Indeks Kinerja Iklim: Produksi Energi Hijau Alami Lonjakan
24 November 2024Energi terbarukan berkembang pesat di negara-negara dengan emisi tinggi, tetapi terlalu banyak negara yang memperpanjang penggunaan bahan bakar fosil, khususnya gas, menurut Indeks Kinerja Iklim terbaru, yang memberi peringkat langkah-langkah perlindungan iklim oleh negara-negara di dunia.
"Dunia sedang berada di titik balik. Puncak emisi global sudah di depan mata," kata Niklas Höhne dari lembaga pemikir kebijakan iklim Jerman, NewClimate Institute, dan salah satu penulis laporan tersebut. Namun, negara-negara perlu bertindak cepat untuk memangkas emisi secara drastis dan "mencegah konsekuensi berbahaya lebih lanjut dari perubahan iklim," tambahnya.
CCPI, yang diterbitkan setiap tahun, mengevaluasi 63 negara ditambah Uni Eropa yang bertanggung jawab atas 90% emisi gas rumah kaca global.
Dari negara-negara yang dianalisis, 61 negara telah berhasil meningkatkan pangsa sumber energi hijau, seperti angin dan matahari, dalam campuran energi nasional selama lima tahun terakhir.
"Energi terbarukan berada di jalur cepat, terutama di sektor kelistrikan," kata penulis utama Jan Burck dari LSM lingkungan Germanwatch, pada peluncuran CCPI selama KTT iklim PBB di Azerbaijan. "Selain itu, ada peningkatan elektrifikasi di sektor mobilitas, perumahan, dan industri. Tren menuju elektrifikasi terus berlanjut."
Namun, emisi per kapita di 42 negara penghasil emisi terbesar saat ini tidak sejalan dengan tujuan Paris untuk membatasi kenaikan suhu rata-rata global hingga 1,5 derajat Celsius.
CCPI, kata Höhne, menunjukkan "seberapa besar perlawanan dari lobi bahan bakar fosil."
Dalam pemilihan presiden AS, ini adalah "faktor penentu dalam membawa Donald Trump kembali ke Gedung Putih," kata Höhne. AS telah mengalami lonjakan gas serpih selama beberapa tahun terakhir dan Trump telah berjanji untuk lebih memperluas produksi bahan bakar fosil domestik dan mengurangi pengeluaran untuk energi bersih.
Negara-negara yang mendapat peringkat terburuk dalam CCPI adalah Iran, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Rusia. Mereka juga termasuk di antara produsen minyak dan gas terbesar di dunia. Analisis tersebut menemukan bahwa pangsa energi terbarukan dalam campuran energi masing-masing negara berada di bawah 3%, dan "tidak ada tanda-tanda akan surutnya bisnis bahan bakar fosil."
Maroko, India, Filipina mendapat peringkat tinggi dalam perlindungan iklim
CCPI, yang disusun oleh para ahli dari Germanwatch, NewClimate Institute, dan kelompok lingkungan internasional Climate Action Network, memberi peringkat kemajuan negara-negara dalam memangkas emisi karbondioksida serta memperluas energi terbarukan dan meningkatkan kebijakan iklim.
Tiga posisi teratas dalam peringkat tersebut dibiarkan kosong, karena tidak ada negara yang disurvei yang melakukan hal signifikan untuk "mencegah perubahan iklim yang berbahaya" dan berhak mendapart peringkat "sangat tinggi".
Denmark sekali lagi menduduki posisi nomor 4, diikuti oleh Belanda dan Inggris, salah satu negara dengan peningkatan peringkat terbesar tahun ini.
Inggris naik 14 peringkat dari tahun 2023 karena penutupan pembangkit listrik tenaga batu bara terakhir di negara itu baru-baru ini. Pemerintah Buruh yang baru juga berjanji untuk tidak mengeluarkan lisensi baru untuk proyek bahan bakar fosil, menjadikan negara itu sebagai pelopor di antara negara-negara industri G7.
CCPI juga memberi Norwegia, Swedia, Luksemburg, Estonia, dan Portugal peringkat "tinggi", bersama dengan Filipina, Maroko, Cile, dan negara terpadat di dunia, India.
Hasil baik untuk UE, Jerman, Mesir, dan Brasil
Uni Eropa turun satu peringkat ke posisi ke-17 dan mendapat peringkat "sedang" untuk kinerja iklimnya secara keseluruhan.
Sementara peneliti menggambarkan kinerja iklim UE berdasarkan Kesepakatan Hijau yang sempat dirayakan sebagai kemajuan besar. Makin para peneliti menilai langkah-langkah yang telah diambil sejauh ini tidak memberikan kontribusi yang adil terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca global. UE diminta untuk menghentikan investasi bahan bakar fosil dan memenuhi janji untuk menghapus subsidi minyak dan gas pada tahun 2025.
Jerman, ekonomi terbesar Uni Eropa, juga turun dua peringkat ke posisi 16 dan diberi peringkat "sedang". "Meskipun kemajuan yang cukup besar telah dicapai dalam energi terbarukan, kelambanan politik di sektor transportasi dan bangunan masih menyebabkan emisi yang tinggi," kata salah seorang peneliti Thea Uhlich dari Germanwatch.
Kedua sektor tersebut secara konsisten gagal mencapai target pengurangan emisi. LSM lingkungan Jerman BUND mengatakan bahwa mereka akan mengambil tindakan hukum atas undang-undang iklim utama negara tersebut, dengan menyebutnya tidak memadai.
Para penulis memberikan peringkat "sedang" kepada sembilan negara UE lainnya, serta Mesir, Nigeria, Brasil, Kolombia, Vietnam, Thailand, dan Pakistan.
Apakah Cina dan AS telah mencapai puncak emisi CO2?
Cina dan AS adalah pencemar gas rumah kaca CO2 terbesar di dunia dan mendapat nilai "sangat rendah" dalam kinerja iklim.
Di AS, Undang-Undang Pengurangan Inflasi, sebuah RUU iklim yang ditandatangani oleh Presiden Joe Biden, telah berdampak positif pada perluasan energi terbarukan, kata para penulis. Namun, "emisi per kapita AS masih sangat tinggi pada 15,8 ton setara CO2 per tahun," tambah Höhne.
Beberapa pihak khawatir bahwa kepresidenan Trump akan menghambat aksi iklim, dan meskipun terpilihnya Trump "tentu saja bukan kabar baik" bagi iklim, kata Höhne, "masih harus dilihat" seberapa banyak undang-undang yang dapat dicabut oleh pemerintahan baru. "Bahkan Trump tidak dapat menghentikan ledakan energi terbarukan," katanya.
Adapun Cina disebut tengah mengalami lonjakan energi terbarukan yang "belum pernah terjadi sebelumnya", kata Burck dari Germanwatch.
"Emisi tampaknya hampir mencapai puncaknya. Itu akan menjadi tonggak sejarah yang nyata dan pendorong penting di seluruh dunia," katanya. Pada kuartal pertama tahun 2024, emisi CO2 di Cina turun tanpa disertai kemerosotan ekonomi. Hal ini penting karena emisi biasanya turun saat suatu negara mengalami resesi.
"Namun, untuk mengurangi emisi dalam jumlah besar dengan cepat dan berkelanjutan di Cina, kita perlu menjauh dari bahan bakar fosil," kata Burck.
Saat ini tidak ada indikasi ke arah sana; Cina masih membangun pembangkit batu bara. Namun, keadaan dapat berubah dengan rencana lima tahun baru yang tertunda.
"Ini adalah peluang besar bagi Cina untuk mendapatkan pengakuan internasional — terutama jika dibandingkan dengan pemerintahan AS di masa mendatang," katanya.
Diadaptasi dari artikel DW bahasa Jerman