Komite penyelenggara Asian Games 2018 mengaku puas atas kemajuan yang dicapai, meski keteteran memenuhi tenggat waktu yang kian dekat. Sejumlah masalah masih menunggu solusi.
Iklan
Indonesia Bersolek Jelang Asian Games
Setahun menjelang perhelatan akbar Asian Games 2018, Indonesia masih sibuk membenahi lusinan arena olahraga di Jakarta dan Palembang. Sejauh apa persiapan panitia?
Foto: Getty Images/M.King
Persiapan Empat Tahun
Indonesia masih sibuk membenahi stadion dan merampungkan proyek infrastruktur setahun menjelang digelarnya Asian Games 2018. Berbeda dengan Asian Games sebelumnya, kali ini tuan rumah hanya mendapat waktu empat tahun untuk persiapan menyusul sikap Vietnam menarik diri dari status tuan rumah 2014 silam.
Foto: Getty Images/A.Berry
Berpusar di Senayan
Jantung Asian Games 2018 akan berdetak di Gelora Bung Karno yang kini tengah direnovasi. Selain mengganti kursi stadion, pemerintah juga membenahi lapangan rumput, tribun penonton dan bagian dalam stadion yang akan digunakan para atlit. Proyek renovasi stadion Gelora Bung Karno menelan biaya lebih dari 700 milyar Rupiah.
Foto: Getty Images/A.Berry
Terhalang Biaya
Perhelatan olahraga se-Asia kali ini akan mengundang lebih dari 9.000 atlit, serta 8.000 awak media dan perwakilan dari 45 negara peserta. Kali ini Komite Olympiade Asia harus memangkas jumlah turnamen dari 484 menjadi 431 dari 42 cabang olahraga lantaran kekhawatiran seputar biaya.
Foto: Getty Images/A.Berry
Separuh Dana Anggaran
Dalam wawancara dengan Tempo Juli silam, Ketua Komite Penyelenggara Asian Games, Erik Tohir, mengaku terpaksa berhemat lantaran pemerintah hanya mengabulkan separuh dari anggaran yang diajukan. Dari sekitar 8,7 trilyun yang diminta, Presiden Joko Widodo hanya memberikan 4,5 trilyun Rupiah. Namun demikian pemerintah juga menyediakan dana pembangunan infrastruktur senilai 25 trilyun Rupiah.
Foto: Getty Images/A.Berry
Solusi Transportasi
Salah satu tantangan terbesar adalah menyiapkan moda transportasi yang bisa membawa para atlit ke arena olahraga tanpa terjebak arus macet. Seorang pejabat kepolisian mempertimbangkan akan menggunakan jalur busway untuk mengangkut atlit. Namun hingga kini belum ada keputusan akhir terkait masalah tersebut.
Foto: Getty Images/A.Berry
Berbekal Arena Sea Games
Sejauh ini wisma atlit di kawasan Kemayoran sudah 80% rampung. Pemerintah juga merenovasi Velodrom di Rawamangun dan arena pacuan kuda di Pulomas. Beruntung berkat penyelenggaraan Sea Games 2011, banyak arena olahraga yang berada dalam kondisi baik sehingga tidak memerlukan renovasi total.
Foto: Getty Images/C.Spencer
Palembang Andalkan Jakabaring
Tuan rumah Palembang mengandalkan kompleks olahraga Jakabaring yang telah teruji saat menyelenggarakan Sea Games 2011. Hanya stadion Gelora Sriwijaya mendapat tambahan kapasitas dari 36.000 menjadi 60.000 kursi. Pemprov Palembang juga sedang menambah panjang danau Jakabaring menjadi 2.300 meter.
Foto: Getty Images/M.King
7 foto1 | 7
Indonesia berlomba dengan waktu merenovasi arena olahraga tepat satu tahun menjelang digelarnya Asian Games 2018 di Jakarta dan Palembang. Meski mengalami kemajuan, panitia mengaku kewalahan mengejar tenggat waktu.
Berbeda dengan Asian Games sebelumnya, Indonesia cuma diberi waktu empat tahun untuk persiapan menyusul langkah Vietnam menarik diri dari status tuan rumah 2014 silam.
"Pada akhirnya saya cuma manusia," kata Erick Tohir, Ketua Komite Penyelenggara Asian Games 2018. "Tentu saja ada tekanan dan juga rasa gugup, tapi kami harus percaya diri karena ini adalah acara besar buat negara kita." Perhelatan olahraga se-Asia kali ini akan mengundang lebih dari 9.000 atlit dari 45 negara, serta 8.000 awak media dan perwakilan negara peserta.
Jantung Asian Games 2018 akan berdetak di Gelora Bung Karno yang kini tengah direnovasi. Sementara wisma atlit di kawasan Kemayoran sejauh ini sudah 80% rampung. Pemerintah juga merenovasi Velodrom di Rawamangun dan arena pacuan kuda di Pulomas. Selain itu Asian Games akan digelar di Palembang yang mengandalkan kompleks olahraga Jakabaring.
Petarung Transgender Thailand Mencari Pengakuan
Meski diterima luas, kehidupan transgender di Thailand bukan tanpa diskriminasi. Kondisi tersebut memacu petarung Muay Thai untuk berjuang mencari pengakuan setelah berganti kelamin.
Foto: Reuters/A. Perawongmetha
Bukan Atlit Biasa
Dibalut tank top berwarna ungu dan celana pendek, bulir keringat mengalir pada wajah Nong Rose Baan Charoensuk yang dihias lipstik merah. Rose bukan sembarang atlit Muaythai. Ia adalah salah satu yang terbaik. "Dia bertarung seperti laki-laki karena dia memang laki-laki," tutur Karum Kaemlam, atlit Muay Thai pria yang menjadi rival Rose di atas ring.
Foto: Reuters/A. Perawongmetha
Terbebas Dari Penjara Gender
Kemenangan atas Kaemlam merupakan kesuksesan kedua Rose di atas ring tinju setelah menjadi atlit Muay Thai transgender pertama yang bertarung di Stadion Rajadamnern di Bangkok. "Menjadi perempuan transgender bukan berarti kami lemah," kata Rose setelah pertarungan keduanya itu. "Kami bisa menjadi sukses juga."
Foto: Reuters/A. Perawongmetha
Setara Dengan Pria
Di kota asalnya keberadaan Rose mengusik petarung laki-laki. "Mereka biasanya bilang tidak ingin bertarung dengan gay karena akan malu kalau mereka menang atau kalah," ujarnya. "Saya masih menerima hinaan semacam itu. Tapi saya tidak peduli lagi." Meski Thailand dikenal ramah terhadap kaum LGBTQ, mereka masih mengeluh diperlakukan layaknya warga kelas dua.
Foto: Reuters/A. Perawongmetha
Perempuan Sejak Dini
Perempuan 21 tahun itu mulai menjajal kerasnya dunia Muay Thai pada usia delapan tahun. Rose mengatakan ia sudah menyadari dirinya perempuan sejak dini dan mulai merias wajah atau mengenakan pakaian dalam sport buat perempuan ketika bertarung.
Foto: Reuters/A. Perawongmetha
Diterima Tapi Tidak Diakui
Pasalnya kendati sering tampil di televisi, kontes kecantikan atau bekerja di salon dan studio kosmetik, perempuan Transgender Thailand tidak boleh mengganti keterangan jenis kelamin di surat identitas. Padahal 2015 silam Thailand telah memberlakukan Undang-undang Anti Diskriminasi yang ditujukan melindungi kaum minoritas seperti LGBTQ.
Foto: Reuters/A. Perawongmetha
Inspirasi Dari Pendahulu
Rose bukan petarung Muay Thai transgender pertama Thailand. Status tersebut disandang oleh Parinya Charoenphol yang kini mengelola sasana tinjunya sendiri. Kisah Charoenphol menginspirasi pembuatan sebuah film berjudul "Beautiful Boxer" 2004 silam. Rose berharap suatu saat bisa menjalani hidup layaknya Charoenphol dan memiliki usaha sendiri.
Foto: Reuters/A. Perawongmetha
Tegar Melawan Diskriminasi
Setelah lebih dari 300 pertarungan dengan 150 kemenangan, Rose kini ingin menjadi duta Muay Thai di seluruh dunia. Ia mengimbau petarung transgender di kawasan pinggiran atau pedesaan untuk bersikap tegar dan tidak terpengaruh pada diskriminasi yang mengakar di masyarakat. "Mereka harus jatuh dulu dan bangkit kembali. Setelahnya garis finish tidak akan jauh lagi."
Foto: Reuters/A. Perawongmetha
7 foto1 | 7
Dalam wawancara dengan Tempo Juli silam, Erik Tohir mengaku terpaksa berhemat lantaran pemerintah hanya mengabulkan separuh dari anggaran yang diajukan Komite Penyelenggara. Dari sekitar 8,7 trilyun yang diminta, Presiden Joko Widodo hanya memberikan 4,5 trilyun Rupiah. Namun demikian pemerintah juga menyediakan dana pembangunan infrastruktur senilai 25 trilyun Rupiah.
"Kita harus bekerja keras," ujar Tohir. Kebanggaan nasional menjadi pertaruhan, imbuhnya.
Salah satu tantangan terbesar adalah menyiapkan moda transportasi yang bisa membawa para atlit ke arena olahraga tanpa terjebak arus macet. Seorang pejabat kepolisian mempertimbangkan akan menggunakan jalur busway untuk mengangkut atlit. Namun hingga kini belum ada keputusan akhir terkait masalah tersebut.
"Saya bukan ahlinya tapi saya mempercayainya," kata Tohir ihwal pejabat kepolisian tersebut. "Dia akan menemukan solusinya."
Bisnis Gelap Tinju Anak di Thailand
Industri tinju anak Thailand yang digerakkan oleh perjudian acap dikritik karena dianggap kejam. Namun buat banyak keluarga miskin, Muay Thai adalah satu-satunya harapan. Terlebih buat bocah yatim piatu di kamp Phuwana.
Foto: Getty Images/C. Dowling
Tradisi Penuh Kontroversi
Tradisi tinju anak di Thailand acap mengundang kritik dari wisatawan mancanegara atau aktivis Hak Azasi Manusia. Mereka mengecam praktik tersebut karena tidak hanya membahayakan nyawa bocah, tapi juga mempromosikan kekerasan sejak usia dini. Faktanya bisnis tinju anak di Thailand banyak berpusar pada praktik perjudian.
Foto: Getty Images/C. Dowling
Asa Terakhir
Tapi buat banyak keluarga miskin di Thailand, Muay Thai adalah satu-satunya jalan keluar dari nestapa dan tinju anak telah menjadi industri kecil di Isaan, kawasan paling miskin di utara negeri gajah tersebut. Dalam satu pertandingan, seorang bocah bisa memperoleh uang yang sama banyaknya seperti seorang petani dalam setahun.
Foto: Getty Images/C. Dowling
Fenomena Ganjil
Penjudi yang bertaruh uang dalam pertandingan Muay Thai biasanya mengumpulkan informasi mengenai latar belakang seorang petarung, termasuk kondisi psikologis. Tidak heran jika sebagian penjudi adalah orangtua yang menggiring anaknya sendiri buat bertarung di ring tinju. Praktik tersebut sedemikian menguntungkan sehingga telah menjadi fenomena tersendiri di kawasan pinggiran Thailand.
Foto: Getty Images/C. Dowling
Gemerlap Lumphini
Ke Lumphini mereka bermimpi. Salah satu kawasan paling gemerlap di Bangkok itu adalah Mekkah buat petinju Muay Thai. Di sinilah penjudi berkocek tebal berkumpul dan ribuan pecinta tinju bersorak sorai di balik kamera televisi. Setiap kemenangan membawa bocah di kamp Phuawa selangkah lebih dekat menuju karir profesional dengan pendapatan hingga 40.000 Dollar AS per tahun.
Foto: Getty Images/C. Dowling
Bocah Yatim dari Phuwana
Buat bocah yatim piatu di Kamp Phuwana ini, Muay Thai adalah satu-satunya jalan buat mendatangkan uang dan meniti masa depan yang lebih baik. Setiap bocah mengimpikan juluran tangan promoter dan karir mentereng di Bangkok. Petinju Muay Thai adalah bintang di Thailand dan kebanyakan datang dari Isaan.
Foto: Getty Images/C. Dowling
Titian Penuh Bahaya
Tapi jalan menuju Lumphini terjal dan berbatu. Untuk level junior setiap pemenang cuma mendapat 500 Baht atau sekitar 200 ribu Rupiah per pertandingan. Hingga bisa mencapai kompetisi elit, bocah petinju harus bergantung pada kemampuan finansial pelatih. Uang dalam bisnis tinju anak di Thailand datang dari perjudian. Satu kekalahan saja bisa melumat karir seorang petinju.
Foto: Getty Images/C. Dowling
Bertukar Uang
Perjudian pada tinju anak sudah menjadi tradisi di Thailand. Bahkan pertandingan pada level junior saja bisa menyedot uang dalam jumlah besar. Penjudi biasanya berkeliling dari satu pertandingan ke pertandingan lain. Sekali bertaruh mereka bisa mengeluarkan uang receh sebesar 100 Baht, atau terkadang melebihi 50.000 Baht, setara dengan 20 juta Rupiah.
Foto: Getty Images/C. Dowling
Disiplin di Usia Dini
Bocah yatim di kamp Phuwana telah biasa berlatih sejak pukul 04:00 pagi. Setiap hari diawali dengan lari pagi sejauh 6 kilometer. Latihan bisa berlangsung hingga 7 jam sehari. Bocah-bocah ini sejak dini membangun level disiplin seorang profesional. Mereka tidak perlu diperintah untuk berlatih. Masing-masing memikirkan laga selanjutnya, di mana masa depan mereka dipertaruhkan selama 15 menit
Foto: Getty Images/C. Dowling
Pendidikan Menjadi Sampingan
Kamp Phuawana hanya menerima anak yatim piatu yang ingin mengadu nasib lewat tinju. Bocah-bocah ini berusia antara 7 hingga 18 tahun. Setelah berolahraga pada pagi hari, mereka biasanya berangkat sekolah hingga petang dan lalu kembali berlatih di sasana sampai malam.
Foto: Getty Images/C. Dowling
Ramai Bocah Petarung
Menurut lembaga penelitian tinju anak Thailand (CSIP), pada tahun 2016 sebanyak 10.000 bocah di bawah usia 15 tahun terdaftar sebagai atlit Muay Thai di otoritas tinju nasional. Setiap tahun sedikitnya 420 bocah mendaftarkan diri antara 2007 dan 2015. CSIP berulangkali menyerukan agar bocah dibawah 9 tahun dilarang bertanding. Namun di daerah pinggiran, seruan tersebut sering tak bergaung.
Foto: Getty Images/C. Dowling
Pengorbanan di Usia Muda
Institut Ramajitti di Thailand menemukan rejim diet yang ditetapkan pelatih untuk mengatur berat badan justru berujung pada melambatnya pertumbuhan anak. Selain itu risiko gangguan pada otak di usia lanjut berlipatganda buat bocah petinju. Namun buat banyak anak, risiko tersebut adalah konsekuensi yang harus diterima demi mewujudkan mimpi mereka. Penulis: Rizki Nugraha/yf (dari berbagai sumber)