Indonesia gagal memenuhi potensinya sebagai salah satu kekuatan ekonomi dan militer di kawasan. Kesimpulan tersebut tercatat dalam Indeks Kekuatan Asia yang dipublikasikan Lowy Institute.
Iklan
Indonesia harus berusaha lebih gigih jika tidak ingin tertinggal dari tiga pemain besar di Asia, yakni Amerika Serikat, Cina dan India. Meski diprediksi akan menjadi kekuatan terbesar ke-empat di Asia pada 2030, performa Indonesia saat ini dinilai masih berada jauh dari potensinya.
Dalam Indeks Kekuatan Asia, Lowy Institute menilai performa 25 negara di Asia dengan 114 indikator yang berbeda, antara lain kekuatan militer, ekonomi, pengaruh diplomasi dan penetrasi budaya.
Secara umum Indonesia berada di peringkat 10 atau terpaut satu posisi dari Malaysia di peringkat sembilan dan Singapura di peringkat delapan. Sementara Amerika Serikat dan Cina mendominasi di urutan teratas, disusul Jepang, India, Rusia dan Korea Selatan.
Sumber Konflik yang Harus Diwaspadai Indonesia di 2018
Tahun 2018 masih akan diramaikan dengan sederet konflik global yang ikut menciptakan ancaman buat Indonesia. Terutama eskalasi konflik di Asia Timur berpotensi berimbas negatif pada stabilitas di kawasan.
Foto: picture-alliance/dpa
Korea Utara
Semenanjung Korea berpotensi menjadi ancaman terbesar terhadap keamanan regional tahun 2018. Terutama ketegangan yang dipicu oleh nada agresif pemerintahan baru AS dan sikap keras kepala Pyongyang semakin mendekatkan dunia pada perang nuklir. Peta di atas menunjukkan 11 pangkalan militer AS di Jepang dan Korea Selatan yang disiagakan menyusul konflik dengan Korea Utara.
Laut Cina Selatan
Selama 2017 Amerika Serikat acuh terhadap ekspansi militer Cina di Kepulauan Spratly dan Paracel. Tahun ini Beijing diyakini bakal menggandakan upayanya menguasai jalur dagang yang ditenggarai kaya Sumber Daya Alam tersebut. Meski tidak terlibat secara langsung, Indonesia mengkhawatirkan stabilitas kawasan yang kian rentan digoyang konflik regional.
Laut Cina Timur
Asia Timur tidak hanya sumber kemakmuran, tetapi juga kental dengan aroma konflik antara Jepang dan Cina. Sejak lama kedua negara berseteru seputar Kepulauan Senkaku atau Daiyou di Laut Cina Timur. Meski Beijing dan Tokyo selama ini menahan diri terhadap konfrontasi bersenjata, perseteruan di Laut Cina Timur bisa berimbas secara politis terhadap Asia Tenggara.
Foto: DW
Filipina Selatan
Perang di Marawi membuka mata dunia tentang kemampuan Islamic State menebar teror di Asia Tenggara. Selama 2017 Indonesia sigap mengawasi perbatasan laut di Laut Sulawesi. Tahun ini TNI mengendus ancaman tambahan berupa afiliasi antara kelompok teror dengan perompak untuk menyelundupkan senjata dan membangun jalur logistik buat aksi terorisme.
Rohingya
Perang saudara di Myanmar yang memuncak tahun lalu belum akan mereda dalam waktu dekat. Minimnya komitmen damai pemerintah di Naypyidaw hanya akan semakin menyulut konflik berkepanjangan tersebut. Genosida terhadap minoritas Rohingya juga menjadi sumber perseteruan di ASEAN antara Myanmar dengan Indonesia dan Malaysia.
Suriah
Tahun 2017 Suriah memasuki era pasca ISIS yang ditandai dengan kemunculan Turki sebagai kekuatan pendudukan. Negeri dua benua itu menempatkan pasukan secara permanen di utara Suriah dan bahkan ikut membangun pemerintahan regional. Meski kehilangan wilayah, pengaruh ISIS menginspirasi aksi teror oleh simpatisannya di seluruh dunia, termasuk Indonesia, tidak berkurang.
Iran vs Arab Saudi
Di penghujung 2017 perseteruan Iran dan Arab Saudi yang selama ini mengompori perang proxy di Timur Tengah mendekati konfrontasi langsung. Libanon dan Yaman menjadi panggung konflik teranyar kedua negara. Indonesia yang aktif sebagai mediator juga ikut kecipratan konflik, yakni menguatnya ketegangan antara mayoritas Sunni dan minoritas Syiah. (rzn/hp - thediplomat, foreignpolicy, nytimes)
7 foto1 | 7
Performa terburuk dicatat Indonesia dalam indikator stabilitas politik dan konflik internal. Dalam daftar tersebut Indonesia menempati posisi 16 dari 25 negara dengan nilai 46,6. Penilaian serupa tercatat untuk kategori Hubungan Investasi Regional yang mencatat arus investasi dari Indonesia ke 24 negara lain di Asia. Dalam daftar ini Indonesia berada di urutan 16.
Untuk urusan militer Indonesia berada di urutan 13, di bawah Pakistan, Singapura, Taiwan dan Vietnam. Dalam hal ini sistem alutsista yang dimiliki TNI dan kemampuan Indonesia merespon konflik regional dianggap belum mumpuni.
Selain kekuatan pokok, minimnya kerjasama regional di bidang pertahanan juga dianggap memperlemah posisi Indonesia. Sejak 2012 Indonesia tercatat hanya melakukan 194 latihan militer gabungan dengan 24 negara besar Asia lain. Angka ini lebih rendah ketimbang Singapura dan Malaysia.
Namun begitu Indonesia mencatat nilai positif di bidang Keamanan Geoekonomi yang mencatat kemampuan perekonomian sebuah negara untuk bertahan dari sanksi atau upaya eksternal mendestabilisasi ekonomi domestik.
Jurus Cina Bungkam Brunei dalam Konflik Laut Cina Selatan
Brunei yang sedang mengalami resesi membutuhkan aliran dana investasi dan mendapati Cina sebagai juru selamat. Namun pertautan kedua negara bukan tak beriak. Beijing mengharapkan balasan yang setimpal.
Foto: picture-alliance/AP Photo/N. Han Guan
Akhir Kejayaan Minyak
Selama berpuluh tahun warga Brunei menikmati kemakmuran tak berbatas berkat produksi minyak berlimpah. Namun kemakmuran tersebut tidak bertahan lama. Pasalnya cadangan minyak Brunei bakal pupus dalam dua dekade ke depan. Negeri kesultanan itu pun dilanda resesi sejak tiga tahun terakhir dan terpaksa memangkas berbagai subsidi.
Foto: picture-alliance/dpa
Resesi Tanpa Henti
Tidak heran jika laju pertumbuhan ekonomi Brunei merangkak di kisaran 0,6% pada 2016 silam dan bahkan anjlok menjadi minus 2,7% pada 2017. Pondasi ekonomi yang terlalu bergantung pada pemasukan dari sektor migas menjadi petaka ketika harga minyak dunia menukik tajam sejak beberapa tahun terakhir.
Foto: Getty Images/AFP/R. Rahman
Ekonomi Terpusat di Ujung Hayat
Menurut analis pasar tenaga kerja, warga Brunei cendrung menginginkan pekerjaan di pemerintahan, perusahaan pelat merah atau industri minyak. Tapi justru ketiganya sedang babak belur. Akibatnya angka pengangguran meroket tajam. Kondisi ini memaksa Sultan Hassanal Bolkiah mencari sumber duit baru.
Foto: picture alliance/landov/Z. Jie
Cina Menggeser Arab
Biasanya Brunei melirik negara-negara Arab untuk mencari investasi. Namun kali ini Sultan Hasanah Bolkiah melirik poros ekonomi baru dan mendapati Cina sebagai juru selamat. Sejak beberapa tahun terakhir Beijing aktif menyuntikkan dana untuk perekonomian Brunei yang tengah lesu.
Foto: Imago/Xinhua/J. Wong
Gerbang Investasi
Ketika Citibank hengkang setelah mengawal investasi asing untuk Brunei selama 41 tahun, Bank of China justru membuka cabang di Bandar Seri Begawan. Kehadiran bank pelat merah itu diharapkan menjadi pintu masuk aliran dana investasi langsung dari Tiongkok. Sejauh ini Cina telah menginevatasikan 4,1 miliar USD di Brunei.
Foto: Getty Images/AFP/M. Ralston
Berharap Pada Duit Tiongkok
Investasi Cina mencakup berbagai sektor, mulai dari industri pertanian dan makanan, energi dan perikanan. Menurut klaim pemerintah, aliran dana investasi dari Tiongkok akan menciptakan 1.600 lapangan kerja baru dan menopang sekitar 5.000 lapangan kerja di sektor pendukung seperti logistik dan perbankan.
Foto: Fotolia/philipus
Pertaruhan Bolkiah di Utara
Pertautan itu bukan tak beriak. Sultan Bolkiah banyak membisu ihwal konflik di Laut Cina Selatan. Sikap gamang Brunei dinilai merupakan hasil dari strategi Cina mendekati negara kecil di ASEAN terkait klaim teritorial Beijing. Padahal kawasan laut yang diperebutkan diyakini mengandung cadangan energi dalam jumlah besar, sesuatu yang dibutuhkan Brunei buat menjamin kemakmuran warganya di masa depan
Tajam Diplomasi Xi
Sejak Xi Jinping memegang jabatan Sekretaris Jendral PKC 2012 silam, Beijing aktif menggunakan 'diplomasi buku cek' terhadap negara-negara ASEAN untuk mengamankan klaimnya di Laut Cina Selatan. Selain Brunei, Cina juga aktif menanam investasi di Malaysia, Laos dan Kamboja. Harapannya dengan meningkatnya kebergantungan ekonomi, ASEAN akan sulit menyatukan suara dalam konflik Laut Cina Selatan.