Bumi makin panas. Apakah Anda merasakannya? Tahun 2016 adalah tahun terpanas sepanjang pencatatan data sepanjang 137 tahun, menggantikan posisi tahun 2015, walaupun tanpa efek El Nino. Opini Agus P. Sari.
Iklan
Tahun 2016 adalah tahun terpanas sepanjang pencatatan data sepanjang 137 tahun, menggantikan posisi tahun 2015, walaupun tanpa efek El Nino. Suhu rata-rata permukaan bumi adalah sekitar 0,45 hingga 0,56 derajat Celsius di atas suhu rata-rata bumi pada periode 1981-2010. Ini adalah penemuan dari National Oceanic and Atmospheric Agency (NOAA).
Selain itu, NOAA juga mencatat bahwa tinggi permukaan laut juga tertinggi, yaitu sekitar 8,2 cm dari tinggi pada 1993 (tahun dimulainya pengukuran permukaan laut). Akibatnya, tutupan es di Arktik berkurang, paling kecil selama periode 37 tahun pencatatan tutupan es Arktik. Indonesia termasuk wilayah dengan anomali suhu yang tertinggi. Penduduk Indonesia pasti merasakan betapa panasnya hari-hari di tahun itu.
Keadaan ini tampaknya akan semakin buruk. Menurut laporan tahunan World Meteorological Organization (WMO), the Greenhouse Gas Bulletin, konsentrasi CO2 pada 2016 telah mencapai 403,3 parts per million (ppm), naik dari 400 ppm pada 2015. Konsentrasi ini adalah 145 persen lebih tinggi dari level sebelum era industri (sebelum 1750) — level tertinggi sejak 800.000 tahun yang lalu. Pemanasan global akan membawa dampak yang amat sangat besar di seluruh dunia.
Dari Fiji ke Bonn
Pada 6 – 16 November 2017, 23rd Conference of the Parties (COP23) dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) berlangsung di Bonn, Jerman. Ketua COP23 sebenarnya adalah Fiji, tapi karena alasan kapasitas logistiknya maka pelaksanaannya diamanahkan ke Sekretariat UNFCCC di Bonn.
Fiji adalah sebuah negara pulau kecil di Samudera Pasifik. Fiji adalah anggota Association of Small Island States (AOSIS), yang di negosiasi UNFCCC tergabung dalam blok Small Island Developing States (SIDS).
Sebagai negara pulau kecil, perhatian terbesar dari Fiji adalah ketahanannya dalam menghadapi perubahan iklim dan pemanasan global. Sebagai pulau kecil, Fiji akan mengalami kerugian luar biasa akibat perubahan iklim. Negara-negara pulau kecil inilah yang bersikeras untuk memperkuat ambisi target pembatasan kenaikan suhu di Perjanjian Paris dari "hanya” 2 derajat menjadi 1,5 derajat saja. Menurut blok negosiasi SIDS, bahkan pembatasan kenaikan suhu 2 derajat saja akan membawa dampak luar biasa pada mereka. Di bawah Ketua Fiji, COP23 diperkirakan akan membawa kerentanan dan adaptasi terhadap perubahan iklim sebagai agenda kunci.
Padahal, mencapai 2 derajat saja merupakan kerja yang sangat berat. Bila semua komitmen pembatasan emisi gas-gas rumah kaca semua negara yang ada di Nationally-Determined Contributions (NDC) di Perjanjian Paris dilaksanakan semua, masih kurang dari setengah komitmen yang dibutuhkan untuk membatasi kenaikan temperatur pada 2 derajat.
Komitmen pembatasan emisi ini mutlak harus diperkuat lebih dari dua kali lipat dari yang ada sekarang. Apalagi mencapai 1,5 derajat. Banyak ahli dan pengamat yang berkeyakinan bahwa kita sudah terlambat untuk membatasi kenaikan suhu pada 1,5 derajat, dan dengan demikian adaptasi dalam menghadapi perubahan iklim telah menjadi keniscayaan.
Dampak Perubahan Iklim Sudah Landa Dunia
Efek perubahan iklim sudah terasa. Pakar iklim peringatkan, jika kenaikan suhu global lebihi rata-rata 2 derajat Celsius, dampaknya akan fatal. Inilah beberapa bukti bencana yang sudah melanda akibat perubahan iklim:
Foto: picture-alliance/dpa
Kabut Asap Cekik Asia Tenggara
Kebakaran hutan di Indonesia yang dipicu fenomena iklim El Nino, durasinya bertambah panjang dari biasanya. Akibatnya negara tetangga Malaysia, Singapura dan Thailand dicekik kabut asap berbulan-bulan. Kuala Lumpur disergap asbut berminggu-minggu (foto). Beberapa kali pemerintah negara jiran terpaksa meliburkan sekolah dan Kantor pemerintahan, akibat kadar cemaran lebihi ambang batas aman.
Foto: MOHD RASFAN/AFP/Getty Images
Masalah Kesehatan Dipicu Kabut Asap
Kalimantan dan Sumatra sudah langganan disergap kabut asap akibat kebakaran hutan. Tapi serangan kabut asap tahun ini jauh lebih hebat dan panjang dibanding tahun tahun sebelumnya. NASA melaporkan penyebabnya: fenomena iklim El Nino yang Alami perubahan pola. Akibatnya lebih 500.000 warga menderita infeksi saluran pernafasan akibat kabut asap.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Smog di Cina Berkategori Berbahaya
Kadar Smog di Cina telah lewati ambang batas aman yang ditetapkan WHO. Ibukota Beijing dan sejumlah kota besar lainnya menderita tercekik Smog yang terutama berasal dari pambakaran batubara secara intensif. Ekonomi Cina sangat tergantung dari pembangkit listrik batubara. Dampaknya adalah masalah kesehatan bagi jutaan warga
Foto: Getty Images/K. Frayer
Neraka Kebakaran Hutan
Amerika juga tak luput dilanda dampak perubahan iklim. Kebakaran hutan di California September 2015 melalap kawasan ribuan Hektar. Lebih 10.500 pemadam kebakaran dikerahkan. Tapi tetap saja api melumat 1400 rumah milik warga. Api menyala sendiri akibat kemarau panjang dan kekeringan hutan yang dipicu fenomena iklim El Nino.
Foto: picture-alliance/dpa
Masalah Sosial Dipicu Kemarau Panjang
Kemarau panjang dan kekeringan dipicu perubahan iklim, timbulkan masalah sosial berat di negara berkembang. Terutama anak perempuan yang jadi korban. Organisasi bantuan "Kindernothilfe" mencatat, kasus perkawinan dini meningkat. Pasalnya orang tua tak mampu lagi memberi makan keluarganya. Menikahkan dini anak perempuan berarti satu beban berkurang dan dari uang mahar anak lain bisa diberi makan.
Foto: picture-alliance/dpa/A. Burgi
Banjir Makin Kerap Datang
Di belahan bumi lainnya terjadi fenomena kebalikan. Curah hujan makin tinggi dan badai makin sering melanda. Banjir yang tak kenal musim memaksa jutaan orang bermigrasi. Angka kemiskinan hingga 2030 diramalkan meningkat drastis. Bencana lingkungan di kawasan Afrika dan Asia Selatan memicu gagal panen, kelaparan dan wabah penyakit.
Foto: picture-alliance/dpa
Angin Topan Membuat Sengsara
Ini bukan pemandangan mistis, melainkan citra udara dari atas pulau Luzon di Filipina yang tergenang banjir setelah dilanda angin topan. Ratusan tewas akibat tanah longsor dan banjir. 50.000 warga jadi tuna wisma dan terpaksa mengungsi. Filipina dilanda 20 topan hebat setiap tahunnya.
Foto: picture-alliance/dpa
Eropa Juga Terimbas
Pemanasan global dan perubahan iklim juga berdampak di Eropa. Sungai Rhein yang melintasi beberapa negara dan penting sebagai urat nadi lalu lintas air, kini nyaris kering akibat tak turun hujan selama berbulan-bulan. Dampak ekonominya, transportasi barang kini mengandalkan moda darat yang jauh lebih mahal.
Foto: picture-alliance/dpa
Terumbu Karang Mati massal
Kematian massal terumbu karang juga melanda kawasan luas di bawah laut. Terumbu karang ini berwarna pucat, sebuah indikasi koloni binatang ini nyaris mati. Koral Yang sehat berwarna indah cemerlang. Pemicu kematian massal terumbu karang adalah makin hangatnya suhu air laut, yang memicu stress dan pertumbuhan ganggang beracun.
Foto: imago/blickwinkel
Beruang Kutub Terancam Punah
Beruang kutub menjadi simbol bagi perubahan iklim. Akibat lumernya lapisan es abadi di kutub utara, binatang ini kehilangan habitat alaminya. Tidak ada lapisan es, berarti beruang kutub tidak bisa berburu mangsanya dan akan mati kelaparan. Ramalan pesimistis menyebutkan: hingga 2050 populasi beruang kutub akan menyusut hingga tinggal 30 persen dari populasi saat ini.
Foto: picture-alliance/dpa
10 foto1 | 10
Pemanasan global akan cepat menghapus negara ini dari peta dunia
Padahal, sejak 1870, permukaan laut telah meningkat sekitar 20 sentimeter (cm). Bayangkan saja Tuvalu, negara terkecil di dunia dengan luas wilayah hanya 26 km2.
Dengan wilayah sekecil itu, tidak banyak harapan sumber daya alam di atasnya. Hampir di seluruh negara itu tidak ada tempat yang lebih tinggi dari satu meter di atas permukaan laut. Perkiraan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC, panel ilmiah paling otoritatif mengenai perubahan iklim) pada 2007 adalah bahwa permukaan laut akan terus meninggi hingga 20 – 40 cm pada 2090. Pada 2009, Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional Amerika memperkirakan bahwa pada tahun 2100 permukaan laut akan naik setinggi 40 - 140 cm dari tingginya sekarang.
Sementara itu, beberapa pulau di negara-negara pulau kecil inipun saat ini telah mulai tenggelam. Lima pulau kecil di negara Kepulauan Solomon telah tenggelam akibat kenaikan permukaan laut rata-rata setinggi satu sentimeter yang dialami negara tersebut.
Enam pulau lagi mulai tenggelam terbawa erosi. Dua di antaranya menenggelamkan desa-desa yang ada di atasnya. Salah satunya adalah Pulau Nuatambu dengan 25 keluarga yang telah kehilangan 11 rumah dan setengah penduduknya sejak 2011.
Negara-negara pulau kecil ini telah pula melakukan tindakan yang kadang ekstrem untuk menyelamatkan diri mereka. Presiden Anote Tong dari Kiribati, misalnya, telah membeli lahan 20 km2 di kepulauan Fiji.
Kiribati adalah sebuah negara-pulau 2000 km dari Fiji, dengan populasi 110.000 orang yang tersebar di 33 pulau-pulau kecil dengan luas sekitar 3,5 juta km2. Pada 2009, Maldives adalah negara pertama yang mengumumkan niat untuk membeli lahan di negara lain untuk mengantisipasi situasi di mana seluruh negaranya akan tenggelam, dan seluruh penduduknya harus pindah. Saat itu, opsi yang dipertimbangkan adalah lahan di India dan Sri Lanka.
Apa yang Anda ketahui tentang perubahan iklim?
Perubahan iklim menjadi satu tema yang kerap dibahas dalam beberapa tahun terakhir. Sejauh mana Anda tahu tentang masalah yang berdampak besar bagi kita semua ini?
Foto: picture-alliance/W. Steinberg
Pertanyaan:
Berapa derajat Bumi menjadi lebih hangat sejak masa pra-industri?
Foto: picture-alliance/dpa
Jawaban:
Menurut Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim IPCC, suhu rata-rata di bumi telah meningkat 0,8 derajat Celcius sejak 1850. Dinas metereologi Inggris Met Office menyebut, suhu akan meningkat 1 derajat pada akhir 2015. Para pakar mengatakan, kenaikan suhu sampai 2 derajat dapat mengundang bencana besar. Namun banyak ahli juga mengatakan, 1,5 derajat sudah melampaui ambang risiko.
Foto: DW/G. Rueter
Pertanyaan:
Dampak apa yang akan timbul jika suhu bumi meningkat 2 derajat pada tahun 2100?
Foto: DW/K.Hasan
Jawaban:
Hingga 3 juta orang di wilayah pesisir akan terancam banjir. Dan diperkirakan sekitar 250 juta orang akan kehilangan tempat tinggal akibat perubahan iklim. Sampai 2 miliar warga dunia akan menghadapi kekurangan air. Jika suhu meningkat 1 derajat sampai akhir abad ini, 20 sampai 30 persen spesies mahluk hidup bisa punah, karena tidak mampu beradaptasi dengan cepat.
Foto: picture-alliance/AP/T. Gutierrez
Pertanyaan:
Apa yang menyebabkan efek rumah kaca?
Foto: IRNA
Jawaban:
Penggunaan bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak atau bensin, yang sebagian besar untuk produksi listrik dan transportasi, menghasilkan karbon dioksida. Ketika mencapai bagian atas atmosfer, karbon dioksida akan mengikat panas. Proses ini menjadikan suhu meningkat dan menyebabkan perubahan iklim.
Foto: picture-alliance/AP/M. Meissner
Pertanyaan:
Negara mana yang paling terkena dampak cuaca ekstrim?
Foto: Reuters
Jawaban:
Menurut indeks risiko iklim global yang dikeluarkan oleh Germanwatch, antara tahun 1995 sampai 2014, negara-negara berkembang seperti Honduras, Myanmar dan Haiti yang paling menderita akibat banjir, badai dan gelombang panas. Negara yang paling terpukul akibat perubahan iklim di tahun 2014 adalah Afghanistan, Serbia, Bosnia dan Herzegovina.
Foto: Reuters
Pertanyaan:
Apa hubungan antara perubahan iklim dan kenaikan tingkat keasaman laut?
Foto: imago/OceanPhoto
Jawaban:
Satu proses kimia berlangsung saat laut dan samudra menyerap peningkatan karbon dioksida dari atmosfer. Proses ini mengubah tingkat pH air laut. Peningkatan pH ini akan menurunkan kemampuan hidup makhluk laut seperti kerang. Hal ini akan mempengaruhi seluruh rantai makanan di laut, yang mana manusia juga tergantung padanya.
Foto: XL Catlin Seaview Survey
Pertanyaan:
Moda transportasi apa yang paling ramah lingkungan: mobil, kereta api, bus atau pesawat terbang?
Foto: picture-alliance/dpa/L. van Lieshout
Jawaban:
Terbang dengan pesawat komersial dari Bandung ke Denpasar, yang berjarak sekitar 900 km, menghasilkan sekitar 250 kg CO2. Untuk jarak yang sama, satu mobil VW golf menghasilkan 180 kg emisi dan bus sekitar 30 kg. Sementara untuk menempuh jarak 900 km, kereta api hanya menghasilkan 11 kg CO2.
Foto: picture-alliance/W. Steinberg
12 foto1 | 12
Indonesia rentan
Dampak perubahan iklim di Indonesia, karena kerentanannya, bisa sangat besar. Indonesia adalah negara tropis dengan banyak pulau-pulau kecil. Negara dengan lebih dari 17.000 pulau, termasuk beberapa ribu yang sangat rentan terhadap perubahan tinggi permukaan laut, dan lebih dari 80.000 kilometer garis pantai, Indonesiapun sama rentannya dengan negara-negara SIDS. Kenaikan permukaan laut satu meter saja akan menenggelamkan wilayah seluas lebih dari 400.000 hektar (ha). Di Jakarta saja, kenaikan 50 cm akan menenggelamkan wilayah Jakarta Utara yang lumayan padat penduduk, dan mengancam kehidupan 270.000 orang di wilayah tersebut.
Semua dampak ini memiliki biaya yang tidak kecil. Baru-baru ini United States Agency for International Development (USAID) memperkirakan bahwa pada 2050 Indonesia harus menanggung kerugian paling tidak sebesar Rp 132 triliun (sekitar 1,4 persen dari pendapatan tahunan Indonesia sekarang) dari sebagian dampak perubahan iklim yang dapat dikuantifikasi. Dari jumlah itu, 53 persen disebabkan oleh penurunan produksi pertanian, 34 persen dampak kesehatan, dan 13 persen dari kenaikan muka air laut. Ini adalah dampak yang gradual. Bila dampak lain — terutama yang tidak gradual, seperti makin banyaknya badai, atau kebakaran hutan akibat kekeringan luar biasa — ikut diperhitungkan, jumlahnya akan jauh lebih besar lagi. Kebakaran hutan pada Juni – Oktober 2015 saja telah menyebabkan kerugian sebesar Rp 221 triliun, atau sekitar 2 persen dari pendapatan nasional, atau 10 persen dari anggaran pemerintah tahun itu. Kebakaran 2015 tersebut terutama disebabkan karena El Nino, dan merupakan salah satu yang terbesar di Indonesia. Pemanasan global akan memperbesar resiko kebakaran ini bahkan pada kondisi tanpa El Nino.
Ringkasnya, Indonesia adalah negara yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Pada COP23, dengan demikian, Indonesia mesti berjuang untuk meletakkan isu dampak perubahan iklim dan pemanasan global, adaptasi, serta pendanaan untuk meningkatkan ketahanan Indonesia menghadapi dampaknya, pada deretan isu prioritas utama.
Penulis: Agus P. Sari adalah CEO Landscape Indonesia, lembaga yang menjembatani pengelolaan lansekap lestari dengan investasi.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.
Pembangunan Situs Konferensi Iklim COP23 di Bonn
Kota Bonn, Jerman persiapkan diri untuk penyelenggaraan konferensi iklim global COP23, 6- 17 November 2017. Situs konferensi ini di tepi sungai Rhein dengan konsep ramah lingkungan.
Foto: DW/S.Diehn
Bonn mempersiapkan diri
Bonn menjadi lokasi konferensi iklim dunia COP23 dari tanggal 6 sampai 17 November 2017. Sejak beberapa bulan, bekas ibukota Jerman itu mempersiapkan diri. Area utama konferensi adalah kota tenda di tepi sungai Rhein.
Foto: DW/S. Diehn
Selamat datang di COP23!
Welcome! Willkommen! Bula! Bahasa Inggris, bahasa Jerman dan bahasa Fiji. Mengapa ada "Bula" yang bahasa Fiji? Karena pada COP23, negara tuan rumah secara resmi adalah Kepulauan Fiji. "Bula" berarti "selamat datang" atau "pertemanan".
Foto: DW/I. B. Ruiz
Ketika dunia berkumpul dan berunding
Aula besar di dekat Sungai Rhein ini akan menerima delegasi dari seluruh dunia. Ada sekitar 40 paviliun yang dibangun sebagai ruang rapat, di mana delegasi dari 196 negara membahas berbagai masalah perlindungan iklim.
Foto: DW/H. Weise
Paviliun Jerman dengan konsep berkelanjutan
Paviliun Jerman antara lain akan diterangi dan didekorasi lampu LED berukuran 3 meter. Akan ada semacam amfiteater kecil, pameran virtual Kementerian Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan Jerman (BMZ) dan Kementerian Lingkungan Hidup Jerman (BMUB).
Foto: DW/H. Weise
India jadi sorotan
Paviliun lain yang cukup besar adalah paviliun India, yang mungkin bakal jadi sorotan utama dalam konferensi ini. Semua ingin tau bagaimana posisi India dalam isu perubahan iklim. Puluhan pekerja menyiapkannya paviliun agar rampung sebelum tanggal 6 November 2017.
Foto: DW/H. Weise
Zona pekerja media
Dalam setiap konferensi internasiomal, tidak hanya delegasi pemerintahan dan tim ahli yang bekerja keras, melainkan juga para jurnalis yang siap menurunkan berita siang dan malam. Selain di aula Media Center, di dalam tenda juga disiapkan ruang kerja untuk para jurnalis dengan fasilitas memadai.
Foto: DW/H. Weise
Jangan khawatir, ada cukup kopi!
Di sela-sela kerja, perlu juga tempat untuk minum kopi. Panitia penyelenggara menyediakan kopi khusus dari Kosta Rika. Tentu tersedia juga teh dan minuman dingin.
Foto: DW/H. Weise
Makan siang
Ada kantin yang cukup luas dengan dua lantai dalam sebuah tenda besar dengan kapasitas 1500 orang. Sebagian besar pilihan menu terdiri dari bahan organik dan produk lokal. Selalu akan ada pilihan untuk vegetarian. Harga menu berkisar antara 10 sampai 12 Euro.
Foto: DW/H. Weise
Peran penting NGO
Organisasi non-pemerintah, NGO, akan memainkan peran penting dalam konferensi iklim. Mereka berbicara mewakili masyarakat sipil dan bekerja untuk meningkatkan kesadaran di kalangan masyarakat. Ada sekitar 500 LSM yang akan menampilkan kegiatan mereka dalam tempat khusus di di area pameran ini.
Foto: DW/H. Weise
Bonn sudah siap..!
Foto terakhir ini dibuat sekitar satu minggu sebelum konferensi dimulai. ini diambil hampir seminggu sebelum konferensi dimulai. Sekarang, kota Bonn sudah siap menerima tamu-tamu dari berbagai penjuru dunia.