1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Infrastruktur Hijau untuk Mitigasi ”Pulau Panas Perkotaan”

Sorta Caroline
13 September 2020

Tak sekedar lahan hijau, tapi juga pohon, infrastruktur hijau pada dinding dan atap, hingga aliran air digadang jadi kunci penurun suhu panas kota besar dunia. Adakah solusi tepat untuk Jakarta?

Penampakan kota Barcelona
Foto: DW

Daerah perkotaan kerap memiliki suhu udara yang lebih tinggi dibanding daerah sekitarnya. Fenomena ini dikenal dengan nama urban heat island (UHI) atau pulau panas perkotaan. Urbanisasi dan pembangunan kontinu yang banyak mengubah tata ruang kota, berakibat pada peningkatan suhu panas perkotaan. Ruang terbuka hijau serta infrastruktur hijau digadang sebagai solusi masalah tersebut.

Hanna Stepani, seorang pegawai negeri sipil DKI Jakarta untuk Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Pertanahan, telah berkecimpung selama 10 tahun dalam dunia tata ruang kota DKI Jakarta. Pada 2018, Hanna menerima beasiswa Erasmus+ Master of Urban Climate and Sustainabiliy (MUrCS), untuk studi di tiga negara: Skotlandia, Finlandia, dan Spanyol. Dari studinya ia melakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaturan dan upaya mitigasi pulau panas perkotaan ibukota. Lantas apakah Jakarta masih bisa menurunkan suhu panasnya? Seperti apa hasil penelitian Hanna?

DW Indonesia: Bisa dijelaskan lebih lanjut mengenai penelitian Hanna mengenai target RTH perkotaan dan Urban Heat Island?

Hanna Stepani: Penelitian saya  ingin melihat, apakah dengan target setting 30% RTH yang diberikan oleh pemerintah pusat ini bisa benar-benar menurunkan temperatur pulau panas perkotaan? Apakah ini bisa membuat Jakarta yang lebih dingin?

Bagaimana sistematika penelitiannya, apa juga membandingkan dengan kota-kota besar lainnya?

Dalam penelitian ini, pertama-tama saya membandingkan delapan green index atau indeks hijau kota-kota besar dunia yakni Berlin, Malmö, Helsinki, Seattle, DC, North West England, Southampton, London. Kalau di Jakarta, indeks hijau itu diukur sebatas luas lahan hijau.

Hanna Stepani, Mahasiswi Urban Climate and Sustainability di Glasgow Caledonian UniversityFoto: Hanna Meiria

Setiap kota punya perbedaan dalam klasifikasi indeks hijau. Contohnya Berlin, yang hijau itu tidak hanya dihitung dari tanah atau lahan hijau, tapi infrastruktur hijau lainnya seperti green wall (tanaman merambat pada tembok), green roof (taman di atas atap). Ini memberi nilai yang berbeda dalam penghitungan koefisien hijau.

Konsep ini pun diikuti oleh beberapa kota besar lainnya seperti Malmö, namun disini Malmö memberi highlight pada ukuran pohon dalam menentukan green indeksnya. Beda lagi dengan Helsinki, highlight nilainya ada pada stormwater management, aliran air punya faktor besar dalam penentuan green index. Ini ada kaitan dengan faktor lokalitas.

Kota lainnya seperti Seattle, ia mengombinasi nilai green index dari Berlin dan Malmö (menghitung aspek infrastruktur hijau dan juga menambahkan nilai ukuran pohon ke dalamnya). Setiap faktor indeks hijau saya telusuri dan tentukan nilai rata-ratanya.

Setelahnya, saya menerapkan Local Climate Zone Analysis atau analisis iklim lokal, dengan mengikuti ketentuan World Urban Database and Access Portal Tools (WUDAPT) untuk mengetahui magnitude suhu pulau panas perkotaan. Saya menggunakan klasifikasi Stewart dan Oke (2012) untuk mengetahui klasifikasi penggunaan lahan (tutupan lahan) di Jakarta. Ada penggunaan lahan menjadi bangunan tinggi yang padat, ada yang menjadi bangunan tinggi yang renggang, bangunan sedang, dan lainnya.

Dari geographic mapping itu, saya pun menemukan bahwa Jakarta memiliki tutupan lahan yang didominasi oleh bangunan besar berlantai satu seperti gudang, perumahan dengan taman, perumahan padat tanpa taman, bangunan industri dan bangunan tinggi/komersial. Tahap ini masih punya banyak keterbatasan terkait verifikasinya. Sehubungan dengan COVID-19, saya tidak bisa verifikasi lahan secara langsung, namun tujuan penelitiannya adalah developing protocol, dan bukan mapping Local Climate Zone untuk Jakarta.

Kelima jenis tutupan lahan ini pun saya modifikasi dengan green index yang nilainya telah saya klasifikasi dan ukur sebelumnya. Saya lakukan simulasi iklim mikro (dengan program ENVI-met) dengan membuat skenario penghijauan maksimal, misalkan tanam pohon, menambahkan rumput, menambahkan tanaman pada tembok dan atap, mengganti material beton.

Salah satu model simulasi iklim mikro dengan menerapkan skenario penghijauan secara maksimal (kiri). Hasil simulasi data iklim mikro dipetakan ke seluruh area Jakarta (kanan)Foto: Hanna Meiria

Lantas bagaimana hasilnya? Apa skenario terbaik untuk Jakarta?

Hasilnya berbeda-beda, ada beberapa lokasi di Jakarta yang suhunya turun dengan penambahan infrastruktur hijau, namun ada beberapa lokasi yang setelah ditambahkan indeks hijau bahkan hingga 100% tidak menjadi dingin tapi tetap panas dan tidak menurunkan tingkat ketidaknyamanan. Ini mungkin karena lahan sudah terbangun sudah sangat berat dari material bangunan dasarnya, dari bahan bangunannya.

Penanaman pohon bisa membantu mempengaruhi iklim mikro, pohon menciptakan ruang-ruang kecil dengan kenyamanan termal yang lebih tinggi, sehingga makin banyak pohon makin banyak ruang dengan kenyamanan termal. Hal lain yang perlu dilakukan adalah integrasi climate sensitive urban design seperti perhatian pada urban morphology, letak bangunan dan shade dari bangunan yang mempengaruhi temperatur.

Tidak ada skenario terbaik untuk Jakarta yang bisa begitu saja ditiru dari kota besar lainnya, aplikasi penghijauan tidak bisa tiba-tiba unifikasi. Ruang terbuka hijau itu tidak cukup, prediksi presentase ketidaknyamanan masih sangat tinggi – berdasarkan hasil simulasi ENVI-met yang saya lakukan, semua orang masih merasa tidak nyaman pada jam-jam tertentu. Ada faktor tropis juga di sini.

Jakarta masih dalam perjalanannya mengembangan indeks hijau yang ideal. Ini cukup berat, kondisi lahan Jakarta yang sudah terbangun dan pencapaian RTH hingga saat ini yang masih sangat minim.

Apakah dengan wacana pemindahan ibukota, berarti akan ada penurunan laju pembangunan Jakarta ?

Wah, saya ngga bisa komentar soal ini. Ini tergantung dengan program-program yang akan dijalankan dan target pencapaian yang ditetapkan. Tapi kalau dikaitkan dengan pulau panas perkotaan, selama pembangunan dilakukan dengan masif tanpa melibatkan integrated design of green infrastucture atau climate sensitive tata kota, masalah overheating tidak akan terreduksi.

Apa tantangan menjadi PNS Pemda DKI Jakarta?

Kita tahu sebagai ibukota, Jakarta adalah metropolitan terbesar di Asia Tenggara, pembangunan kota Jakarta memberikan kontribusi besar untuk nasional pertumbuhan ekonomi Jakarta untuk triwulan 1 2020 ini saja, yang sudah turun ke angka 5.06%, masih berada di atas pertumbuhan perekonomian nasional sebesar 2,97%. Penduduk Jakarta sendiri sudah di atas 10 juta jiwa. Sebesar itu kota jakarta.

PNS DKI kerjanya berat, programnya banyak, jumlahnya tenaga kerjanya kurang banyak. Kadang satu orang bisa mengerjakan pekerjaan yang mungkin kalau di Finlandia bisa dikerjakan oleh beberapa orang.

Yang terkadang membuat berat salah satunya adalah karena kurangnya dukungan dari sebagian kalangan masyarakat dan anggapan-anggapan miring terhadap upaya besar yang dilakukan Pemda DKI untuk masyarakat. It would be a better synergy if government and community can work it out together. Dukungan masyarakat itu penting dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan, tujuan pemerintah pasti yang terbaik buat masyarakatnya.

 

***Hanna Meiria Naomi Stepani adalah PNS DKI Jakarta untuk Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Pertanahan. Mahasiswi Urban Climate and Sustainability di Glasgow Caledonian University. Kini ia sedang menggarap penelitian akhir mengenai “Developing Protocol on Jakarta Green Area Target Setting for Urban Overheating Mitigation”. (sc)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait