1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

India dan Mahkamah Pidana Internasional

1 Juni 2010

Hanya 15 negara di Asia yang meratifikasi statuta Roma, landasan bagi sistem kerja mahkamah pidana internasional di Den Haag. Mengapa negara kuat seperti India skeptis dan menolak menandatanganinya?

Dengan 1,13 miliar jumlah penduduk, India bangga menyebut dirinya sebagai negara demokrasi terbesar di dunia. Namun, di dalam negeri masalah yang dihadapi masih terus bergolak. Perdana Menteri Manmohan Singh tidak lelah menegaskan, bahwa kelompok pemberontak Maois adalah bahaya terbesar bagi keamanan dalam negeri India. Situasi di Kashmir tegang semenjak India dan Pakistan merdeka tahun 1947. Tahun 1984 setelah pembunuhan perdana menteri India Indira Gandhi terjadi pembantaian massal yang menurut perkiraan organisasi kemanusiaan menewaskan hampir 3000 orang. Masalah aksi kekerasan massal antara kaum Hindu dan Muslim di Gujarat pun belum terselesaikan setelah 8 tahun. Banyak pihak yang menyebutnya hingga sekarang sebagai genosida. Pengacara dan aktivis HAM Prashant Bushnan berpendapat, pemerintah India bisa diajukan ke mahkamah pidana internasional di Den Haag karenanya. "Semenjak proses penandatangan dimulai, ada dua pemerintahan. Satu di bawah pimpinan partai Bharatiya Janyat dan satu lagi partai Kongres. Jika India menandatangani statuta roma mahkamah pidana internasional, maka politisi partai Bharatiya Janyat dan perdana menteri Gujarat Narendra Modi bisa dituntut. Begitu juga dengan partai Kongres. Mereka menekankan untuk melawan kelompok Maois. Padahal mereka ingin memerangi penduduk asli India dan ingin memusnahkannya. Menurut saya, para pemilik kekuasaan dan politisi berusaha mempengaruhi pengadilan dan hukum. Mereka memang seharusnya khawatir, bahwa cara ini tidak mungkin dilakukan pada pengadilan internasional seperti mahkamah pidana internasional."

Ada tiga tindak pidana yang bisa diajukan ke mahkamah pidana internasional. Yakni kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida dan kejahatan perang. Pemerintah India selalu mengatakan, bahwa tindak pidana ini juga diakui oleh hukum di negara itu. Tetapi Bushnan tidak sependapat. "Kenyataannya, sistem hukum kami sudah lama ambruk. Seorang warga negara biasa tidak akan bisa memperoleh haknya. Jika ia tetap mencobanya, maka akan membutuhkan waktu tahunan hingga kasusnya selesai dan ia akan dipersulit oleh berbagai pihak. Belum lagi masalah korupsi. Orang kaya dan berpengaruh sudah selalu menyalahgunakan sistem ini dan akan terus melakukannya."

Sulit sekali memperoleh perhatian di India jika membicarakan masalah pelanggaran HAM. Demikian Parves Imroz, aktivis HAM yang sepanjang hidupnya memperjuangkan nasib warga sipil di Kashmir. Kawasan yang diperebutkan oleh India dan Pakistan. Imroz menemukan kuburan massal, laporan tentang penyiksaan dan pemerkosaan. Ia menuduh pasukan keamanan India bersikap brutal terhadap warga sipil dan mereka selalu lolos dari hukuman. "Jika berada dalam konflik, maka tekanan dari negara juga terasa. Jika membeberkan ke dunia internasional tentang masalah pelecehan HAM atauorang yang dihilangkan, maka mereka akan menanggapinya secara serius. Dan India akan ditekan untuk memeriksa tuduhan tersebut."

Para pakar menyimpulkan, India dan negara-negara Asia tidak menandatangani statuta roma mahkamah pidana internasional, karena takut kehilangan kedaulatan mereka di mata dunia internasional. Namun, penolakan ini juga memiliki dampak. Dari 18 hakim di Den Haag hanya dua orang yang berasal dari Asia.

Priya Esselborn / Vidi Legowo-Zipperer

Editor : Asril Ridwan