Kunjungan Presiden AS Barack Obama ke Cina diawali dengan insiden di bandara. Media barat menilai Beijing sengaja mengacaukan upacara penyambutan presiden lantaran kritik Obama ihwal Laut Cina Selatan.
Iklan
Belum apa-apa kunjungan Presiden AS Barack Obama di Cina jelang pertemuan puncak G20 sudah mengundang kontroversi. Perkara berawal dari upacara penyambutan orang nomer satu di Washington itu yang dilangsungkan tanpa karpet merah dan tangga pesawat, sehingga Obama harus turun dari pintu belakang, jauh dari jangkauan juru kamera.
Jurnalis New York Times, Mark Lander, yang berada di lokasi mengaku "belum pernah mengalami kekacauan protokol seperti ini," selama enam tahun meliput di Gedung Putih. Dugaan kesengajaan menguat terutama karena sebelumnya upacara penyambutan Presiden Brazil, Michel Temer, berlangsung meriah.
Tanpa insiden itu pun kunjungan Obama ke Cina sudah bertabur ranjau diplomatik. Terutama isu Laut Cina Selatan dan Timur membebani hubungan kedua negara. Sebelum lawatannya ke Cina, Obama telah lebih dulu mewanti-wanti Beijing agar menahan diri atau menerima "konsekuensi."
Kementerian Luar Negeri di Beijing menilai ucapan Obama sebagai "pandangan yang tidak bertanggungjawab. Saat bertemu empat mata di Hangzhou, Presiden Xi Jinping kembali menegaskan pihaknya akan melindungi kedaulatan teritorial dan kepentingan maritim Cina. Amerika, katanya, harus menghormati sikap tersebut.
Tidak heran jika insiden di bandar udara Hangzhou dianggap bernilai simbolis. Shen Dingli, pakar hubungan internasional di Universitas Fudan, Shanghai, mengatakan kritik Obama atas kebijakan Cina di Laut Cina Selatan menyulut insiden semacam itu. "Amerika seharusnya tahu apa yang telah mereka lakukan untuk membuat Cina kecewa," ujarnya kepada mingguan Straits Times, Singapura.
Obama sendiri memilih meredam kontroversi. "Kami membawa banyak pesawat, helikopter, kendaraan bermotor dan staf. Kadang-kadang negara tuan rumah bisa merasa kewalahan," ujarnya.
Tabloid pemerintah Cina, The Global Times, mengutarakan hal serupa. "Media barat berupaya membesar-besarkan insiden tersebut," tulis harian tersebut dalam kolom tajuknya. "Ini menunjukkan bahwa ketegangan antara Cina dan AS juga merupakan tanggungjawab media yang gemar membesar-besarkan isu tak penting."
Opini tersebut bisa jadi benar. Karena pada Sabtu (3/9) Presiden Obama dan Xi Jinping yang mewakili dua produsen gas rumah kaca terbesar di dunia sepakat menandatangani perjanjian iklim Paris.
Saling Tikam Berebut Laut Cina Selatan
Konflik Laut Cina Selatan menjadi ujian terbesar Cina buat menjadi negara adidaya. Meski bersifat regional, konflik itu mendunia dan mengundang campur tangan pemain besar, termasuk Amerika Serikat dan Indonesia.
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
Bersekutu dengan Rusia
Cina sendirian dalam konflik seputar Kepulauan Spratly dan Paracel di Laut Cina Selatan. Kecuali Rusia yang rutin menggelar latihan militer bersama (Gambar), negeri tirai bambu itu tidak banyak mendulang dukungan atas klaim teritorialnya. Terutama karena klaim Beijing bertentangan dengan hukum laut internasional.
Foto: picture-alliance/AP Images/Color China Photo/Z. Lei
David Versus Goliath
Secara umum Cina berhadapan dengan enam negara dalam konflik di Laut Cina Selatan, Taiwan, Vietnam, Malaysia, Brunai dan Filipina yang didukung Amerika Serikat. Dengan lihai Beijing menjauhkan aktor besar lain dari konflik, semisal India atau Indonesia. Laut Cina Selatan tergolong strategis karena merupakan salah satu jalur dagang paling gemuk di dunia dan ditengarai kaya akan sumber daya alam.
Foto: DW
Diplomasi Beton
Ketika jalur diplomasi buntu, satu-satunya cara untuk mengokohkan klaim wilayah adalah dengan membangun sesuatu. Cara yang sama ditempuh Malaysia dalam konflik pulau Sipadan dan Ligitan dengan Indonesia. Berbeda dengan Malaysia, Cina lebih banyak memperkuat infrastruktur militer di pulau-pulau yang diklaimnya.
Foto: CSIS, IHS Jane's
Reaksi Filipina
Langkah serupa diterapkan Filipina. Negara kepulauan itu belakangan mulai rajin membangun di pulau-pulau yang diklaimnya, antara lain San Cay Reef (gambar). Beberapa pulau digunakan Manila untuk menempatkan kekuatan militer, kendati tidak semewah Cina yang sudah membangun bandar udara di kepulauan Spratly.
Foto: CSIS Asia Maritime Transparency Initiative/DigitalGlobe
Di Bawah Naungan Paman Sam
Filipina boleh jadi adalah kekuatan militer terbesar selain Cina dalam konflik di perairan tersebut. Jika Beijing menggandeng Rusia, Filipina sejak dulu erat bertalian dengan Amerika Serikat. Secara rutin kedua negara menggelar latihan militer bersama. Terakhir kedua negara melakukan manuver terbesar dengan melibatkan lebih dari 1000 serdadu AS.
Foto: Reuters/E. De Castro
Indonesia Memantau
Indonesia pada dasarnya menolak klaim Cina, karena ikut melibas wilayah laut di sekitar kepulauan Natuna. Kendati tidak terlibat, TNI diperintahkan untuk sigap menghadapi konflik yang diyakini akan menjadi sumber malapetaka terbesar di Asia itu. Tahun lalu TNI mengerahkan semua kekuatan tempur milik Armada Barat untuk melakukan manuver perang di sekitar Natuna.
Foto: AFP/Getty Images/J. Kriswanto
Bersiap Menghadapi Perang
TNI juga membentuk Komando Operasi Khusus Gabungan untuk menangkal ancaman dari utara. Komando tersebut melibatkan lusinan kapal perang, tank tempur amfibi dan pesawat tempur jenis Sukhoi.
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
Indonesia Tolak Klaim Cina
Cina berupaya menjauhkan Indonesia dari konflik dengan mengakui kedaulatan RI di kepualuan Natuna dan meminta kesediaan Jakarta sebagai mediator. Walaupun begitu kapal perang Cina berulangkali dideteksi memasuki wilayah perairan Natuna tanpa koordinasi. Secara umum sikap kedua negara saling diwarnai kecurigaan, terutama setelah Presiden Jokowi mengatakan klaim Cina tidak memiliki dasar hukum
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
AS Tidak Tinggal Diam
Pertengahan Mei 2015 Kementrian Pertahanan AS mengumumkan pihaknya tengah menguji opsi mengirimkan kapal perang ke Laut Cina Selatan. Beberapa pengamat meyakini, Washington akan menggeser kekuatan lautnya ke Armada ketujuh di Pasifik demi menangkal ancaman dari Cina.