1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Inilah Kisah WNI yang Pernah Tinggal di Shelter di Israel

16 Oktober 2023

Mahasiswi Indonesia ini menempati ruang perlindungan ancaman perang di Israel. Dia bertanggung jawab menampung orang-orang lain yang tinggal selantai dengannya, Bagaimana situasinya saat Hamas menyerang Israel?

Jendela shelter atau ruang perlindungan.
Jendela shelter atau ruang perlindungan.Foto: Ayu Purwaningsih/DW

Tak terbayangkan tingginya eskalasi seperti sekarang ini, ketika Sandra (Nama disamarkan atas permohonan narasumber) menandatangani kontrak kamar yang ia sewa, saat menjadi mahasiswi di sebuah kota di Israel. Jika memilih menyewa kamar di "shelter" atau ruang perlindungan dari ancaman perang, maka penyewa harus menandatangani protokol keamanan yang telah ditetapkan. ia pun demikian.

Sandra menjelaskan bahwa di Israel, sesuai protokol keamanan, shelter dan bunker bawah tanah memiliki fungsi yang sama tingkat keamanannya. Yang disarankan oleh aparat keamanan pada warga jika terjadi ancaman adalah mencari tempat perlindungan yang terdekat.  Mereka bisa memilih shelter jika memang lokasinya lebih dekat ketimbang harus ke ruang bawah tanah yang lebih jauh. 

Sebagai penanggung jawab shelter, Sandra harus menyediakan stok makanan agar jika situasi masih kacau, mereka yang lari ke shelter dapat bertahan di dalamnya.

"Ruang shelter saya itu seperti kamar biasa, dan kebetulan kamar saya sebenarnya salah satu dari ruangan shelter tersebut. Meski ada bunker, orang-orang berlarian ke kamar saya. Kalau kita tinggal di shelter, kita harus tanggung jawab buat menutup jendela karena jendela untuk shelter itu ada bagiannya luarnya yang khusus dari besi. Jadi harus ditarik karena itu anti rudal. Kaca jendelanya juga khusus dan harus ditutup. Pintu yang di sebelah sini itu, pintunya sangat berat, seperti pintu "freezer”. Jadi misalkan orang-orang sudah masuk kamar saya, saya harus menutupnya. Di sini dibilangnya shelter dan bunker sama saja tingkat keamanannya. Jadi menurut protokol, cari yang paling dekat saja,” paparnya.  

Akhir pekan lalu setelah melewati masa yang menegangkan di mana konflik Hamas-Israel berkecamuk, Sandra dan beberapa warga Indonesia lainnya sudah diterbangkan kembali ke tanah air, dengan bermalam sebelumnnya di Amman, Yordania. Namun Sandra sempat menceritakan masa-masa menegangkan sebelum kepulangannya ke Ibu Pertiwi. Ia bercerita sebeneranya tidak terlalu takut dengan situasi di kota tempat  ia bermukim di Israel,  "Tapi kesehatan mental, saya terganggu. Karena saya yang harus tutup jendela dan lain-lain, tidur saya tidak bisa nyenyak,” tuturnya lirih.

Sandra mengaku perasaannya campur aduk.  Sebelumnya ia pernah merasakan serangan yang berlangsung selama satu hari, namun skala serangannya tidak seperti yang terjadi saat ini. Biasanya, jika akan terjadi serangan, warga diberi pengumuman, misalnya melalui e-mail bahwa akan ada serangan di hari tersebut dan disarankan untuk pergi bersembunyi ke dalam bunker. Namun, serangan yang terjadi Sabtu (07/10) lalu, sungguh membuatnya dan orang-orang di Israel terkejut.  

Sandra bercerita di hari Sabtu (07/10) sekitar pukul 06.30 pagi, mereka semua terbangun karena bunyi sirene, agar warga pergi ke bunker. Ini termasuk sebuah protokol keamanan, jika mendengar sirene, warga harus segera masuk ke dalam bunker atau shelter dalam durasi waktu 15 detik.

"Sekitar tiga jam suara sirene telah berhenti. Setelah itu, kami baru saja mendapatkan e-mail pengumuman dari kampus yang menjelaskan bahwa akan ada perang. Namun, hal itu semua tidak ada pengumuman antisipasi sama sekali dari pihak Israel sebelumnya. Tentu saja membuat kami sangat terkejut," tandasnya.

Karena Israel merupakan wilayah konflik, di setiap gedung biasanya terdapat bunker di bawah tanah. Terkadang di setiap lantai gedung, biasanya terdapat ruangan khusus yang dijadikan sebagai "shelter" sebagaimana kamar yang ditempati Sandra.

Sandra bercerita saking kecilnya Israel, banyak di antara mereka saling mengenal satu sama lain. "Mereka mengatakan bahwa serangan yang saat ini terjadi cukup berat dibanding yang sebelumnya," ujar Sandra. "Saya tidak takut, namun terkadang saya terbawa suasana orang-orang di sekitar, terutama teman-teman saya asal Israel. Mereka terlihat sangat menderita sekali dengan adanya situasi saat ini karena jika kita membuka laman berita, orang-orang yang berada di daerah konflik sangat mengenaskan. Kesehatan mental,saya terganggu dengan adanya situasi saat ini. Dan terkadang di malam hari saya menjadi susah untuk tidur karena banyak serangan yang terjadi di malam hari."

Kini Sandra telah kembali berkumpul dengan keluarganya di Indonesia dan belum menyiapkan rencana selanjutnya.  Ia hanya berharap agar  konflik segera berakhir dan tercapai perdamaian,

Di Gaza, warga Indonesia panjatkan harapan serupa

Harapan serupa disuarakan warga Indonesia di Gaza,  Abdillah Onim. Aktivis kemanusiaan dari Nusantara Palestina Center itu juga berharap perdamaian akan segera terwujud. Pria asal Hallmahera yang menikahi perempuan Palestina ini sudah menetap lebih dari 12 tahun di kawasan konflik Gaza.

Bagi Onim, selama ia tinggal di Gaza, ini adalah peperangan yang paling besar, "Yang kekuatannya paling luar biasa ya, itu baru kali ini. Kebetulan saya di Gaza itu sudah lebih dari 12 tahun dan sampai dengan saat ini situasinya belum kondusif alias masih saling tembak rudal roket antara Gaza dengan pihak Israel," ujar ayah tiga anak ini.

Mengingat bahaya situasi saat ini, Onim dan keluarganya berniat untuk mengungsi. "Kemungkinan besar saya akan membawa anak istri untuk keluar dari Gaza dan menuju Mesir. Untuk sementara, dalam waktu dekat akan menuju Mesir. Itu sudah saya koordinasikan dengan teman-teman Kedutaan Indonesia di Kairo dan Kedutaan Indonesia di Amman, Yordania," tuturnya sedih.

Namun untuk keluar dari wilayah konflik, masih banyak kendala. "Sampai dengan saat ini situasi belum kondusif, dengan demikian saya dan anak istri tidak bisa keluar rumah untuk naik kendaraan, karena risikonya sangat tinggi. Nah, kenapa tidak mau naik kendaraan, itu kendaraan yang ada di sana itu mereka dijadikan korban rudal juga. Jadi semua kendaraan mayoritasnya itu kalau melintasi jalan itu dijadikan sasaran tembak dan itu yang membuat saya belum bisa untuk pergi ke perbatasan antara Gaza dan juga Israel," ujarnya.

Bukan hanya karena memikirkan keselamatan keluarga, ia juga mengaku tidak bisa berbuat banyak sebagaimana biasanya di tengah kecamuk perang kali ini. "Karena saya sendiri tidak bisa beraktivitas di lapangan. Yang biasanya harus distribusi bantuan sekarang tidak bisa karena rudal di sana-sini," paparnya. 

Taman Kanak-kanak Yatim Nurani Indonesia, salah satu program dari lembaga yang ia bentuk Nusantara Palestina Center, kini ikut lumpuh. "Memang sejak awal terjadi peperangan, semua aktivitas sekolah termasuk TK Nurani Indonesia pun ditiadakan, karena berkaitan dengan keselamatan dari anak-anak dan juga siswa-siswi di sekolah di TK Yatim," ujarnya.

TK Yatim Nurani adalah sekolah gratis bantuan dari Indonesia untuk anak-anak di Palestina. Istrinya yang merupakan warga Palestina  mengelola TK tersebut dari tahun 2016. Sekolah tersebut menampung anak-anak yatim dan juga kaum dhuafa di Gaza.

Sejak perang berkecamuk, pasar ditutup, perkantoran diliburkan, para petani dan nelayan pun tidak bisa beraktivitas. Menurut Onim, rata-rata mereka hanya punya pasokan makanan yang mungkin cukup untuk dua hari.

Onim mengisahkan, warga Gaza menanti uluran tangan dari lembaga internasional. "Jadi memang pada saat terjadi peperangan itu ya mereka sudah terbiasa dalam hal perut kosong atau lapar. Dan ini karena memang situasi seperti ini ya mereka sudah terbiasa dari generasi ke generasi. Akan tetapi memang biasanya peperangan berlangsung selama empat, lima hari, satu pekan itu bantuan dari negara lain termasuk Indonesia itu akan kembali mereka terima," ujar Onim.

Saat ini, warga Gaza sangat memerlukan bantuan berupa gandum dan air bersih. Onim menuturkan, Gaza sedang dilanda krisis air minum, obat-obatan, dan juga bahan bakar.