Indonesia Adalah Jakarta
23 Oktober 2015“Jakarta siaga satu!” demikian tulis berbagai media mengutip kalimat yang dilontarkan berulang kali oleh pihak keamanan ibukota. Kapolda DKI Jakarta jelas menegaskan dan mengingatkan bahwa partai final Piala Presiden pada 18 Oktober 2015 itu adalah sebuah laga yang luar biasa sekaligus sangat penting sehingga perlu dipastikan tidak terusik sesuatu apa baik dari pihak luar maupun dalam.
Jakarta adalah ibukota negara, wajar jika ia menjadi tolok ukur situasi di republik. Saat ibukota diserbu banjir yang bahkan mampu membuat Presiden merana merasakannya, bursa saham nasional jelas terpengaruh, semua stasiun tv menyiarkan kejadian ini dari waktu ke waktu. Saat terjadi tawuran antas SMA di Jakarta, sontak para pengamat pendidikan menyatakan bahwa generasi muda kita cenderung gemar melakukan aksi kekerasan. Seolah tak peduli bahwa di Batusangkar, Sumatra Barat para siswa SMA sedang gemar melakukan aksi bakti sosial, misalnya.
Beberapa orang sering menyebut secara berseloroh bahwa “Indonesia adalah Jakarta, Pulau Jawa dan sisanya.” Hal yang jelas benar adanya. Situasi bahwa apa yang terjadi di Jakarta adalah masalah nasional dan seluruh Nusantara wajib mengetahuinya adalah bukti shahih bahwa Indonesia sebenarnya memang bukanlah Sabang sampai Merauke.
Lalu Jakarta dibuat seolah mencekam, kedatangan ribuan Bobotoh—sebutan bagi para pendukung klub Persib Bandung—ke Jakarta untuk mendukung tim kesayangannya diantisipasi dengan sangat luar biasa. Di satu sisi bisa dianggap lumrah, karena perseteruan panjang mereka dengan Jakmania—pendukung Persija—memang cukup paling sering diberitakan oleh media-media nasional ketimbang perseteruan antar supporter yang lain. Semakin terasa wajar karena bahkan di Eropa sekalipun, kerusuhan antar pendukung Sepakbola memang rawan meninggalkan jejak pengrusakan atau bahkan kematian.
Kemana aparat keamanan?
Namun jika coba melihat lebih besar tentang peristiwa besar ini, pantas jika banyak yang bertanya “Kemana saja aparat keamanan selama ini?” Setiap musim kompetisi, Persib selalu harus bertandang 1 kali di Jakarta dan Persija 1 kali bertandang ke Bandung. Sejak tahun 2002, Kepolisian Daerah kedua belah kota selalu menyatakan tak mampu memberikan jaminan keamanan bagi pada pendukung yang akan datang bertamu. Bahkan tak jarang pertemuan kedua tim harus dilakukan di kota lain yang bisa saja berjarak 1000an kilometer hanya karena alasan keamanan.
Sudah lama Bobotoh bercita-cita membirukan kembali Jakarta, hal yang pernah mereka lakukan di awal era Liga Indonesia. Sebaliknya sudah lama pula para Jakmania bertekad kembali ke Bandung dan menaklukkan Persib di kandang mereka. Pihak keamanan pun saya yakin sudah tahu permasalahan ini, lalu kenapa pengamanan dan pengawalan panjang baru diberikan sekarang pada para Bobotoh? Kemana saja mereka selama ini? Persija bahkan sering gagal main di kandang karena alasan yang sama…keamanan! Kini aparat kepolisian dengan tegas membuktikan, bahwa jika mereka mau apapun bisa saja mereka amankan.
Konon Kepolisian Jakarta sampai menurunkan 30.000 personilnya untuk hajatan puncak Piala Presiden ini. Angka yang mungkin sesuai dengan potensi kekacauan yang memang bisa saja terjadi. Jumlah ini tentu akan berbanding lurus dengan jumlah biaya yang dikeluarkan. Tapi lalu jika kita coba melihat kejadian ini secara lebih global, mengapa harus mengeluarkan rupiah yang sangat besar hanya untuk sebuah pertandingan Sepakbola?
Kabut asap masalah biasa?
Tapi kita juga melihat realitanya, bahwa Sumatera dan Kalimantan jauh sebelum 18 Oktober dan bahkan sampai saat saya menulis tulisan ini masih tersiksa oleh asap kebakaran hutan yang tak juga kunjung ditemukan cara pemecahannya.
Masyarakat Riau masih terus berasap paru-parunya, juga Jambi bahkan Palembang yang sampai harus mengungsikan klub kebanggaan mereka Sriwijaya FC ke Solo pada semifinal Piala Presiden. Hanya agar para pemain bisa bernafas dengan sempurna sepanjang 90 menit permainan. Belum lagi mereka yang bermukim di Kalimantan, yang tak bosan berteriak mengecam lambatnya penanganan negara terhadap nasib mereka yang semakin berasap.
Sebuah pertandingan Sepakbola yang berada jauh diluar penglihatan FIFA, dengan juara yang tidak akan berlaga kemana-mana mendapatkan atensi dahsyat dari negara. Memberikannya label Siaga 1 dan antisipasi keamanan yang luar biasa. Lalu kemana negara pada masalah lain di negeri ini? Lupakan soal korupsi yang memang butuh proses pembuktian, lihat saja Sumatra dan Kalimantan yang terus meringis terkena asap. Masalah yang sama seperti bertemunya Persija & Persib yang terjadi setiap tahun, kebakaran hutan pun adalah ritual tahunan di kedua pulau besar di wilayah Republik Indonesia itu.
“Asap tidak masuk Jakarta, jadi tak usah ribut kepingin jadi masalah nasional apalagi berstatus Siaga Satu lha!” ujar seorang teman di grup whatsapp kampus saya. Bisa jadi ia benar adanya, harus menjadi Jakarta dulu untuk bisa jadi masalah nasional.
Andibachtiar Yusuf, Filmmaker & Traveller
@andibachtiar