Dalam Kepungan Politik Identitas
5 April 2016Setelah lebih dari 15 tahun pasca tumbangnya pemerintahan Soeharto, hari-hari ini kita dihadapkan pada dominasi politik identitas (identity politics). Berbagai kekuatan politik dan kelompok-kelompok strategis dalam masyarakat berlomba-lomba memainkan sentimen agama, ras, etnis, dan jender untuk menggolkan agenda-agenda politiknya.
Perhelatan pemilu presiden 2014 lalu merupakan tontonan paling vulgar tentang bagaimana politik identitas dioperasikan. Dan hampir sukses. Kini, hal yang sama tampaknya akan kembali terulang dalam pilkada DKI Jakarta.
Mengapa politik identitas ini begitu dominan dalam perbincangan publik kita? Menurut saya, ada dua penyebabnya: Pertama, secara ideologis tidak adanya kontestasi ideologi yang sehat dan terbuka di antara berbagai kekuatan politik yang ada. Absennya kontestasi ideologi menyebabkan seluruh kekuatan politik ini mengandalkan identitas sebagai daya tarik dan daya ikat konstituennya.
Kedua, politik identitas ini juga terfasilitasi oleh perkembangan kelembagaan politik pasca Soeharto, khususnya oleh maraknya pemekaran daerah-daerah baru hasil dari kebijakan otonomi daerah.
Di daerah-daerah baru ini, politik identitas merupakan pondasi utama bagi setiap kontestan untuk memenangkan pertarungan politik formal dan informal.
Menjual isu SARA dan Jender
Dua keadaan ini menyebabkan partai politik dan aktor-aktor politik yang ada mengidentikkan dirinya dengan rakyat pemilih bukan berdasarkan progam-program politik yang rasional dan terukur, melainkan melalui cara-cara yang sarat emosi dan persuasif. Misalnya, dengan menjual isu agama, etnis, atau jender, sehingga pemilih dikondisikan untuk memilih “bersama kami atau menjadi musuh kami.” Jangan pilih si A karena ia berbeda agama atau berbeda etnis dengan kita. Di sini, diktum yang berlaku adalah “apa yang rasional adalah identitas kita dan identitas kita itulah yang rasional.”
Mendominasinya politik identitas dalam ruang publik kita sehari-hari (everyday politics), menurut saya bukan hal yang patut dirayakan. Sebaliknya, kita perlu mengkritisinya secara serius: Pertama, politik identitas karena mudah dicerap oleh panca indera, cenderung menyebabkan terjadinya segregasi sosial secara horisontal. Aku dan dia, kita dan mereka. Segregasi ini terjadi karena masing-masing identitas berusaha mengokohkan dan meneguhkan otentisitasnya.
Hal ini kemudian bisa berujung pada hal kedua, yakni politik isolasi sekaligus eksklusi. Mengisolasi diri agar tidak tercemar pengaruh dari luar, sekaligus mengeksklusi karena yang lain itu dianggap tidak murni.
Berujung di fasisme
Ketiga, ujung ekstrim dari politik identitas ini adalah fasisme, baik fasisme relijius maupun fasisme sekuler yang berbasis ras dan etnis. Fitnah, pemutarbalikkan fakta (alias konspirasi) dan mobilisasi massa untuk tujuan kekerasan di jalanan, merupakan ciri-ciri umum dari fasisme.
Keempat dan terakhir, politik identitas ini mengabaikan dimensi ekonomi politik dari sebuah gejala sosial seperti kemiskinan, ketidakadilan dan diskriminasi yang akut dalam masyarakat -- sebagai akibat struktural dari sistem ekonomi politik yang dianut oleh pemerintahan yang berkuasa.
Penganut politik identitas lebih suka potong kompas dalam menjelaskan fenomena sosial tersebut sebagai masalah moral: “karena pemimpinnya bukan orang kita”. Dampak dari cara pandang ini, penganut politik identitas tidak pernah menawarkan sebuah solusi yang tujuannya untuk mengubah struktur sosial yang tidak adil itu, tetapi mencari pemimpin yang baik dari kalangan mereka sendiri.
Inilah realitas politik yang tengah mengepung kita hari-hari ini. Realitas politik yang partikular dan emosional, yang sayangnya, memiliki barisan pengikut yang panjang.
Penulis:
Coen Husain Pontoh, pemimpin redaksi IndoProgress
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Kami tunggu komentar Anda.