Pemilih di Inggris dihadapkan pada pilihan cukup luas yang akan membentuk sosok dan visi politik Inggris di masa depan. Tapi, setelah masa kampanye usai, sulit meramalkan hasil pemilu. Perspektif Grahame Lucas.
Iklan
Kita bisa memulai dengan ketakutan yang merebak di latar belakang, apapun bentuk pemerintahan yang dipilih nanti, hasilnya adalah apa yang diinginkan minoritas warga, yakni pecahnya Inggris Raya. Indikasinya amat tegas. Sembilan bulan lalu, referendum di Skotlandia menegaskan negeri itu akan tetap berada bergabung dalam United Kingdom alias Inggris Raya. Partai Nasional Skotlandia SNP sekarang melancarkan target menyabet semua kursi di parlemen.
Namun sudah jadi rahasia umum, bahwa SNP jika menang telak, akan menggelar referendum baru dalam satu atau dua tahun ke depan, untuk hengkang dari United Kingdom. Resep sukses SNP adalah sikap warga Skotlandia yang menentang apa yang disebut model Westminster, yang dipercaya membahayakan kepentingan mereka. Khususnya dalam pembagian laba dari tambang minyak di Laut Utara dan penghematan dalam model kesejahteraan sosial.
Sebuah kemenangan besar Partai Nasional Skotlandia akan berarti terdesaknya kekuatan partai Buruh dan Partai Konservatif hingga ke pinggiran. Jika hal itu terjadi, baik partai Konservatif di bawah PM David Cameron maupun Partai Buruh di bawah Ed Milibannd tidak akan ada yang mampu meraih mayoritas suara di Parlemen Westminster. Hasil pemilu nanti diprediksi adalah sebuah parlemen yang menggantung, yang memaksa terbentuknya pemerintahan koalisi atau pemerintahan minoritas.
Di sinilah masalah akan muncul. Sebagai mitra koalisi dengan Partai Buruh, SNP dengan lebih 50 kursi di perlemen London, bisa mendikte syarat untuk keluar dari United Kingdom. Sedangkan sebuah pemerintahan minoritas, diperkirakan tidak akan berumur panjang, karena menghadapi sikap bermusuhan dari SNP.
Tapi, ini bukan satu-satunya ancaman. United Kingdom Independence Party - UKIP yang muncul tahun 1990-an sebagai wujud protes atas keanggotaan Inggris dalam Uni Eropa, kini juga mulai tampil ke depan. UKIP terutama mengusung program anti imigran dan anti Uni Eropa untuk memuluskan jalan memasuki Parlemen di London. Partai kanan ini juga berusaha meraih generasi tua dengan menonjolkan masa lalu negara itu, sebagai salah satu adidaya dunia.
UKIP secara siginfikan dipastikan akan merebut banyak pemilih tradisional Partai Konservatif. Inilah faktor yang bisa menjegal Cameron meraih suara mayoritas. Bagaimanapun juga pemerintahan minoritas Cameron akan tergantung dari bagian dukungan UKIP, dan dengan begitu juga akan dipaksa menggelar referendum pada 2017 untuk menentukan keanggotaan Inggris dalam Uni Eropa.
Jika referendum nantinya menyetujui keluarnya Inggris dari Uni Eropa, ini akan berdampak melipat gandakan dukungan di Skotlandia, untuk keluar dari United Kingdom dan menggantikan posisi Inggris di Uni Eropa.
Semua fakta itu membuat para pengamat membuat kesimpulan, apapun yang dipilih rakyat dalam pemilu kali ini, berakhirnya sosok United Kingdom yang kita kenal saat ini tidak bisa dihindarkan lagi.
Lebih jauh lagi, bagi Uni Eropa kehilangan Inggris, yang merupakan ekonomi ke-empat terbesar, akan jadi kabar buruk. Sementara Inggris juga harus membayar mahal, berupa kehilangan pemasukan 400 milyar Euro dari sektor ekspor. Di tatanan internasional, Uni Eropa akan kehilangan pengaruh politiknya. Dan bagi Inggris, ini akan jadi bencana dalam proporsi bersejarah.
Margaret Thatcher – Sekilas Hidupnya dalam Foto
Menengok kembali saat-saat penting dalam kehidupan perempuan pertama yang menjadi perdana menteri Inggris.
Foto: picture-alliance/dpa
Perdana Menteri Inggris Perempuan Pertama
Margaret Thatcher meninggal pada hari Senin (08/04/13) setelah terserang stroke. Ia merupakan perempuan pertama yang menduduki kantor perdana menteri Inggris (1979-1990) dan merupakan salah satu tokoh politik yang paling berpengaruh di abad ke-20.
Foto: picture-alliance/dpa
Awal yang Sederhana
Margaret Hilda Thatcher (kanan) lahir pada 13 Oktober 1925 di Grantham Lincolnshire, merupakan putri ke dua dari pasangan Alfred Roberts dan Beatrice. Ayah Margaret merupakan seorang anggota dewan kota dan pendeta. Ia memberikan pengaruh besar pada kehidupan dan jalur politik Margaret.
Foto: Keystone Features/Getty Images
Ahli Kimia dengan Ambisi Politik
Margaret Thatcher – kala itu masih menyandang nama Roberts – belajar ilmu alam di Sommerville College di Oxford, mengambil spesialisasi kimia. Ia merupakan perempuan ketiga yang menjadi presiden Oxford University Conservative Association, satu organisasi politik mahasiswa. Ini membuka jalan bagi masa depan karir politiknya.
Foto: Keystone Features/Getty Images
Langkah Pertama di Panggung Politik
Dalam pemilu tahun 1950-1951 ia menjadi calon dari Partai Konservatif di wilayah pemilihan Datford, yang dianggap sebagai wilayah “kekuasaan” Partai Buruh. Memang ia tidak meraih kemenangan, tapi mendapatkan perhatian besar dari media. Thatcher merupakan kandidat termuda dan satu-satunya perempuan.
Foto: Getty Images
Keluarga dan Karir
Pada tahun 1951 ia menikah dengan Denis Thatcher, seorang pengusaha. Denis membiayai kuliah hukum Margaret. Tahun 1953 ia behasil memenuhi syarat untuk mengambil spesialisasi sebagai pengacara pajak. Dan pada tahun yang sama, Margaret melahirkan anak kembar, Carol dan Mark.
Foto: Getty Images
Jalan Menuju Kekuasaan
Pada tahun 1959, Thatcher maju sebagai kandidat Partai Konservatif dalam pemilu Dewan Rakyat wilayah pemilihan Finchley. Pada tahun 1970, PM Edward Heath mengangkatnya sebagai menteri pendidikan. Lima tahun kemudian, Thatcher mengalahkan Heath dalam pemilihan pemimpin partai dan sembilan tahun kemudian ia menjadi perdana menteri perempuan pertama di Inggris.
Foto: Getty Images
The Iron Lady
Margaret Thatcher berjanji untuk memotong pajak penghasilan dan menurunkan pengeluaran pemerintah, mempermudah warga untuk memiliki rumah dan mengendalikan kekuatan serikat buruh. Karena sikap kerasnya mengenai arah politik sosial dan terhadap oposisi, Thatcher dijuluki Iron Lady.
Foto: Keystone/Getty Images
Kemenangan di Falkland
Julukannya sebagai perempuan bertangan besi ia tunjukkan dalam menanggapi invasi Argentina terhadap Kepulauan Falkland pada tahun 1992. Thatcher mengirimkan armada lautnya dan pasukan Argentina akhirnya menyerah. Kemenangan dalam Perang Falkland membawa kemenangan telak Partai Konservatif dalam pemilu 1983.
Foto: picture alliance/AP Images
Sekutu dalam Perang Dingin
Margaret Thatcher memiliki hubungan khusus dengan Ronald Reagan, presiden Amerika Serikat kala itu. Ketika Reagan meninggal, ia menggambarkannya sebagai “orang Amerika hebat yang memenangkan Perang Dingin.“
Foto: picture alliance/AP Images
Luput dari Serangan Bom IRA
Oktober 1984, sebuah bom meledak di Hotel Brighton, tempat berlangsungnya konferensi Partai Konservatif, yang juga dihadiri Thatcher. Lima orang meninggal dan sejumlah orang lainnya luka-luka. Thatcher sendiri selamat tanpa luka sedikitpun.
Foto: Fox Photos/Hulton Archive/Getty Images
Meninggalkan Downing Street
Tahun 1987, Thatcher memenangkan pemilu untuk ke-tiga kalinya. Tapi setelah konflik kempemimpinan partai, Thatcher melepaskan jabatan perdana menteri dan posisinya digantikan John Major. Ketika pada tahun 1992 Partai Konservatif secara mengejutkan berhasil memenangkan pemilu, Thatcher kembali menduduki kursi di gedung parlemen.
Foto: AFP/Getty Images
Kondisi Kesehatan Menurun
Pada tahun 1995, Margaret Thatcher menerima gelar kebangsawanan Baroness. Thatcher tetap memainkan peran di panggung politik selama satu dekade sampai penyakit memaksanya untuk pensiun. Setelah serangkaian stroke ringan, dokter menyarankannya untuk tidak tampil berpidato di depan umum, dan dari hari ke hari ia tampak semakin lemah.