Pengamat ekonomi memprediksi perang Rusia-Ukraina berpengaruh terhadap ekonomi Indonesia. Dampaknya adalah penyesuaian harga BBM, listrik, LPG dalam waktu dekat. Kenaikan komoditas energi juga berdampak ke harga pangan.
Iklan
Ketegangan antara Rusia dan Ukraina semakin memanas. Rentetan ledakan dilaporkan terdengar di Kiev, beberapa kota di dekat garis depan Ukraina timur, dan di sepanjang pantai negara itu. Konflik yang juga turut menyeret Amerika Serikat (AS) dan NATO itu diprediksi memberikan sejumlah dampak ekonomi kepada Indonesia.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengungkapkan akibat konflik itu komoditas minyak mentah harganya hampir menyentuh US$100 (Rp1,4 juta) per barel pada Kamis (24/02).
"Hal ini berarti bisa berdampak penyesuaian harga BBM, listrik, LPG dalam waktu dekat. Selain itu, juga akan membengkakkan belanja subsidi energi pemerintah," ujarnya, kepada detikcom.
Di sisi lain, lanjut Bhima, transmisi terhadap kenaikan harga komoditas energi bisa berdampak ke harga pangan. Sebab biaya logistik juga akan ikut naik. Jika harga pangan naik akan memicu terjadinya inflasi yang lebih tinggi sepanjang 2022 di Indonesia.
Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, Bhima menyarankan pemerintah menambah alokasi subsidi energi. Selain itu, diharapkan pemerintah mencegah Pertamina agar tidak terburu-buru melakukan kenaikan harga Pertamax dan Pertalite, setidaknya sampai semester I atau setelah Lebaran 2022.
Kemudian selain subsidi yang ditambah, pemerintah harus mengantisipasi dengan menambah stimulus Pemulihan Ekonomi Nasional, salah satunya stimulus untuk bantuan sosial.
"Bantuan sembako itu harus terus dilanjutkan agar menjadi bantalan dari naiknya harga minyak yang semakin liar," tambah Bhima.
Solusi berikutnya, yakni menunjuk Bulog untuk segera melanjutkan stabilisasi harga dengan meningkatkan pasokan kebutuhan pangan yang sekarang mendesak, yakni kedelai. Apabila Bulog kemudian membutuhkan suplai anggaran untuk pengadaan gudang yang baru, itu pun menurut Bhima, harus diambil dari stimulus.
Iklan
Pengaruhi ekspor Indonesia
"Ketegangan ini menimbulkan tekanan dari sisi ekspor. Karena wilayah yang dilanda konflik merupakan daerah alternatif pasar ekspor yang yang cukup potensial, yakni daerah Rusia dan Eropa bagian timur," jelas Bhima.
Sehingga Indonesia harus melakukan strategi pencegahan. Misalnya, mengalihkan produk-produk ekspor ke negara-negara lainnya atau negara yang masih relatif secara geopolitik tidak terdampak dari konflik.
"Hal ini juga sebenarnya peluang bagi investasi untuk masuk ke Indonesia. Artinya, harus dicari cara agar potensi investasi dari Rusia dan Ukraina maupun negara-negara terdampak di Eropa Timur itu bisa mengalihkan basis produksinya masuk ke Indonesia," tambah Bhima.
Rusia dan Ukraina: Kronik Perang yang Tidak Dideklarasikan
Akar konflik antara Rusia dan Ukraina sangat dalam. Semuanya diyakini bermuara pada keengganan Rusia untuk menerima kemerdekaan Ukraina.
Foto: Maxar Technologies via REUTERS
Berkaitan, tetapi tak sama
Ketegangan antara Rusia dan Ukraina memiliki sejarah sejak Abad Pertengahan. Kedua negara memiliki akar yang sama, pembentukan negara-negara Slavia Timur. Inilah sebabnya mengapa Presiden Rusia Vladimir Putin menyebut kedua negara itu sebagai "satu orang". Namun, sebenarnya jalan kedua negara telah terbagi selama berabad-abad, sehingga memunculkan dua bahasa dan budaya — erat, tapi cukup berbeda.
Foto: AP /picture alliance
1990-an, Rusia melepaskan Ukraina
Ukraina, Rusia, dan Belarus menandatangani perjanjian yang secara efektif membubarkan Uni Soviet pada Desember 1991. Moskow sangat ingin mempertahankan pengaruhnya di kawasan itu dan melihat Persemakmuran Negara-Negara Merdeka (CIS) yang baru dibentuk sebagai alat untuk melakukannya. Sementara Rusia dan Belarus membentuk aliansi yang erat, Ukraina semakin berpaling ke Barat.
Foto: Sergei Kharpukhin/AP Photo/picture alliance
Sebuah perjanjian besar
Pada tahun 1997, Rusia dan Ukraina menandatangani Treaty on Friendship, Cooperation and Partnership, yang juga dikenal sebagai "Perjanjian Besar". Dengan perjanjian ini, Moskow mengakui perbatasan resmi Ukraina, termasuk semenanjung Krimea,kawasan hunian bagi mayoritas etnis-Rusia di Ukraina.
Krisis diplomatik besar pertama antara kedua belah pihak terjadi, saat Vladimir Putin jadi Presiden Rusia masa jabatan pertama. Pada musim gugur 2003, Rusia secara tak terduga mulai membangun bendungan di Selat Kerch dekat Pulau Tuzla Ukraina. Kiev melihat ini sebagai upaya Moskow untuk menetapkan ulang perbatasan nasional. Konflik diselesaikan usai kedua presiden bertemu.
Foto: Kremlin Pool Photo/Sputnik/AP Photo/picture alliance
Revolusi Oranye
Ketegangan meningkat selama pemilihan presiden 2004 di Ukraina, dengan Moskow menyuarakan dukungannya di belakang kandidat pro-Rusia, Viktor Yanukovych. Namun, pemilihan itu dinilai curang. Akibatnya massa melakukan Revolusi Oranye atau demonstrasi besar-besaran selama 10 hari dan mendesak diadakannya pemilihan presiden ulang.
Foto: Sergey Dolzhenko/dpa/picture alliance
Dorongan bergabung dengan NATO
Pada tahun 2008, Presiden AS saat itu George W. Bush mendorong Ukraina dan Georgia untuk memulai proses bergabung dengan NATO, meskipun ada protes dari Presiden Rusia Vladimir Putin. Jerman dan Prancis kemudian menggagalkan rencana Bush. Pada pertemuan puncak NATO di Bucharest, Rumania, akses dibahas, tetapi tidak ada tenggat waktu untuk memulai proses keanggotaan.
Foto: John Thys/AFP/Getty Images
Tekanan ekonomi dari Moskow
Pendekatan ke NATO tidak mulus, Ukraina melakukan upaya lain untuk meningkatkan hubungannya dengan Barat. Namun, musim panas 2013, beberapa bulan sebelum penandatanganan perjanjian asosiasi tersebut, Moskow memberikan tekanan ekonomi besar-besaran pada Kiev, yang memaksa pemerintah Presiden Yanukovych saat itu membekukan perjanjian. Aksi protes marak dan Yanukovych kabur ke Rusia.
Foto: DW
Aneksasi Krimea menandai titik balik
Saat kekuasaan di Kiev kosong, Kremlin mencaplok Krimea pada Maret 2014, menandai awal dari perang yang tidak dideklarasikan antara kedua belah pihak. Pada saat yang sama, pasukan paramiliter Rusia mulai memobilisasi pemberontakan di Donbas, Ukraina timur, dan melembagakan "Republik Rakyat" di Donetsk dan Luhansk. Setelah pilpres Mei 2014, Ukraina melancarkan serangan militer besar-besaran.
Gesekan di Donbass terus berlanjut. Pada awal 2015, separatis melakukan serangan sekali lagi. Kiev menuding pasukan Rusia terlibat, tetapi Moskow membantahnya. Pasukan Ukraina menderita kekalahan kedua, kali ini di dekat kota Debaltseve. Mediasi Barat menghasilkan Protokol Minsk, sebuah kesepakatan dasar bagi upaya perdamaian, yang tetap belum tercapai hingga sekarang.
Foto: Kisileva Svetlana/ABACA/picture alliance
Upaya terakhir di tahun 2019
KTT Normandia di Paris pada Desember 2019 adalah pertemuan langsung terakhir kalinya antara Rusia dan Ukraina. Presiden Vladimir Putin tidak tertarik untuk bertemu dengan Presiden Volodymyr Zelenskyy. Rusia menyerukan pengakuan internasional atas Krimea sebagai bagian dari wilayahnya, menuntut diakhirinya tawaran keanggotaan NATO bagi Ukraina dan penghentian pengiriman senjata ke sana. (ha/as)
Foto: Jacques Witt/Maxppp/dpa/picture alliance
10 foto1 | 10
Harga komoditas tetap tinggi
Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah mengatakan dampak ekonomi dari ketegangan Rusia-Ukraina tergantung eskalasi dari konflik ini.
"Kalau masih yang seperti yang kemarin, cuma ketegangan saja, dampaknya mungkin tidak akan banyak dirasakan," jelasnya.
Meski begitu, diakuinya ketegangan itu memang menyebabkan harga komoditas tetap tinggi, tetapi Indonesia sekarang posisinya sudah tinggi. Jadi, dampaknya tidak terasa lagi.
"Kecuali kalau sebelumnya rendah terus naik tinggi, jadi tinggi itu terasa sama kita, terasa benar. Harga minyak sudah tinggi, harga batu bara sudah tinggi, harga CPO (Crude Palm Oil) sudah tinggi, dengan ketegangan ini dia tetap tinggi," ujarnya.
Namun, bila benar-benar terjadi peperangan dan eskalasinya juga naik, maka yang jadi masalah harganya tidak cuma tinggi tapi permintaan bisa jadi turun. Karena dengan adanya konflik maka akan mengganggu rantai pasok dan distribusi.
"Jadi justru dampaknya negatif ke kita, karena akan mengganggu lalu lintas barang. Ekspor kita juga bisa terganggu. Kelangkaan-kelangkaan akan terjadi, termasuk juga tidak hanya barang ekspor kita, barang impor juga akan terganggu," ujarnya. (Ed: ha/rap)