1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Travel

Indonesia Bidik Wisatawan Eropa, Berpotensi Tambah Devisa

27 Desember 2019

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama mengatakan tengah menyasar pasar turis mancanegara asal Eropa. Pegiat pariwisata menilai destinasi wisata yang ada di Indonesia sesuai dengan apa yang orang Eropa cari.

Indonesien Nusa Tenggara Timur, Labuan Bajo
Foto: Imago Images/Westend61

Pegiat pariwisata, Taufan Rahmadi menyambut baik strategi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) untuk menggaet wisatawan asal Eropa dan Amerika Serikat dibanding wisatawan asal Cina dan negara-negara Asean. Ia menyebut jika wisatawan asal Eropa dan Amerika Serikat berpotensi memberikan devisa lebih bagi Indonesia dibanding wisatawan asal Cina.

"Wisatawan asal Cina ini memang bisa datang banyak tapi secara spending mereka tidak terlalu menarik. Kalau mau cari wisatawan banyak bisa dari Cina lah, tapi paradigma ini harus diubah. Saya termasuk orang yang mendukung peningkatan quality tourism daripada quantity tourism. Kita bisa bicara devisanya," ungkap Taufan saat diwawancari DW Indonesia, Jumat (27/12) siang.

"Negara-negara Eropa, Timur Tengah, Amerika, mereka (wisatawan) datang ke Indonesia lengkap dengan segala fasilitasnya dan mereka memiiki itinerary yang pasti membuat spending mereka tinggi," lanjutnya.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama mengatakan bahwa strategi ini coba dijalankan oleh Kemenparekraf karena diketahui jumlah kedatangan wisatawan asal Cina di Indonesia melemah. Diduga pelemahan tersebut terjadi seiring meningkatnya tensi perang dagang antara Cina dengan AS.

"Kita enggak harus melulu (mengandalkan turis) dari Cina. Kita akan bidik negara-negara di Eropa seperti Inggris. Pasar ini belum terlalu kita garap saat ini," jelas Wishnutama dikutip dari Tempo (26/12).

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah wisatawan mancanegara asal Eropa dari Januari-Oktober 2019 tercatat sebanyak 1.776.476 orang meningkat sedikit dari tahun sebelumnya yakni sebanyak 1.744.875 orang.

Untuk jumlah kunjungan wisatawan mancanegara asal Cina dari Januari-Oktober 2019 tercatat sebanyak 1.772.365 orang. Sementara di periode yang sama pada tahun 2018 dan 2017 yakni tercatat sebanyak 1.701.438 dan 1.871.010 orang.

Baca jugaPromosi Wisata dan Budaya Indonesia Lewat Parade Karnaval Jerman

Sesuai keinginan orang Eropa?

Kepada DW Indonesia, Taufan menilai bahwa destinasi-destinasi wisata di Indonesia sangat terkenal akan warisan budaya, sejarah, maupun keindahan alamnya. Semua itu menurutnya sangat sesuai dengan apa yang dicari oleh wisatawan mancanegara asal Eropa dan Amerika Serikat jika mereka hendak berlibur. Maka itu, Taufan berharap pemerintah melalui Kemenparekraf terus membuat inovasi demi menggaet wisatawan mancanegara.

Pegiat pariwisata Taufan RahmadiFoto: Privat

"Ini membicarakan segmentasi market, dimana money is not the issue (uang bukan masalah) tapi yang penting adalah kualitas dari pelayanan kita di destinasi wisata," ujar Taufan.

Pekerjaan rumah paling utama yang dimiliki pemerintah adalah bagaimana meningkatkan kesiapan amenitas yang ada agar wisatawan asal mancanegara terus berdatangan ke Indonesia. Terlebih lagi pemerintah telah mencanangkan pengelompokkan destinasi premium dan super premium. Amenitas merupakan fasilitas yang dapat dimanfaatkan seorang wisatawan selama mengunjungi suatu destinasi.

"Hotelnya bagaimana pelayanannya, akomodasi, restoran kualitas penyajian makanannya, kualitas sumber daya manusianya, harus betul-betul sesuai dengan standar. Lalu kita bicara tentang akses. Saya pikir kalau bicara airport semua sudah bisa, cuma sekarang berbicara bisa tidak pesawat berbadan lebar masuk langsung ke destinasi wisata?" jelas Taufan.

Harus seimbang dengan eksosistem yang ada

Sementara itu, berdasarkan sebuah riset yang dilakukan oleh IDEP Foundation atau Yayasan IDEP Selaras Alam, sebuah yayasan yang fokus pada pembangunan berkelanjutan di Bali, mengungkapkan bahwa 65% air di Bali digunakan untuk keperluan pariwisata.

Muka air tanah di beberapa wilayah di Bali, terutama di daerah bagian selatan, diketahui telah mengalami penurunan hingga lebih dari 50 meter dalam waktu kurang dari 10 tahun. Akibatnya, Bali pun terancam krisis air bersih. Hal ini semakin diperparah dengan adanya "eksplorasi dan eksploitasi air tanah", karena pesatnya pertumbuhan pariwisata di Pulau Dewata.

"Jadi banyak terjadi eksploitasi air tanah itu terlebih di daerah-daerah yang banyak perhotelan dan vila pokoknya yang mengarah ke tourism," papar  Dewie Anggraini, Fundraiser dan Communication Officer IDEP Foundation kepada DW Indonesia.

Sama halnya dengan Dewie, Wayan Tuji (48) warga Canggu, Bali, juga sampaikan kekhawatirannya akibat bisnis pariwisata yang semakin meningkat. Wayan yang sehari-hari bekerja sebagai petani, mengaku kesulitan untuk mencari rumput untuk diberikan kepada sapinya. Hal ini dikarenakan semakin banyak lahan terbuka di Bali yang disulap menjadi hotel oleh para pengembang properti.

"Ketika lahan-lahan tersebut berubah, saya harus jual sapi saya karena saya tidak tahu lagi harus mencari rumput di sekitar sini," ungkap Wayan dilansir Al Jazeera.

Menanggapi ini, Taufan Rahmadi yang juga founder Temannya Wisatawan menyayangkan hal ini. Musababnya sustainable tourism (wisata berkelanjutan) merupakan unsur penting dalam pengembangan quality tourism (wisata berkualitas). Ia menyoroti peran pemerintah daerah dalam menjalankan regulasi di wilayahnya masing-masing.

"Jangan sampai karena kepentingan-kepentingan pragmatis semata, pemerintah daerah, pemerintah kabupaten melupakan prinsip-prinsip pariwisata pada hakikatnya, yakni sustainable tourism. Kalau mau pariwisata kita oke, alam kita terjaga, budaya kita tetap orisinil autentik, aturan harus dijaga oleh (pemerintah) daerah sebagai pemilik destinasi," pungkas Taufan.

rap/na (dari berbagai sumber)