1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
BudayaIndia

India Tuduh Prada Curi Desain Sandal Tradisionalnya

3 Juli 2025

Rumah mode Italia, Prada, memicu polemik di India usai memamerkan desain sandal terbaru yang identik dengan sandal tradisional Kolhapuri. Alhasil, butik mewah itu dituduh melakukan perampasan budaya.

Sanda Prada pada Pekan Mode Milan 2025
Sanda Prada pada Pekan Mode Milan 2025Foto: Alessandro Garofalo/REUTERS

Sandal terbuka bermerek Prada yang diperagakan dalam ajang Milan Men's Fashion Week pekan lalu hanya disebut sebagai "sandal kulit.” Namun, aksesoris yang sifatnya cuma pelengkap ala rumah mode Italia itu justru memicu polemik besar di India.

Kritikus mode, pengrajin, dan politisi India ramai-ramai menuding desainer Prada menjiplak Kolhapuri Chappals, sandal tradisional dari Kolhapur, Maharashtra, India barat. Sandal buatan tangan ini, dengan pola anyaman khas, memiliki sejarah panjang yang diyakini bermula sejak abad ke12.

Meski belum dijual di pasaran, sandal mewah tersebut diperkirakan akan dibanderol lebih dari $1.200 atau sekitar Rp19,5 juta. Sebagai perbandingan, sandal Kolhapuri asli dijual tak lebih dari Rp200 ribu di pasar lokal India.

Menanggapi protes di media sosial, Kamar Dagang Maharashtra menyerukan agar Prada mengakui akar budaya India dalam desain sandal tersebut.

Merespons tudingan perampasan budaya yang semakin ramai, Lorenzo Bertelli, putra pemilik merek Prada, mengakui dalam sebuah surat kepada Kamar Dagang bahwa desain tersebut terinspirasi dari kerajinan lokal. "Kami mengakui bahwa sandal ini terinspirasi dari alas kaki buatan tangan tradisional India, yang membawa warisan budaya yang kaya,” tulis Bertelli, seperti dikutip Reuters.

Dia menambahkan bahwa sandal itu masih dalam tahap desain awal dan belum tentu akan diproduksi. Namun Prada, katanya, "berkomitmen pada praktik desain yang bertanggung jawab, mendorong keterlibatan budaya, dan membuka dialog pertukaran yang bermakna dengan komunitas pengrajin lokal India, sebagaimana yang telah kami lakukan dalam koleksi lain di masa lalu untuk memastikan pengakuan yang layak terhadap keahlian mereka.”

How fashion labels use social media

01:42

This browser does not support the video element.

Kasus serupa terjadi pada 2014

Tudingan penjiplakan desain tradisional bukan kali pertama terjadi di industri fesyen global. Pada 2014, desainer Inggris Paul Smith sempat dikecam karena memasarkan sandal kulit hitam mengilap bernama "Robert.” Publik Pakistan segera mengenali desain tersebut sebagai tiruan Peshawari atau Charsadda Chappal, sandal khas dari Pakistan.

Namun, versi Paul Smith dijual 20 kali lebih mahal dibanding harga sandal aslinya di toko-toko premium Pakistan.

Setelah menuai kritik di media sosial dan petisi online, Paul Smith akhirnya menambahkan keterangan bahwa sandalnya "terinspirasi dari Peshawari Chappal.”

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Kolhapuri akan dipatenkan

Kini, Kamar Dagang Maharashtra berniat mematenkan Kolhapuri chappal untuk mencegah pelanggaran hak cipta di masa depan. Sandal tradisional yang dikenal karena ketahanannya ini sebenarnya telah memiliki perlindungan hukum di dalam negeri melalui label Geographical Indication, penanda produk tradisional yang dikaitkan dengan lokasi geografis asalnya.

Meniru desain produk berlabel GI untuk keuntungan komersial tanpa izin atau tanpa pembagian manfaat dianggap ilegal, setidaknya dalam hukum India. Hingga 2024, tercatat 603 produk telah terdaftar sebagai GI di India.

Diet Prada reveals plagiarism in the fashion industry

00:55

This browser does not support the video element.

Media Qatar Al Jazeera juga melaporkan bahwa anggota parlemen dari distrik Kolhapur, Dhananjay Mahadik (BJP), akan mendukung para pengrajin sandal menggugat Prada ke Pengadilan Tinggi Bombay.

Politik sapi rugikan pengrajin kulit

Namun di tengah dukungan politik atas polemik Prada, pengrajin Kolhapuri menghadapi masalah lain: pasokan kulit yang terganggu akibat politik perlindungan sapi oleh pemerintah.

Sejak Partai Bharatiya Janata (BJP) pimpinan Narendra Modi berkuasa pada 2014, kelompok ekstremis Hindu nasionalis semakin berani menyerang warga yang mengangkut sapi untuk perdagangan dan penyembelihan. Korban kekerasan premanisme sapi ini umumnya berasal dari komunitas Dalit dan muslim, dua kelompok yang selama ini terpinggirkan di India.

Ironisnya, justru para pengrajin Dalit-lah yang selama ratusan tahun melestarikan teknik anyaman dan desain rumit Kolhapuri. Keahlian mereka diwariskan lintas generasi.

Kelompok hak asasi Dalit Voice menggarisbawahi pentingnya pengakuan terhadap sejarah ini. Dalam unggahan Instagram, mereka menulis bahwa Kolhapuri chappal bukan sekadar mode, melainkan "warisan ketekunan dan keahlian komunitas Dalit.”

"Mereka adalah sejarah, identitas, dan bentuk perlawanan,” tulis Dalit Voice. "Hormatilah akar budaya kami.”


Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman

Diadaptasi oleh Rizki Nugraha

Editor: Yuniman Farid

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait