1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PendidikanIndonesia

Impian Jadi Guru Mengantarnya Dirikan 2 Sekolah Luar Biasa

18 Juli 2023

Yulidarti dari Sumatera Barat sangat ingin menjadi guru, guru apa saja. Jalan hidup mengantarnya mendirikan dua sekolah luar biasa (SLB) dan mendidik siswa berkebutuhan khusus.

Yulidarti di Jerman
Yulidarti (kanan) bersama salah satu binaannya, atlet renang Arsyad Al Banjari, yang memenangkan 2 medali di Special Olympics 2023 di Berlin, Jerman.Foto: Arti Ekawati/DW

Tidak semua orang bercita-cita menjadi guru mengingat relatif rendahnya gaji dan apresiasi terhadap profesi ini. Namun, Yulidarti adalah salah satu pengecualian. Awalnya, ia hanya ingin jadi guru, guru apa pun itu. Jalan hidup akhirnya membuatnya mengabdikan diri dan membangun dua sekolah luar biasa (SLB) di Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat.

"Saya sekarang kepala sekolah, mengurus dua sekolah yaitu SLB Aisyiyah dan Alisah," kata Yulidarti saat berbincang dengan DW Indonesia.

Semenjak 2013, Yulidarti yang kerap disapa Uni Net mulai membangun SLB Aisyiyah. Bermula dari melihat perekonomian keluarga anak berkebutuhan khusus tak mampu membayar uang sekolah. Ada pula orang tua yang malu punya anak berkebutuhan khusus sehingga si anak tak disekolahkan. Padahal, Uni Net melihat anak tersebut punya bakat di bidang lain, dan bisa dikembangkan.

"Orang tuanya tidak mampu biayai, baik biaya sekolah atau ongkos transportasi karena rumahnya jauh dari sekolah. Kalau dihitung bolak-balik setiap hari, ya ongkosnya mahal juga ojeknya. Akhirnya, saya terpikir kenapa tidak bikin sekolah saja di Sijunjung. Biar anak-anak yang putus sekolah ini bisa sekolah lagi karena dekat sekolahnya."

Tahun 2022, dia pun memutuskan untuk membuka satu SLB lagi yang diberi nama Alisah di Padang Sibusuk, Sumatera Barat. Jumlah dua sekolah luar biasa ini ia akui belum bisa menampung banyak siswa berkebutuhan khusus lantaran berbagai keterbatasan.

"Yang penting jadi guru"

Uni Net mengingat kembali awal mula kiprahnya di dunia anak berkebutuhan khusus. "Tamat SMP, saya maunya masuk SPG (Sekolah Pendidikan Guru) tapi ternyata gagal karena tinggi saya kurang," ucapnya sembari terkekeh.

"Saya sempat merantau ke beberapa kota di Pulau Jawa tapi balik lagi ke sini (Sumbar). Kemudian ada teman yang masuk SGPLB (Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa) Negeri, saya diajak dan diterima." 

Kaum Difabel di Indonesia Terpinggirkan?

02:48

This browser does not support the video element.

Belajar menjadi guru di sekolah luar biasa diakui Uni Net bukan hal yang mudah. Beberapa kali dia sempat berpikir untuk menyerah. Namun seorang tunanetra yang ia kenal menjadi cambuk yang menyadarkan dia untuk tetap bertahan di sana. 

"Awal SGPLB diospek lalu lihat anak-anak disabilitas dengan emosi yang tidak teratur. Sempat galau mau lanjut apa tidak, waswas. Saya berubah setelah ketemu tunadaksa dan tunanetra karena mandiri bisa mengurus dirinya. Akhirnya saya mantapkan, inilah jalan saya jadi guru."

Sekolah Luar Biasa untuk anak kurang mampu

Tahun 2013, Uni Net memutuskan untuk membangun sekolah bagi anak-anak SLB yang putus sekolah di area Sijunjung. Daerah itu ia pilih lantaran lokasinya yang strategis dan relatif mudah dijangkau.

"Saya dikenalkan dengan pimpinan Yayasan Aisyiyah. Mereka setuju bantu saya buat sekolah tapi dengan catatan saya harus kelola sendiri sekolahnya karena mereka tidak paham pengelolaan SLB. Mereka hanya sediakan lokasi. Waktu itu dipinjamkan satu kelas untuk SLB. Dari situ saya ajak anak-anak berkebutuhan khusus yang putus sekolah dari sekolah lama. Totalnya ada 30 siswa tapi yang aktif 25 orang dari SD, SMP, dan SMA."

"Anak-anak kelasnya disatukan semua, mereka duduk di lantai karena tidak punya kursi dan meja. Tapi perlahan-lahan ada yang menyumbang jadi bisa bikin kursi dan meja."

Saat mulai membuka sekolah itu, Uni Net dibantu oleh 2 orang guru tamatan PGSLB atau istilah barunya PLB (pendidikan luar biasa), dan 4-5 orang guru tak tamat PLB. Dia dan guru-gurunya hanya bekerja lantaran pengabdian dan tidak menarik bayaran kepada para siswa tak mampu.

Untuk biaya operasional, dia mengandalkan uang pribadi, bantuan pemerintah, donatur, dan beasiswa. Kala itu, dia mengingat kembali bahwa guru-guru yang bekerja di sana hanya dibayar seadanya, setidaknya Rp150-200 ribu per orang per bulan.

Beragam kegiatan di Sekolah Luar Biasa

Selama periode sekolah, anak-anak SLB akan diajarkan berbagai macam mata pelajaran seperti di sekolah biasa. Namun dengan level kelas yang berbeda-beda. Satu yang pasti, Uni Net melihat banyak bakat keterampilan dan olahraga dari anak-anak didiknya.

Setiap pagi, usai salat dhuha, membaca beberapa ayat Al-Quran, dan belajar 1 mata pelajaran, murid-murid SLB diajari berbagai keterampilan dan olahraga tergantung minat anak. Berbagai olahraga dan keterampilan yang diajarkan antara lain renang, tenis meja, meronce, membatik, rias wajah, menjahit, dan IT.

Setahun berjalan sejak pertama berdiri, pada 2014 Uni Net mendaftarkan para muridnya untuk berpartisipasi dalam berbagai kompetisi olahraga dari tingkat kecamatan sampai tingkat nasional. 

"Pada 2014 itu ikut lomba-lomba tenis meja, ternyata kami dapat emas. Sudah mulai berprestasi-lah. Bahkan saat itu dengan program seperti ini di 2014 juga Alhamdulillah anak-anak sudah ada yang ikut kompetisi internasional."

Berbagai kompetisi diikuti dan medali diraih. Anak-anak sekolah SLB ini pun dengan semangat mengikuti berbagai pelatihan. Pada akhirnya mereka bisa ikut berpartisipasi dalam kompetisi olahraga paralimpic sampai ke seluruh dunia, sampai Abu Dhabi, Australia, Slovenia, dan Jerman. Meski demikian, Uni Net mengaku baru bisa ikut bertandang ke luar negeri saat mengikuti Special Olimpics World Games, Juni 2023, di Jerman.

Wajah pendidikan SLB di Indonesia

Berdasarkan data dari laman Sumbarprov.go.id, total jumlah data SLB di Sumatera Barat pada 2018 mencapai total 148 sekolah dengan 31 SLB negeri, dan 117 SLB swasta.

Bagaimana dengan di Indonesia? Mengutip laman Kemendikbud, Saat ini, ada sekitar total 2.200 SLB dari tingkat SD hingga SMA di seluruh Indonesia. Merujuk data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2020, jumlah penyandang disabilitas Indonesia mencapai 28,05 juta orang dan 22% di antaranya berada pada kelompok usia produktif.

Apakah jumlah ini sudah cukup? Pemerhati dan aktivis pendidikan Indra Charismiadji mengungkapkan pendidikan Indonesia masih sangat memprihatikan dan perlu dibenahi.

"Jangankan bicara soal sekolah luar biasa, sekolah biasa saja belum digarap dengan baik, buktinya apa, akhir-akhir ini masih ramai PPDB untuk cari sekolah saja susah. Ini kita bicara untuk anak yang tidak berkebutuhan khusus, apalagi untuk yang berkebutuhan khusus, makin susah. Masih banyak yang harus dibenahi," kata Indra kepada DW Indonesia.

"Kalau anak-anak tidak berkebutuhan khusus saja belum ditangani serius, bagaimana yang kebutuhan khusus, otomatis mereka akan lebih dinomorsekiankan. Padahal mereka juga warga negara yang secara hak asasi juga harus mendapatkan pendidikan khusus atau inklusif."

Menurut laman Kemendikbud, pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK) termasuk di dalamnya adalah peserta didik penyandang disabilitas dan memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.

"Mengutip Hellen Keller (aktivis hak-hak penyandang disabilitas dari Amerika Serikat), hasil tertinggi dari pendidikan adalah toleransi. Jadi kalau sampai sekarang negara kita masih intoleran, bukan hanya soal agama, anak-anak yang kecerdasan berbeda, difabel, dan hal lainnya, ini juga disebabkan karena mutu pendidikannya yang kurang baik," ujar Indra.

(ae)

C. Andhika S. Detail, humanis, dan tidak ambigu menjadi pedoman saya dalam membuat artikel yang berkualitas.
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait