1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

(Ingkar) Janji Presiden Memperkuat KPK

Jakarta - Emerson Yuntho Autor und Korruptiongegner
Emerson Yuntho
21 September 2019

"Ke depan, KPK perlu diperkuat, anggaran perlu ditambah, perkiraan saya kurang lebih bisa 10 kali”- Pernyataan di atas adalah janji kampanye Joko Widodo saat dirinya maju menjadi calon presiden 2014 silam. Dan kini?

Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden/Muchlis Jr

Sayangnya setelah terpilih menjadi Presiden untuk periode 2014-2019, janji memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang juga tertuang dalam Program Nawacita kemudian diingkari dan berubah arah menjadi pelemahan terhadap lembaga anti rasuah ini. Selama Jokowi menjabat, anggaran KPK juga tidak mengalami kenaikan 2 bahkan 10 kali seperti yang dijanjikan. 

Ingkar janji untuk penguatan KPK justru terjadi menjelang periode pemerintahan Jokowi berakhir. Hal ini jelas terlihat dari mulusnya proses revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan lolosnya figur yang dinilai bermasalah menjadi Ketua KPK. Padahal jika saja presiden taat janji untuk memperkuat KPK maka rencana Revisi UU KPK bisa saja ditolak dan figur calon pimpinan KPK yang bermasalah kemudian dibatalkan.

Proses pelemahan KPK dimulai dari sikap presiden atas usulan revisi UU KPK dari DPR. Meski dinilai cacat secara prosedural dan mendapatkan penolakan dari akademisi, publik dan KPK, namun sepuluh partai politik sepakat untuk menyelesaikannya sebelum periode DPR berakhir.

Bukannya menolak, Presiden Jokowi justru ikut mendukung dengan mengeluarkan surat presiden dan mengirimkan wakil pemerintah untuk ikut pembahasan bersama DPR. Persengkongkolan DPR dan Pemerintah kemudian menjadikan proses pembahasan revisi UU KPK berlangsung cepat, tertutup dan tidak melibatkan publik maupun KPK sebagai pihak yang berkepentingan.

Penulis: Emerson YunthoFoto: Emerson Yuntho

Justru memperlemah posisi KPK

Pemerintah dan DPR berulang kali menyatakan semangat revisi UU adalah memperkuat KPK, tapi faktanya sejumlah ketentuan yang kemudian disepakati oleh DPR dan pemerintah justru memperlemah posisi KPK.

Pelemahan terlihat dari ketentuan yang mengatur penyadapan, penyitaan dan penggeledahan oleh KPK hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Dewan Pengawas. Independensi KPK juga terancam karena keberadaan Dewan Pengawas yang anggotanya dipilih oleh Presiden, kedudukan KPK menjadi lembaga pemerintah pusat dan status pegawai KPK yang beralih menjadi aparatur sipil negara.

Sejalan dengan proses revisi UU KPK, pelemahan terhadap KPK juga dilakukan dalam proses seleksi calon pimpinan KPK periode 2019-2023. Panitia Seleksi yang ditunjuk oleh Presiden Jokowi banyak mendapatkan kecaman karena dinilai tidak transparan dan memaksakan diri meloloskan figur-figur dengan rekam jejak dan integritas yang diragukan untuk mengikuti proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and property test) di DPR.

Kondisi ini diperburuk dengan sikap DPR yang akhirnya memilih secara bulat Irjen Firli Bahuri (Kapolda Sumatera Selatan) dan menetapkannya sebagai Ketua KPK jilid ke-5. Padahal Firli saat menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK telah dinyatakan melakukan pelanggaran etik berat karena bertemu dengan pihak yang kasusnya sedang ditangani oleh KPK.

Selain Firli, empat pimpinan lain yang terpilih adalah Lili Pintauli (mantan Komisioner Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), Nawawi Pomolango (Hakim), Nurul Ghufron (Akademisi) dan Alexander Marwata (Komisioner KPK). Kelima pimpinan KPK pilihan DPR tersebut memiliki kesamaan dalam hal setuju revisi UU KPK dan menjadikan aspek pencegahan sebagai fokus KPK selama empat tahun mendatang.  

Balas dendam?

Banyak pihak menduga upaya pelemahan terhadap KPK - melalui revisi UU KPK dan pemilihan pimpinan KPK – merupakan upaya balas dendam dari partai politik dan pihak eksekutif atas tindakan represif yang selama ini dilakukan oleh KPK.  Langkah pelemahan ini juga ditenggarai sebagai upaya menyelamatkan sejumlah pihak yang saat ini kasusnya masih berjalan dan sekaligus "mengendalikan” KPK agar tidak menggangu investasi dan pemerintahan Jokowi pada periode kedua.

Sejak efektif bekerja 2003 lalu kinerja KPKmemberantas korupsi khususnya kewenangan melakukan penindakan menjerat banyak aktor-aktor korupsi kakap yang selama ini tidak tersentuh. Masifnya kerja penindakan KPK ini justru tidak disukai elite politik dan juga petinggi dari kalangan eksekutif. Hingga Juni 2019 KPK telah menangani 1.064 kasus korupsi yang melibatkan sejumlah pelaku dari berbagai macam latar belakang. Sebanyak 123 operasi tangkap tangan telah dilakukan dan berhasil menjerat 432 orang pelaku.

Mereka yang pernah menjadi tersangka korupsi oleh KPK antara lain 255 anggota DPR/DPRD, 30 orang kepala daerah, 6 pimpinan partai politik dan 27 kepala dan petinggi lembaga maupun kementerian. Terakhir dua menteri aktif di era Jokowi juga dijadikan tersangka oleh KPK yaitu Menteri Sosial Idrus Marham dan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi.   

Ingkar janji Presiden Jokowi untuk memperkuat KPK nantinyatidak saja berdampak pada merosotnya kepercayaanpublik terhadap pemerintahan Jokowi periode kedua namun juga membuat upaya pemberantasan korupsi akan berjalan ditempat bahkan bukan tidak mungkin berada pada titik nadir. Presiden Jokowi juga akan tercatat dalam sejarah negeri ini sebagai Presiden yang melemahkan KPK.

Jangan pernah berharap banyak, KPK periode mendatang akan menjerat aktor-aktor korupsi kelas kakap jika lembaganya sudah tidak independen dan KPK telah berganti nama menjadi "Komisi Pencegahan Korupsi”.

 

@emerson_yuntho

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 2001. Bergabung dengan Indonesia Corruption Watch (ICW) sejak tahun 2002 dan saat ini menjabat sebagai Kordinator Divisi Penggalangan Dana Publik ICW. Memiliki ketertarikan untuk isu hukum dan peradilan serta pemberantasan korupsi.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Silakan tulis komentar Anda di kolom di bawah ini