1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

5 Tagar Memperjuangkan Kesetaraan

Bettina Baumann
17 Oktober 2019

Dua tahun lalu, tanda pagar #MeToo di media sosial menimbulkan gerakan melawan pelecehan seksual di seluruh dunia. Sejak saat itu para wanita menggunakan tagar yang kreatif dalam memperjuangkan kesetaraan gender.

USA New York | #MeToo Rally vor dem Trump International Hotel am Columbus Circle
Foto: picture-alliance/Pacific Press/E. McGregor

1. #MeToo — tuduhan kepada Hollywood

Pada 5 Oktober 2017, produser film Harvey Weinstein dituduh melakukan pelecehan seksual dalam sebuah artikel di New York Times. Sepuluh hari setelahnya, aktris Alyssa Milano mendesak kaum wanita untuk menulis "me too" sebagai jawaban atas posting-annya di Twitter jika mereka juga mengalami pelecehan seksual. Berawal dari sini lah gerakan #MeToo dimulai.

2. #Aufschrei — diskusi seksisme Jerman

Jerman menjadi negara yang berada di tengah-tengah perdebatan sengit tentang seksisme pada awal 2013, saat seorang jurnalis menulis tentang kisah pertemuannya dengan politisi Jerman yang menatap ke arah payudaranya dan mengatakan kepadanya bahwa ia dapat dengan mudahnya mengenakan baju khas wanita Jerman 'Dirndl', yang biasanya memiliki bagian depan yang agak terbuka. Atas kejadian itu, seorang feminis Jerman segera memulai tagar #Aufschrei (protes), tidak lama berselang puluhan ribu wanita merespon dan berbagi pengalaman mereka terkait seksisme sehari-hari. Masalah ini kemudian tersebar ke media dan politik, untuk pertama kalinya tagar yang menjadi trending topic di media sosial memiliki pengaruh besar di Jerman.

3. #AintNoCinderella — pemberontak pertama India

Pada Agustus 2018, seorang wanita muda India menceritakan pengalamannya di laman Facebook tentang dua orang laki-laki yang mengejarnya di malam hari saat ia sedang jalan pulang dan membagikan rasa takutnya akan menjadi korban penculikan. Kasus ini kemudian memicu kemarahan publik dan menjadi topik pembicaraan masyarakat. Bukannya mengkritik para pria, seorang politisi dari partai penguasa BJP yang konservatif justru mempertanyakan perilaku wanita mengapa berada di luar rumah pada malam hari. Komentar tersebut membuat marah seluruh warga India. Melalui tagar #AintNoCinderella di Twitter, para wanita mem-posting foto yang memperlihatkan mereka berada di luar rumah setelah tengah malam sebagai bentuk gerakan melawan struktur patriarki.

4. #NiUnaMenos & #NiUnaMas — melawan femisida di Amerika Latin

Di bawah motto "Ni una menos" (tidak kurang dari satu wanita), ribuan wanita turun ke jalan di Argentina pada Juni 2015 untuk memprotes aksi pembunuhan wanita dan menentang budaya macho. Di sejumlah negara di Amerika Selatan, kasus pembunuhan terhadap wanita marak terjadi. Setiap 30 jam, seorang wanita terbunuh, bisa oleh pasangan, mantan atau kerabat dekat.

Hari ini "Ni una menos" merupakan gerakan besar yang telah menyebar ke negara Amerika Latin lainnya dan secara teratur menggelar aksi demonstrasi yang diikuti ratusan ribu pengunjuk rasa. Para wanita juga melampiaskan kemarahan mereka melalui tagar #NiUnaMenos dan #NiUnaMas yang mendorong gelombang protes menyebar dengan cepat.

5. #MyStealthyFreedom and #WhiteWednesday — wanita Iran protes aturan wajib berpakaian

Bermula pada Mei 2014, seorang jurnalis Iran yang diasingkan, Masih Alinejad mem-posting foto di Facebook yang menunjukkan ia tampil jogging tanpa jilbab. Posting-an ini lantas mendapatkan banyak tanggapan dari sejumlah pengguna Facebook. Reaksi luar biasa ini membuat Alinejad mem-posting lebih banyak foto yang ia sebut dengan "My Stealthy Freedom" atau kebebasan yang tersembunyi. Kampanye ini meraih lebih dari satu juta subscribers.

Foto: Facebook/My Stealthy Freedom

Melalui tagar #MyStealthyFreedom, Alinejad memplubikasikan berbagai foto dan video wanita pemberani Iran yang menolak berpakaian ketat. Sejak usia 9 tahun, gadis-gadis di Iran diwajibkan mengenakan jilbab. Mereka yang tidak menaati aturan ini beresiko mendapat hukuman penjara. (ha/vlz)

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait