1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Instagram dan Realita di Balik Dunia "Sempurna"

Elisa Miebach
9 Agustus 2019

Sekilas terlihat sempurna, namun di balik itu Instagram juga bisa memiliki dampak negatif bagi kesehatan mental kita. Lantas siapa yang bertanggung jawab?

USA Installation "Dream Machine" in New York
Foto: picture-alliance/dpa/J. Schmitt-Tegge

Seorang influencer asal Berlin, Victoria van Violence, memiliki sekitar 200.000 pengikut. Foto-foto yang ia unggah bervariasi, mulai dari foto di pantai, di sebuah festival, atau di rumah bersama anjing peliharaannya.

Meski foto-fotonya yang mendapatkan likes banyak terlihat sempurna, tulisan yang mendampinginya justru menggambarkan sebaliknya. "Setiap orang pernah mengalami masa-masa yang sulit, hanya saja kita tidak membahas hal itu,” tulisnya. "Perasaan negatif, kegagalan, perpisahan, kehilangan pekerjaan atau lain-lain adalah kecacatan yang ada di lingkungan kita. Hal-hal itu tidak cocok dengan image kita, baik di kehidupan nyata ataupun di media sosial. Tetapi semua itu normal.”

Sang influencer mengakui bahwa ia masih menjalani psikoterapi karena depresi yang ia alami beberapa tahun lalu. 

Selain itu banyak perbandingan langsung di Instagram, baik dari sisi follower atau likes. "Orang lain memiliki kerja sama yang lebih hebat, hidup yang lebih mengagumkan, dan susah untuk lepas dari itu," ujar van Violence.

Foto: Kay Ruhe

Sekarang perempuan ini tidak ingin terpaku dengan "dunia sempurna" tersebut. Ia ingin menggunakan akunnya untuk lebih fokus ke tema-tema seperti perlindungan iklim, kebencian di internet dan kesehatan mental. Meski mendapat respon baik dari pengikutnya, Instagram sendiri tetap menjadi dunia yang sempurna.

Bagi influencer atau pengguna biasa, gambar yang sudah lebih dahulu diatur dan melalui pengeditan memang sudah menjadi bagian dari penggunaan media sosial ini.

Pengaruh likes terhadap otak kita

Dar Meshi, seorang ahli syaraf dari Universitas Negeri Michigan melakukan sebuah penelitian di Freie Universität Berlin terhadap pengguna media sosial dengan menggunakan MRT. Alat pengamat otak ini menunjukkan bagian otak yang aktif saat kita menggunggah, memberi like dan mendapatkan like atas foto kita. Saat kita mendapatkan like, bagian ventrial striatum otak kita menjadi aktif. Bagian ini adalah bagian yang juga aktif saat kita makan, minum, melakukan hubungan seks, dihadapkan dengan uang atau mengonsumsi narkoba. 

Bagian otak ini juga aktif saat kita mengklik tombol like pada foto orang lain. Menurut Meshi, hal ini berkaitan dengan status kita dalam sebuah kelompok dan keinginan kita untuk disukai oleh orang lain.

Cenderung membandingkan diri 

Profesor etika media Petra Grimm juga bertanya apakah kecenderungan kita untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain adalah sebuah perilaku alami atau dipengaruhi oleh lingkungan kita. Tidak jarang kita membandingkan diri sendiri dengan orang lain dalam media seperti Instagram.

"Hal tersebut bermasalah jika perbandingan tersebut membuat kita tidak menghargai diri sendiri atau malah menciptakan rasa dominan dibandingkan orang lain,” paparnya.

Menurut Grimm perbandingan tersebut memiliki dampak bagi identitas kaum muda. Jika mereka terlalu terpaku dengan Influencer yang menjadi panutan mereka, akan sulit untuk mengetahui keinginan diri sendiri.

Visi baru dunia media sosial

Lantas siapa yang bertanggung jawab atas kesehatan mentalpengguna media sosial? Perusahaan media sosial sendiri lebih tertarik dengan cara-cara untuk membuat pengguna bertahan lama dalam aplikasi tersebut dan mendapatkan keuntungan. Mereka bereksperimen untuk menemukan cara agar perhatian pengguna tetap tertuju kepada media tersebut.

Menurut Grimm pihak sosial media harus memegang tanggung jawab. Namun kita tidak bisa berharap bahwa mereka akan mengubah cara kerja sistem yang mungkin akan berdampak negatif terhadap bisnis mereka. Oleh karena itu ia memiliki sebuah visi lain, yaitu sebuah sarana baru yang melindungi data dan kebebasan pribadi, serta kesehatan mental.

Bagaimana dengan influencer?

Victoria van Violence mengungkapkan rasa frustrasinya terhadap algoritme Instagram yang sering berubah. Algoritme yang baru menyebakan foto-fotonya tidak muncul di laman pengikutnya.

Ia yakin bahwa perubahan pada platform tersebut akan selalu ada, begitu juga dengan perubahan dalam bidang pekerjaan sebagai influencer. Ia juga menambahkan bahwa hampir tidak ada influencer yang aktif di Facebook sebagaimana di Instagram. 

Jika membahas tentang tanggung jawab, maka baginya Influencer harus jadi pihak yang memegang tanggung jawab. "Orang-orang yang mengunggah konten secara profesional harus lebih transparan,” katanya. Ia juga mengingatkan bahwa tidak semua yang ada di Instagram itu autentik. 

Grimm berharap di masa depan akan ada lebih banyak influencer yang lebih paham dengan penggunaan media sosial dengan baik. 

Menurut data dari situs Statista.com Instagram memiliki lebih dari 1 miliar pengguna Foto: picture-alliance/xim

Pembelajaran sejak dini

Menurut Grimm anak sekolah perlu diajari tentang strategi bisnis perusahaan-perusahaan media sosial. Anak-anak harus memiliki ruang untuk berdiskusi tentang hal tersebut dan memikirkan konsekuensi dari penggunaan media sosial.

Grimm juga berpendapat bahwa setidap individu harus menemukan keseimbangannya sendiri agar tahu apa yang terbaik bagi dirinya.

Van Violence yang secara profesional aktif di Instagram selama dua sampai enam jam per hari, menjauhi platform tersebut jika ia merasa sedang tidak ingin berinteraksi di dunia maya. Ia lebih memilih untuk menghabiskan waktunya bersama teman-teman atau keluarganya. "Saya sadar bahwa apa yang ada di internet tidak nyata. Mungkin hari ini seribu orang mengatakan betapa hebatnya Anda tapi keesokan harinya semua bisa berubah. Jika kita tidak memiliki hubungan yang stabil dalam kehidupan nyata, kita bisa kehilangan semuanya,” tutur van Violence.

Namun Grimm, van Violence ataupun Meshi tidak sepenuhnya menjelekkan media sosial. Media sosial adalah sebuah sarana unik untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Menurut van Violence dengan adanya media sosial kita bisa saling bertukar informasi dan belajar dari satu sama lain.

"Media sosial adalah sebuah wadah yang bisa kita desain sendiri,” tutur van Violence. "Jika orang-orang yang saya ikuti di media sosial tidak memberikan pengaruh baik bagi saya, maka saya tidak perlu mengikuti mereka.”

(Ed: vv/ts)