1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Indahnya Menjadi Seorang Muslim di Jerman

7 Juni 2019

Setelah tahun lalu aku berhasil melewati bulan Ramadan pertamaku di Jerman. Di tahun ini aku menyadari bahwa betapa indahnya menjadi seorang muslim di sini. Kenapa? Oleh Muhammad Zaky Islami.

Blog Fastenzeit Ramadan in Deutschland
Foto: privat

Memasuki bulan suci Ramadan, seluruh umat muslim di dunia diwajibkan untuk melaksanakan ibadah shaum atau puasa. Istilah dari puasa sendiri merupakan menahan lapar, dan dahaga. Kendati begitu, dalam bulan suci Ramadan ini umat muslim pun diharuskan untuk menjaga nafsu buruknya terhadap lingkungan sekitar. „Menjaga" diri dari godaan-godaan tersebut di tanah Eropa ini sesuatu yang sangatlah berbeda bila dibandingkan dengan „rumah" di Indonesia sana.

Aku Muhammad Zaky Islami, pemuda asal Bandung yang tahun 2019 ini merupakan tahun kedua ku melaksanakan ibadah puasa di Jerman. Setelah setahun lalu aku berhasil melewati Ramadan pertamaku di Jerman, di tahun ini aku menyadari betapa indahnya menjadi seorang muslim di sini.

Muhammad Zaky IslamiFoto: privat

Diksi „indah" tidaklah selalu bermakna sama bagi setiap kalangan pembaca. Oleh karena itu, izinkanlah aku untuk menyamakan persepsi tentang kata „indah" ini. Indah menurut pandangan pribadiku adalah sesuatu yang menghasilkan hal yang lebih dari biasanya. Suatu bunga dikatakan indah karena ia berbeda dari rumput, ia memiliki banyak warna dan bentuk yang mungkin unik. Suatu pemandangan dikatakan indah karena bisa jadi dia memiliki cakrawala yang luas dan warna yang kaya, berbeda dengan pemandangan padat perkotaan yang abu-abu dan tidak memiliki warna yang kaya. Indah dalam konteksnya tergantung dari cara bagaimana kita memandang sesuatu dari „sesuatu".

Nah, begitu pula dengan menjadi seorang muslim di Jerman. Khususnya yang aku sadari ketika menjalankan ibadah puasa di sini. Menjaga dahaga dan lapar serta jangan lupakan juga nafsu di Jerman bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan bagi semua orang.

Ketika pertama kali menginjakan kaki di tanah ini sebagai seorang muslim, setiap orang mungkin merasakannya. Ketika pagi hari datang, ketika satu titik cahaya matahari mulai perlahan bersinar di ufuk timur, tidak ada adzan subuh yang berkumandang. Saat matahari berada di puncaknya di siang hari, tidak ada yang mengingatkan kita untuk melaksanakan sholat Dzuhur. Ketika pergantian dari siang menuju sore, saat di mana semua kegiatan terasa akan berakhir, tidak ada juga suara latar yang mengumandangkan adzan Ashar. Lalu ketika matahari pun kembali meninggalkan singgasananya di puncak langit sana, tidak ada yang mengingatkan kita untuk melaksanakan sholat Magrib, sampai bahkan ketika matahari tidak berada di tempatnya, dan malam sudah pekat menghitam, tidak ada setitik pun adzan Isya berkumandang di sini.

Foto: privat


Ketika berada di Indonesia, ke mana pun kita pergi, ketika sudah waktunya sholat, ketika sudah waktunya kita beribadah, akan terdengar suara Adzan dan kita akan merasa terpanggil. Saat aku berada di sini, yang memanggil diri ini untuk, bukanlah Adzan yang aku dengar dari kedua telinga ini, melainkan diriku sendiri. Hati yang berkumandang dari dalam diri ini mengingatkan ku untuk mengecek waktu dan melihat apakah sudah waktunya untuk melakukan salah satu dari lima sholat wajib yang harus dilaksanakan tersebut.

Begitu pula dengan nafsu, Jerman bukanlah negara Indonesia yang memiliki pandangan berbeda, tentang lawan jenis dan cara berpakaian. Di sini, semuanya terasa lebih bebas, terasa lebih „berterima", dan kadang hal tersebut dapat mengundang nafsu diri kita, terutama aku sebagai seorang laki-laki.

Bulan suci Ramadan tahun ini dan beberapa tahun kebelakang dimulai saat musim panas atau Sommer. Tentu, dengan beberapa keadaan yang aku tuliskan di atas, Sommer di sini merupakan sesuatu yang kadang dapat mengundang nafsu. Dimulai dari cara berpakaian orang-orang di sekitar yang sedikit „mengundang", pergaulan yang juga mengundang rasa „penasaran", dan lain sebagainya.

Selain itu, ketika berada di sini, tidak ada orang-orang yang akan menganggapmu sebagai seorang yang „berbeda" apabila ketika di bulan suci Ramadan ini pada siang hari melakukan kegiatan makan dan minum. Mereka tidak akan peduli, karena mayoritas dari mereka tidak peduli akan hal itu, sebab mereka tidak melaksanakan puasa.

Nah, menurutku "Indah" dalam hal ini adalah betapa nikmatnya pahala yang mungkin akan nanti kita dapatkan. Berjuang di jalan Allah, melaksanakan apa yang Ia perintahkan walaupun keadaan menyulitkan kita untuk melakukannya. Selalu ingat akan Dirinya walaupun sekitar kita tidak mengingatkannya. Menjadi seorang muslim di Jerman merupakan sesuatu yang indah dengan caranya sendiri.

Foto: privat

Di sini, aku menjadi seorang minoritas. Hidup sebagai seorang minoritas kadang mengundang rasa untuk bergerak dan mengikuti mereka yang mayoritas. Tetapi tidak, itu semua kembali kepada diri sini. Banyak orang yang aku kenal, mereka hidup di dua sisi tersebut, mayoritas dan minoritas. Mereka hanya mengikuti apa yang terjadi di sekitar mereka, apa yang saat itu menjadi gaya hidup mereka. Ketika berada di sini dan berkumpul dengan orang-orang mayoritas tersebut, maka mereka akan berganti haluan dan meninggalkan kehidupan mereka, melupakan paham mereka. Tetapi justru itulah ujiannya, itulah justru yang aku anggap menjadi suatu keindahannya. Kenapa?

Karena saat kita bisa melewati hal tersebut, itu tidak hanya secara konteks agama menambah pahala yang (mungkin) lebih daripada yang teman-teman semua di Indonesia dapatkan, tetapi juga secara konteks kehidupannya, di mana hal tersebut untuk melatih diri sehingga menjadi pribadi yang lebih sabar dan lebih berkomitmen.

Menjadi seorang muslim di Jerman indah, dengan caranya sendiri. Yang perlu kita lihat adalah sisi sesuatu tersebut dari „sesuatu yang lain".

* Muhammad Zaky Islami. Saat ini sedang melanjutkan studi Master di Friedrich-Schiller-Universität Jena.

** DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan satu foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri.