Alexandre Bissonnette membantai enam orang jemaah mesjid di Quebec, Kanada. Pengamat keamanan meyakini ia digerakkan oleh kebencian terhadap Islam.
Iklan
Hingga dua hari lalu, publik mengenal Alexandre Bissonnette sebagai seorang mahasiswa dan provokator di internet. Oleh kalangan aktivis Kanada, pemuda berusia 27 tahun itu disebut sering membubuhkan komentar buat mendukung kelompok ekstremis kanan dan nasionalistik. Terinspirasi oleh tokoh nasionalis Perancis, Marine Le Pen, ia juga kerap melayangkan komentar nyinyir terhadap pengungsi.
Kini Bissonnette didakwa dengan pasal pembunuhan setelah membantai enam orang dan melukai 19 lainnya di sebuah mesijd di kota Quebec, Kanada, Minggu (29/1).
François Deschamps, ketua organisasi lokal yang bekerja untuk pengungsi dan memonitor kaum ekstremis di Quebec, mengatakan Bissonnette sering menyerang laman mereka di Facebook. "Ia kerap menulis komentar ekstrim di media sosial yang merendahkan pengungsi dan feminis," katanya kepada harian The Globe and Mail. "Tingkahnya itu bukan kebencian, melainkan bagian dari identitas baru kaum neo nasionalis yang cendrung intoleran."
Inilah Wajah Islamofobia Barat
Mereka menunggangi dan bahkan ikut menggulirkan gelombang Islamofobia demi keuntungan politik. Celakanya, isu yang sama bisa menghantarkan mereka ke pucuk kekuasaan.
Foto: picture-alliance/Ralph Goldmann
Donald Trump
Boleh jadi tidak membenci Islam, tapi ia menunggangi gelombang Islamofobia pasca serangan teror di Paris dan penembakan massal di San Bernardino untuk mendongkrak dukungan politik jelang pemilu kepresidenan. Donald Trump juga pernah mengumbar bakal melarang umat Muslim memasuki Amerika Serikat, atas alasan keamanan.
Foto: Reuters/L. Nicholson
Marine Le Pen
Eropa sedang dihantui Le Pen dan kemenangan partainya Front National. Anggota parlemen Eropa ini gemar mengumbar isu anti Eropa dan imigran buat menjaring dukungan. 2010 silam Le Pen mencibir kaum Muslim yang melaksanakan ibadah sholat di jalan lantaran mesjid penuh. Menurutnya hal tersebut adalah sebuah pendudukan, serupa dengan pendudukan NAZI Jerman di era Perang Dunia II.
Foto: Reuters/P. Rossignol
Lutz Bachmann
Pendiri gerakan anti Islam Jerman, Pegida, ini tidak menyembunyikan kekagumannya pada sosok Adolf Hitler. Ia pernah memuat fotonya berseragam NAZI dengan model rambut dan kumis ala sang diktatur. Bachmann gemar menyulut sikap antipati pada Islam lewat media sosial. Terakhir ia menyerang sebuah peternakan karena menyediakan daging halal. "Kita di sini tidak ingin berurusan dengan Islam," tulisnya.
Foto: Reuters/F. Bensch
Geert Wilders
"Tidak ada yang namanya Islam moderat," tutur Geert Wilders. Sosoknya tidak asing lagi buat kaum Muslim. Pendiri Partai Kebebasan ini pernah mendesak agar Belanda melarang Al-Quran, serupa seperti buku Mein Kampf karangan Adolf Hitler. "Akar masalahnya adalah sifat Islam yang fasis, ideologi sakit tentang Allah dan Muhammad seperti yang terulis dalam Mein Kampf Islam: Al-Quran," tulis Wilders.
Foto: Reuters
Dansk Folkeparti
Tahun ini Partai Rakyat Denmark menjelma menjadi kekuatan politik terbesar kedua. Salah satu bintangnya adalah Morten Messerschmidt (gambar), yang gemar menyebut minoritas Muslim Eropa sebagai beban. Dari sederet program yang dijajakan Dansk Folkeparti, sebagian besarnya membidik Islam, antara lain menghentikan migrasi Muslim dan menyamakan Islam dan terorisme berkedok agama
Foto: picture-alliance/dpa
UKIP
Serupa seperti Dansk Folkeparti di Denmark dan Perussuomalaiset di Finnlandia, UK Independence Party alias UKIP mengakomodasi suara ekstrim kanan yang kerap membidik Islam. Salah seorang fungsionaris UKIP, John Kearney, misalnya pernah menyerukan kepada kaum Katholik agar "bersedia mati," demi menangkal dominasi Islam di dunia.
Foto: Reuters/S. Plunkett
6 foto1 | 6
Tersangka tercatat sebagai mahasiswa Universitas Laval untuk jurusan Antropologi dan Ilmu Politik. Ia antara lain mendukung gerakan supremasi kulit putih, "Génération Nationale," yang antara lain menolak "multikulturalisme."
Bissonnette ditangkap di dalam mobilnya setelah menelpon polisi dan mengatakan dirinya ingin bersikap kooperatif. Kepolisian sebelumnya sempat mengumumkan sedang mencari dua tersangka. Salah seorang tersangka ternyata merupakan saksi mata dan telah dibebaskan pada Senin (30/1) pagi.
Hingga kini kepolisian belum membeberkan motif pelaku. Sementara di Washington, pakar keamanan Amerika serikat cenderung menduga pelaku digerakkan oleh kebencian terhadap kaum muslim, kata seorang pejabat pemerintah kepada kantor berita Reuters.
Penjara Kaum Sipit di Negeri Kulit Putih
Penasehat Donald Trump menyebut kamp pengasingan Jepang selama Perang Dunia II sebagai model untuk menampung imigran Muslim di Amerika. Seperti apa bentuk kamp yang dibangun atas dasar histeria perang bermotif rasis itu?
Foto: STF/AFP/Getty Images
Relokasi Paksa
Setelah serangan Jepang ke Pearl Harbor, pemerintah AS yang dipimpin Franklin D. Roosevelt tahun 1942 memerintahkan relokasi paksa 120.000 warga negara AS berdarah Jepang ke kamp-kamp pengasingan yang dijaga ketat. Mereka, tanpa terkecuali, dikategorikan sebagai enemy alien alias musuh asing.
Foto: Public Domain
Rasisme Terbuka
Gagasan dasar kamp pengasingan buat warga keturunan Jepang adalah untuk mencegah aksi spionase atau sabotase selama masa perang. Kecurigaan yang berdasarkan pola pikir rasialis dan dipicu oleh politisi dan militer itu ikut menyebar di kalangan penduduk.
Foto: Public Domain
Kerugian Materiil
Relokasi paksa cuma mengizinkan warga keturunan Jepang membawa barang-barang seadanya. Sebagian besar penduduk yang diasingkan akhirnya kehilangan harta benda atau dipecat dari pekerjaan hanya karena latarbelakang etnis. Petani yang menggarap lahan sewaan juga kehilangan hak sewanya seketika.
Foto: Public Domain
Penghilangan Etnis
Anehnya kelompok yang terkena kebijakan tersebut cuma warga keturunan Jepang. Sementara untuk warga negara AS berlatar belakang Eropa seperti Jerman atau Italia tidak mengalami relokasi atau hanya dalam skala kecil. Sekitar 300.000 warga negara Jerman yang saat itu tinggal di Amerika misalnya cuma harus melaporkan diri secara berkala.
Foto: Public Domain
Minim Fasilitas
Bahwa keputusan tersebut diambil secara mendadak, terlihat dari ketidaksiapan pemerintah AS membangun fasilitas perumahan untuk mereka yang diasingkan. Sebagian bahkan dibiarkan tinggal di barak kayu tanpa dapur atau saluran pembuangan. Di banyak kamp, barak yang sedianya dibangun untuk empat orang disesaki hingga 25 orang.
Foto: Public Domain
Kondisi Muram
Pada 1943 Menteri Dalam Negeri AS Harold Ickles mengeluhkan kondisi di kamp yang dinilainya "buruk dan semakin parah." Pasalnya kualitas sebuah kamp bergantung pada pemerintahan negara bagian yang memfasilitasi pengasingan warga keturunan Jepang.
Foto: Public Domain
Doktrin dan Propaganda
Untuk sekitar 30.000 bocah yang ikut direlokasi paksa bersama keluarganya, kamp pengasingan serupa seperti pusat re edukasi. Mereka tidak hanya dilarang berbicara bahasa Jepang, tetapi juga dicekoki materi pelajaran berbau propaganda untuk membangun jiwa patriotisme. Minimnya tenaga pengajar dan buku pelajaran juga memperburuk kualitas pendidikan di kamp-kamp tersebut.
Foto: Public Domain
Melanggar Konstitusi
Pada Desember 1944, Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan penahanan warga negara tanpa alasan jelas melanggar konstitusi. Keputusan tersebut mengakhiri praktik relokasi paksa terhadap warga keturunan Jepang. Tapi butuh waktu lebih dari satu tahun untuk membubarkan kamp-kamp pengasingan.
Foto: Public Domain
Aroma Permusuhan
Sebagian besar bekas tahanan diberikan uang sebesar 25 Dollar AS untuk melanjutkan hidup setelah masa pengasingan. Namun sejumlah lain diusir paksa kembali ke Jepang tanpa uang ganti rugi. Penduduk yang kembali ke kota asalnya juga dilaporkan mengalami presekusi dan teror, antara lain penembakan dan ledakan bom di rumah tinggal.
Foto: Public Domain
Setengah Abad Menunggu Maaf
Menyusul tekanan dari aktivis sipil, pemerintah Amerika Serikat 1980 akhirnya sepakat memberikan uang ganti rugi sebesar 20.000 Dollar AS terhadap setiap warga yang diasingkan. Namun baru 11 tahun kemudian korban relokasi mendapat permintaan maaf resmi dari Gedung Putih, yakni oleh Presiden George Bush Sr. (rzn/ap)