Indonesia harus mengungkap dengan jelas peristiwa pelanggaran HAM pada 1965. 50 tahun setelah kejadian para korban harus mendapat keadilan dan pelaku kriminal dituntut tanggung jawabnya.
Iklan
Pemerintah Indonesia dinilai tetap mengabaikan penderitaan para korban peristiwa pelanggaran HAM pada 1965 yang disebut G 30 S. Lima dekade setelah pembantaian massal gerakan anti komunis yang menewaskan antara 500.000 hingga satu juta jiwa, para korban harus mendapat keadilan. Demikian tuntutan lembaga HAM Amnesty International memperingati peristiwa 30 September 1965 dalam siaran persnya.
Suharto - Jalan Darah Menuju Istana
Demi menyingkirkan Soekarno, Suharto menunggangi pergolakan di tanah air dan mengorganisir pembantaian jutaan pendukung PKI. Dia sebenarnya bisa mencegah peristiwa G30S, tetapi memilih diam, lalu memanfaatkannya.
Foto: picture-alliance/dpa
Prajurit Tak Bertuan
Suharto banyak berurusan dengan pemberontakan Darul Islam selama meniti karir militernya. Pasca kemerdekaan ia juga aktif memberantas kelompok kiri di antara pasukannya. Tahun 1959, ia nyaris dipecat oleh Jendral Nasution dan diseret ke mahkamah militer oleh Kolonel Ahmad Yani karena meminta uang kepada perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah. Namun karirnya diselamatkan oleh Jendral Gatot Subroto.
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
Dua Musuh di Bawah Bayang Soekarno
Seperti banyak prajurit yang lain, Suharto mencurigai kedekatan Soekarno dan pimpinan Partai Komunis Indonesia (dalam gambar D.N. Aidit). Terutama sejak pemberontakan komunis di Madiun 1948, eksistensi PKI sangat bergantung pada dukungan Soekarno. Tanpanya PKI akan lumat oleh tentara. Permusuhan ABRI dan PKI tidak cuma beraroma politis, melainkan juga dipenuhi unsur kebencian.
Foto: picture-alliance/United Archives/TopFoto
Bibit Perpecahan
Suharto sibuk membenahi karir ketika permusuhan ABRI dan PKI mulai memanas. Buat mencegah PKI memenangkan pemilu dan menguasai pemerintahan, ABRI yang saat itu dipimpin duet Ahmad Yani dan A.H. Nasution mengajukan mosi menjadikan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Saat itu, konstelasi politik sudah mulai bergeser: Soekarno tidak lagi melihat ABRI sebagai sekutu utamanya, melainkan PKI.
Foto: AFP/Getty Images
Berkaca Pada Tiongkok
Meniru gerakan kaum komunis di Tiongkok, PKI berupaya memperluas kuasa dengan niat mempersenjatai petani dan praktik land reform. Soekarno menyetujui yang kedua dengan mengesahkan UU Pokok Agraria 1960. Tiga tahun kemudian, PKI melakukan aksi sepihak dengan merebut tanah milik para Kyai di Jawa dan membagikannya pada petani miskin. Langkah itu menciptakan musuh baru buat PKI, yakni kelompok Islam.
Foto: AP
Sikap Diam Suharto
Enam jam sebelum peristiwa G30S, Kolonel Abdul Latief mendatangi Soeharto buat mengabarkan perihal rencana Cakrabirawa menculik tujuh Jendral. Latief saat itu mengira, Suharto adalah loyalis Soekarno dan akan memberikan dukungan. Kesaksian Latief menyebut, Suharto cuma berdiam diri. Setelah peristiwa penculikan jendral, Suharto yang menjabat Panglima Kostrad lalu mengambil alih komando ABRI.
Foto: picture-alliance/dpa
Kehancuran PKI, Kebangkitan Suharto
Pada 30 September, pasukan pengamanan Presiden, Cakrabirawa, mengeksekusi tujuh dari 11 pimpinan ABRI yang diduga kuat ingin mengkudeta Soekarno. Suharto lalu memerintahkan pembubaran PKI dan penangkapan orang-orang yang terlibat. Letnan Kolonel Untung, komandan Cakrabirawa yang sebenarnya kenalan dekat Suharto dan ikut dalam operasi pembebasan Irian Barat, ditangkap, diadili dan dieksekusi.
Foto: AP
Demo dan Propaganda
Pergerakan Suharto setelah G30S semata-mata diniatkan demi melucuti kekuasaan Soekarno. Ia antara lain mengirimkan prajurit RPKAD buat menguasai Jakarta, termasuk Istana Negara. Panglima Kostrad itu juga lihai menunggangi sikap antipati mahasiswa terhadap Sukarno yang dimabuk kuasa. Saat Soekarno bimbang ihwal keterlibatan PKI dalam G30S, mahasiswa turun ke jalan menuntutnya mundur dari jabatan.
Foto: Getty Images/C. Goldstein
Malam Pogrom, Tahun Kebiadaban
Di tengah aksi demonstrasi mahasiswa di Jakarta, ABRI memobilisasi kekuatan buat memusnahkan pendukung PKI di Jawa dan Bali. Dengan memanfaatkan kebencian kaum santri dan kelompok nasionalis, tentara mengorganisir pembunuhan massal. Jumlah korban hingga kini tidak jelas. Pakar sejarah menyebut antara 500.000 hingga tiga juta orang tewas. Tidak semuanya simpatisan PKI.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Eksekusi Disusul Eksodus
Selain menangkap dan mengeksekusi, massa dikerahkan menghancurkan toko-toko, kantor dan rumah milik mereka yang diduga pendukung komunis. Sebagian yang mampu, memilih untuk mengungsi ke luar negeri. Termasuk di antaranya Sobron, adik kandung pimpinan PKI D.N. Aidit yang hijrah ke Tiongkok dan lalu ke Perancis dan bermukim di sana hingga wafat tahun 2007.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Kelahiran Orde Baru
Setelah peristiwa G30S, Suharto yang notabene telah menjadi orang nomor satu di kalangan militer, membiarkan Soekarno berada di jabatannya, sembari menata peralihan kekuasaan. Selama 18 bulan, Suharto menyingkirkan semua loyalis Soekarno dari tubuh ABRI, menggandeng parlemen, mahasiswa dan kekuatan Islam, serta mengakhiri konfrontasi Malaysia. Kekuasaan Soekarno berakhir resmi di tangan MPRS.
Foto: DW
10 foto1 | 10
"Limapuluh tahun adalah waktu yang terlalu lama untuk menunggu keadilan bagi peristiwa genosida terburuk dalam sejarah Indonesia," ujar Papang Hidayat periset Indonesia pada Amnesty International. "Di seluruh Indonesia korban peristiwa 1965 dan 1966 bahkan keluarga mereka harus menelan penderitaan sendirian. Sementara banyak tersangka pelaku tindak kriminal itu melenggang bebas," ujar aktivis HAM itu.
Seperti diketahui, kampanye berdarah itu dipicu upaya kudeta gagal Partai Komunis Indonesia yang kemudian berbuntut pada aksi anti komunis yang dikomandani militer dan didukung negara adidaya Barat. Selain ratusan ribu korban tewas, tidak jelas berapa korban penyiksaan, penahanan politik atau bahkan keduanya. Jenderal Suharto tampil sebagai pahlawan yang menumpas PKI sekaligus kekuasaan Sukarno dan berkuasa dengan Orde Barunya selama 32 tahun.
Suara tuntutan untuk mengungkap tuntas episode paling gelap dalam sejarah Indonesia itu makin kencang, setelah tumbangnya kekuasaan rezim Orede Baru pada 1998. Namun kelompok pembela HAM; menilai, terlalu sedikit yang dilakukan pemerintah pasca Orde Baru dalam tema ini.
Presiden Jokowi bulan Mei silam mengumumkan akan membentuk komite untuk menuntaskan pelanggaran HAM di masa lalu itu. Tapi Amnestsy juga mengritik, komisi ini tidak punya kekuasaan untuk melakukan tindakan hukum. Dikhawatirkan komisi ini akan jadi lembaga pengusut kebenaran dan rekosnisliasi yang hanya berhenti pada permintaan maaf serta ajakan untuk perujukan.
Selain itu Amnesty juga mengecam aksi intimidasi dan ancaman kepada para aktivis yang vokal menggugat tema tersebut."Pemerintah harus mulai mendengar dan bekerjasama dengan organisasi hak asasi, bukannya menekan mereka," ujar Papang menambahkan.