1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Inggris Siap Longgarkan Pembatasan COVID-19

10 Mei 2021

Inggris akan melonggarkan sejumlah aturan pembatasan, mengikuti beberapa negara Eropa lainnya yang telah menghidupkan kembali sektor ekonomi secara bertahap. Di sisi lain, India masih menghadapi lonjakan kasus COVID-19.

Tim medis COVID-19
Tsunami COVID-19 di India diperburuk oleh varian baru yang lebih menularFoto: Chinese medical expert team/Xinhua/picture alliance

Pandemi telah merenggut hampir 3,3 juta nyawa di seluruh dunia, di mana Inggris memiliki jumlah kematian tertinggi di Eropa. Namun, program vaksinasi yang berhasil dilakukan dengan cepat dan tepat memungkinkan pihak berwenang melonggarkan aturan pembatasan.

Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengumumkan langkah-langkah terbaru - yang mulai efektif berlaku pada 17 Mei 2021 - dalam konferensi pers pada Senin (10/05).

Ketika ditanya saat diwawancarai BBC pada Minggu (09/05), mengenai boleh tidaknya orang-orang berpelukan, Menteri Senior Michael Gove mengatakan: "Tanpa mengurangi ulasan yang lebih luas tentang jaga jarak sosial ... kontak yang bersahabat, kontak intim antara teman dan keluarga adalah sesuatu yang kami ingin pulihkan."

Banyak pihak berharap pemerintah membuka kembali bioskop dan beberapa aula besar untuk menikmati konser musik.

Keputusan aturan baru Inggris dirilis setelah pemerintah Spanyol mencabut status keadaan darurat yang berlaku sejak Oktober 2020, sehingga kini memungkinkan orang untuk melakukan perjalanan antar wilayah.

Derita warga India terus berlanjut

Pada Senin (10/05), India melaporkan hampir 370.000 infeksi baru dan lebih dari 3.700 kasus kematian.

Kepala Ilmuwan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Soumya Swaminathan mengatakan kepada AFP, bahwa krisis di India diperburuk oleh varian baru yang lebih menular.

Wabah corona India telah menyebar ke beberapa negara tetangga, seperti Nepal yang mulai mencatatkan lonjakan kasus infeksi COVID-19 setiap harinya.

Bahkan, Cina juga akan mendirikan "garis pemisah" di puncak Gunung Everest (melintasi perbatasan Cina-Nepal), untuk menghindari kemungkinan penularan infeksi corona oleh pendaki dari Nepal. Sebelumnya, belasan orang dari base camp Everest dilaporkan jatuh sakit dalam beberapa pekan terakhir.

Tidak terkecuali Amerika Serikat

Amerika Serikat (AS) tetap menjadi negara yang terdampak paling parah, dengan kasus kematian dan infeksi tertinggi di dunia. Jumlah kematian akibat COVID-19 diprediksi melebihi angka resmi 581.000, lantaran penelitian Universitas Washington yang dirilis pekan lalu memperkirakan kematian mencapai lebih dari 900.000.

Sementara itu, tanpa perlu menunjukkan bukti tempat tinggal, puluhan orang berbaris untuk mendapatkan dosis tunggal Johnson & Johnson di Pantai Miami, Florida.

"Di negara saya, (COVID-19) semakin tidak terkendali dan tidak banyak kemungkinan kita akan mendapatkan suntikan vaksin," kata akuntan Maria Bonilla, yang baru tiba di AS pada Sabtu (08/05) dari Honduras.

Komisaris Kota Miami Beach David Richardson, yang mengawasi fasilitas vaksin, mengatakan kepada AFP bahwa dia memiliki perasaan campur aduk tentang kedatangan turis dan mendesak pemerintah AS untuk segera mengirim dosis ke luar negeri.

"Satu-satunya kekhawatiran saya adalah tampaknya orang yang mampu membeli tiket pesawat bisa datang ke Amerika Serikat dan mendapatkan vaksin sekarang," katanya.

"Bagaimana dengan orang miskin di Amerika Selatan?"

ha/hp (AFP)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait