India Canangkan Iklim Sebagai Fokus Presidensi G20
3 Desember 2022
India menempatkan perlindungan iklim sebagai agenda utama kepresidenan G20 yang akan dimulai tahun depan. Program yang diprioritaskan antara lain penyediaan dana transisi energi bagi negara-negara miskin.
Iklan
Kepresidenan India di G20 akan mencanangkan agenda iklim yang tergolong ambisius, klaim pakar. Melaluinya, pemerintah di New Delhi ingin menjembatani kepentingan negara industri dan berkembang, serta membuktikan keseriusan India dalam menanggulangi dampak krisis iklim.
Pemerintah India "akan menitikberatkan fokus pada bagaimana merespons tantangan masa depan oleh krisis iklim," kata Samir Saran, Direktur Yayasan Observer Research (ORF), lembaga wadah pemikir di New Delhi. Menurutnya, pemerintah ingin memastikan terjaminnya aliran dana bantuan dari negara kaya ke negara berkembang untuk memitigasi atau membiayai dampak bencana iklim.
Dia juga menambahkan pemerintah berniat mendorong program "Mission Life" yang mengkampanyekan gaya hidup berkelanjutan di dalam negeri. Proyek ini dicanangkan Perdana Menteri Narendra Modi, usai secara simbolik menerima status kepresidenan dari Indonesia di Bali, Novamber silam. Dia meyakini, kebijakan tersebut mampu menyumbangkan "kontribusi besar" untuk mempopulerkan gaya hidup berkelanjutan menjadi "sebuah gerakan masal."
Pesan Aktivis Lingkungan untuk G20
Isu ekonomi dan krisis iklim menjadi agenda utama KTT G20 Bali yang digelar pada 15-16 November 2022. Para aktivis lingkungan menitipkan sejumlah pesan untuk para pemimpin negara terkemuka di dunia.
Foto: Greenpeace
Serukan transisi energi berkeadilan
Isu lingkungan selalu menjadi sorotan dalam KTT G20. LSM Lingkungan Greenpeace gelar aksi damai kreatif dengan memproyeksikan pesan berbunyi “Saatnya Transisi Energi Berkeadilan” di Pantai Melasti, Bali pada Senin malam (14/11).
Foto: Greenpeace
Isu transisi energi jadi fokus KTT G20 di Bali
Isu transisi energi menjadi salah satu isu utama yang dibahas dalam KTT G20 di Bali. Pesan ini ditujukan kepada pemimpin G20 untuk mengambil komitmen yang nyata dan ambisius dalam merespons krisis iklim, yang sudah makin terasa dampaknya bagi umat manusia.
Foto: Greenpeace
Dunia harus tinggalkan batubara pada 2040
Transisi energi diyakini menjadi kunci untuk menghentikan krisis iklim. Panel ilmiah PBB untuk perubahan iklim (IPCC) menyebut, dunia harus menutup 80% PLTU batubara pada 2030, serta meninggalkan batubara secara total di 2040 untuk menanggulangi krisis iklim.
Foto: Greenpeace
Komitmen Indonesia pada energi terbarukan
Indonesia berencana untuk memensiunkan dini sejumlah PLTU Batubara dengan total kapasitas 9.2 GW pada tahun 2029, dengan bantuan internasional. Kapasitas pembangkitan sebesar 3.7 GW akan digantikan pembangkit listrik terbarukan. Rencana ini dipaparkan pemerintah Indonesia dalam COP 26 di Glasgow pada 2021.
Foto: Greenpeace
G20 sumbang 80% emisi global
Negara-negara anggota G20 berkontribusi hampir 80% dari emisi CO2 global. Kedua puluh negara dengan ekonomi terbesar di dunia ini memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan tercapainya target menahan kenaikan suhu maksimal 1,5 derajat Celsius untuk menghindari kerusakan bumi yang lebih parah. (kp/as)
Foto: Greenpeace
5 foto1 | 5
Belakangan pemerintah di New Delhi giat menunjukkan keseriusannya menanggulangi krisis iklim. Belum lama ini, India mengumumkan terget domestik yang lebih ambisius ketimbang komitmen yang dibuat pada KTT Iklim Paris 2015. Namun begitu, analis menilai ambisi iklim oleh banyak negara tidak selaras dengan sasaran pengurangan kenaikan temperatur, termasuk juga di India.
Karena ketika sejumlah industri besar India sudah siap berpindah ke energi terbarukan, pemerintah justru berniat menginvestasikan dana senilai USD 33 miliar untuk membangun pembangkit batu bara dalam empat tahun ke depan.
Iklan
Pembiayaan iklim
Pada KTT Iklim di Sharm el-Sheikh, Mesir, November silam, India yang tercatat sebagai produsen gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia, mengaku tidak mampu mencapai sasaran iklim tanpa bantuan dana dari negara kaya untuk menukar sumber energi. Klaim tersebut sudah sering dibantah oleh negara-negara industri maju.
Navroz Dubash, ilmuwan iklim di PBB, mengatakan tantangan terbesar bagi "negara-negara berkembang adalah membiayai tuntutan pembangunan melalui cara-cara yang rendah emisi," kata dia. Menurutnya sebagai presiden G20, India berpeluang "untuk menjelaskan apa yang dibutuhkan bagi negara-negara berkembang untuk mencatat pertumbuhan tanpa memboroskan anggaran karbon yang ada."
G20: Napas Panjang Aksi Penentangan
Setaip kali KTT G20 dilangsungkan, hampir dapat dipastikan akan muncul aksi protes luas. Sejak 20 tahun lalu, kelompok pengeritik globalisasi dan pegiat lingkungan tidak lelah memperjuangkan visinya.
Foto: picture-alliance/dpa/C. Sabrowsky
'Battle of Seattle'
"Battle og Seattle" tahun 1999 menandai bangkitnya gerakan anti-globalisasi yang melancarkan aksi-aksi protes sensasional. Gerakan baru bisa mengerahkan puluhan ribu orang turun ke jalan-jalan dan memblokir seluruh pusat kota. Pengunjuk rasa antara lain mengkritik politik Organisasi Perdagangan Dunia WTO yang mereka anggap tidak adil dan mengabaikan standar-standar hak asasi manusia.
Foto: Getty Images/K.Stallknecht
Akhirnya bersatu: Pekerja dan Aktivis
Aksi di Seattle mempertemukan kalangan serikat buruh dan para aktivis lingkungan. Kedua kelompok itu sekarang menghadapi musuh bersama: dominasi perusahaan multinasional dan para pengejar keuntungan dari bisnis spekulasi. Sasaran kritik mereka adalah politik neoliberal dengan pergangan bebas hampir tanpa regulasi.
Foto: Getty Images/AFP/J. G. Mabanglo
"Think globally, act locally"
"Berpikir global, bertindak lokal" adalah salah satu slogan populer gerakan anti-globalisasi. Sebagian demonstran berkoordinasi secara spontan dan sering bentrok dengan aparat keamanan. Baik saat KTT G8 di Köln, Jerman, tahun 1999, maupun dalam KTT selanjutnya di London. Bagi banyak anak muda, aksi demonstrasi jadi semacam "happening" yang menyenangkan.
Foto: picture-alliance/dpa
Eskalasi di Genoa, 2001
KTT Genoa 2001 seakan membuka babak baru gerakan anti globalisasi. Dengan motto "sebuah dunia yang lain adalah mungkin", puluhan ribu orang ikut dalam aksi protes. Mereka mengecam kesenjangan yang makin besar antara kaya dan makin. Karena polisi menghadapi demonstrasi dengan keras, bentrokan terjadi dan situasi konflik meluas dengan cepat ketika serorang demonstran tewas terkena tembakan polisi.
Foto: Getty Images/AFP/G. Julien
Konferensi WTO di Doha
Pada tahun 2001, WTO menggelar kongres di Doha, Qatar. Bagi para pemrotes, ini lokasi yang sulit dijangkau, dan Qatar bukan negara yang dikenal menganut prinsip kebebasan berbicara. Para demonstran sulit datang berbondong-bondong ke negara ini.
Foto: Getty Images/ANOC/M. Runnacles
Toronto: Makin banyak demonstran ditangkap
KTT G20 di Toronto, Kanada, pada 2010 dicatat sejarah sebagai KTT dengan penangkapan massal terbesar di Kanada. Polisi membubarkan demonstrasi dengan paksa dan menahan lebih dari seribu orang. Sebagian besarnya kemudian dibebaskan tanpa gugatan.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Ilnitsky
Kembali ke Metropolitan
KTT G20 di Hamburg, kota metropolitan yang ramai di Jerman, bisa dilihat sebagai upaya G20 untuk kembali ke tengah masyarakat. Jerman sering dipuji karena memiliki kelompok masyarakat sipil yang kuat. Salah satu isu utama yang mencuat adalah kekhawatiran tentang perubahan iklim.
Foto: Reuters/F. Bimmer
Berkemah sebagai protes
Di Hamburg, para pelindung lingkungan menggagas aksi "Berkemah untuk Protes". Mereka ingin menduduki taman-taman publik untuk menyampaikan aspirasinya. Karena khawatir terjadi eskalasi kekerasan, 20 ribu polisi dikerahkan untuk pengamanan. Polisi lalu melarang massa berkumpul di taman-taman dan memicu suasana jadi panas. Penulis: Hannah Fuchs, Sonya Angelica Diehn (hp/ml)
Foto: picture-alliance/Zumapress/J. Widener
8 foto1 | 8
Saat ini, masyarakat global berupaya membatasi kenaikan rata-rata suhu Bumi menjadi maksimal 1,5 derajat Celcius sebelum 2030 mendatang. "Negara maju membuktikan bahwa kebijakan industri yang berkelanjutan menuntut kucuran dana negara yang solid," kata Navroz.
Sejumlah analis mengatakan dana yang dibutuhkan buat membantu negara berkembang untuk mengurangi emisi adalah sebesar USD 2 triliun hingga 2030. Separuh dana itu harus diambil dari kas negara, sisanya datang dari donor eksternal seperti negara maju atau bank pembangunan multilateral.
Bersama India, G20 diharapkan mau menindaklanjuti inisatif yang diusulkan Perdana Menteri Barbados, Mia Mottley, untuk menitipkan proses pencairan dana iklim kepada bank-bank dan institut keuangan internasional. Gagasan yang ikut didukung Presiden Prancis, Emmanuel Macron, tersebut antara lain menitikberatkan padam pembiayaan transisi energi atau dekarbonisasi ekonomi.
"Sumber emisi terbesar di masa depan akan datang dari negara-negara berkembang," kata Direktur ORF, Samir Saran. "Jika kita bisa memudahkan proses transisi menuju energi bersih bagi mereka, maka produksi emisi gas rumah kaca bisa banyak dikurangi."