dari ketidaksiapan pemerintah AS membangun fasilitas perumahan untuk mereka yang diasingkan. Sebagian bahkan dibiarkan tinggal di barak kayu tanpa dapur atau saluran pembuangan. Di banyak kamp, barak yang sedianya dibangun untuk empat orang disesaki hingga 25 orang.
Foto: Public Domain
Kondisi Muram
Pada 1943 Menteri Dalam Negeri AS Harold Ickles mengeluhkan kondisi di kamp yang dinilainya "buruk dan semakin parah." Pasalnya kualitas sebuah kamp bergantung pada pemerintahan negara bagian yang memfasilitasi pengasingan warga keturunan Jepang.
Foto: Public Domain
Doktrin dan Propaganda
Untuk sekitar 30.000 bocah yang ikut direlokasi paksa bersama keluarganya, kamp pengasingan serupa seperti pusat re edukasi. Mereka tidak hanya dilarang berbicara bahasa Jepang, tetapi juga dicekoki materi pelajaran berbau propaganda untuk membangun jiwa patriotisme. Minimnya tenaga pengajar dan buku pelajaran juga memperburuk kualitas pendidikan di kamp-kamp tersebut.
Foto: Public Domain
Melanggar Konstitusi
Pada Desember 1944, Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan penahanan warga negara tanpa alasan jelas melanggar konstitusi. Keputusan tersebut mengakhiri praktik relokasi paksa terhadap warga keturunan Jepang. Tapi butuh waktu lebih dari satu tahun untuk membubarkan kamp-kamp pengasingan.
Foto: Public Domain
Aroma Permusuhan
Sebagian besar bekas tahanan diberikan uang sebesar 25 Dollar AS untuk melanjutkan hidup setelah masa pengasingan. Namun sejumlah lain diusir paksa kembali ke Jepang tanpa uang ganti rugi. Penduduk yang kembali ke kota asalnya juga dilaporkan mengalami presekusi dan teror, antara lain penembakan dan ledakan bom di rumah tinggal.
Foto: Public Domain
Setengah Abad Menunggu Maaf
Menyusul tekanan dari aktivis sipil, pemerintah Amerika Serikat 1980 akhirnya sepakat memberikan uang ganti rugi sebesar 20.000 Dollar AS terhadap setiap warga yang diasingkan. Namun baru 11 tahun kemudian korban relokasi mendapat permintaan maaf resmi dari Gedung Putih, yakni oleh Presiden George Bush Sr. (rzn/ap)