1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Internet dan Kekerasan Terhadap Perempuan

23 November 2017

Sungguh malang nasib HA. Karena dendam, sang mantan pacar mengunggah sebuah video erotik yang mereka buat ketika masih pacaran. Benarkah pengguna media sosial menikmati “cyber bullying”? Ikuti opini Atnike Sigiro.

Symbolbild Kinderpornografie
Foto: picture-alliance/U. Baumgarten

Bak karnivora yang berbulan-bulan tak menemukan mangsa, pengguna media sosial segera ramai membahas kasus ini. Sebagian membahas, dengan dalih simpati kepada sang perempuan yang menjadi korban, tanpa menyadari mereka turut membantu menyebarkan dokumentasi privat tersebut di ruang publik, baik melalui media sosial maupun group-group Whatsapp.

Sebelumnya, nasib serupa dialami seorang perempuan berinisial F. Hubungan F dengan seorang tokoh agama menjadi bulan-bulanan media online dan pengguna media sosial. Pesan percakapan di telepon genggam mereka entah bagaimana diperoleh polisi dan tersebar di internet.

Penulis: Atnike SigiroFoto: A. Sigiro

Secara kebetulan tokoh agama tersebut selama ini dikenal sebagai polisi moral terhadap skandal seksual selebriti dan juga kerap bersikap keras terhadap media yang menerbitkan konten dewasa. Simpati publik kepada F mungkin lebih sedikit, karena pengguna media sosial yang tidak menyukai sepak terjang tokoh agama tersebut, bersorak menemukan bukti hipokrisi dari sang tokoh. F berfungsi sebagai obyek untuk melampiaskan ketidaksukaan publik kepada tokoh tersebut.

Media online maupun pengguna media sosial nampak menikmati "cyber bullying” dan eksploitasi pemberitaan atas kehidupan privat atau skandal seksual kedua perempuan dan luput melihat kasus mereka sebagai sebuah bentuk kekerasan terhadap perempuan di dunia siber (Cyber Violence Against Women) atau CVAW. 

Menyudutkan korban

Pemberitaan media online atas kasus F dan HA misalnya, lebih mengutamakan cerita-cerita bombastis yang akurasinya seringkali rendah. Para pengguna media sosial pun seringkali larut dalam keriuhan lini massa hingga tak menyadari dampak dari distribusi informasi yang bahkan berkembang dengan munculnya meme-meme yang menyudutkan korban atau perempuan. 

Kekerasan terhadap perempuan di dunia siber (CVAW) bukanlah fenomena baru. Sejak tersedia secara global, internet telah menyediakan dunia tanpa batas bagi industri seks, dimana perempuan menjadi komoditi utamanya. Situs dewasa yang menjajakan seks virtual maupun sebagai display perdagangan perempuan sejak lama telah menjadi problem global dan masuk dalam kategori kejahatan siber yang serius. Selain dalam industri dan perdagangan seks, CVAW juga muncul dalam bentuk lain, seperti: ujaran kebencian (hate speech), peretasan (hacking), pencurian identitas (identity theft), dan penguntitan atau pelecehan (stalking and harrassment).

Dengan semakin tingginya penggunaan media sosial baik untuk komunikasi pribadi maupun ruang bisnis dan propaganda politik, maka CVAW menjadi semakin dalam merambah dan mengancam ruang privat dari individu, termasuk perempuan. Distribusi informasi di dunia siber sangatlah agresif. Sebuah informasi berupa gambar, tulisan, maupun video yang bersifat privat dapat menjadi viral dalam tempo sekejab dan diakses oleh jutaan pengguna internet dan media sosial di seluruh dunia. Tak heran jika berita-berita skandal seks seperti kasus F dan HA dengan cepat menjadi makanan industri media online maupun pengguna media sosial.

Di negara-negara yang telah menyediakan perlindungan hukum terhadap perlindungan ‘privacy' di internet, dan telah menempatkan kekerasan terhadap perempuan sebagai persoalan penting, kasus-kasus CVAW mendapat perhatian yang cukup baik dari aparat hukum, pemerintah, bahkan industri internet. Negara  seperti Afrika Selatan dan Selandia Baru misalnya, telah mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mewajibkan perusahaan penyedia jasa internet untuk menyediakan informasi pelaku kekerasan kepada pengadilan, bahkan menghapus konten kekerasan tersebut dari situs mereka.

Sementara di Indonesia, peraturan perundang-undangan yang ada belum sensitif terhadap kekerasan terhadap perempuan di dunia siber. Misalnya Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE),  justru lebih sering mengancam kebebasan individu dibandingkan melindungi publik dari konten yang mengandung dimensi kekerasan terhadap perempuan. Aspek  perlindungan terhadap korban seperti dalam kasus kekerasan terhadap perempuan yang dialami oleh HA dan F bahkan nyaris tak menjadi pertimbangan dalam penanganan kasus-kasus hukum terkait Undang-undang ITE.

Sering salah arah

Keberadaan UU ITE di Indonesia memperlihatkan bahwa pendekatan hukum dan teknologi untuk mengatasi masalah CVAW belum memadai, bahkan sering salah arah. Meski undang-undang ITE dikenal sebagai undang-undang yang cukup keras, namun media online dan pengguna media sosial nampak tidak segan membagi informasi yang memiliki dimensi kekerasan terhadap perempuan.

Di tataran global berkembang pendekatan ‘digital citizenship'. Konsep ‘digital citizenship' mengajak pengguna internet untuk membangun kesadaran bahwa kejahatan siber sama berbahayanya dengan kejahatan fisik. Dunia siber dipandang sebagai sebuah ekosistem dimana pengguna maupun industri internet memiliki tanggungjawab untuk menciptakan dunia digital bersama.

Kekerasan terhadap perempuan di dunia siber adalah refleksi yang benderang dari kekerasan terhadap perempuan di dalam masyarakat. Di dunia nyata barangkali masyarakat bisa lebih memiliki kepekaan untuk memilah tindakan fisik yang merupakan kekerasan terhadap perempuan seperti memukul, memperkosa, atau melecehkan. Namun kekerasan di dunia siber memerlukan kepekaan dan literasi yang lebih untuk memahami dampak dari distribusi informasi terhadap korban dan terhadap reproduksi budaya patriarki.

Dalam konteks Indonesia, pekerjaan rumah untuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan di dunia siber membutuhkan upaya yang serius dibidang hukum dan budaya. Produk hukum terkait pengaturan tata kelola dan penggunaan internet harus memasukkan dimensi pencegahan kekerasan terhadap perempuan, bukan semata-mata dalam konteks pornografi. Selain itu, media online dan pengguna internet/media sosial perlu membangun suatu budaya "digital citizenship” yang berkeadilan gender.

Penulis: Atnike Nova Sigiro

Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, aktivis Hak Asasi Manusia, juga mengajar di Post Graduate School of Diplomacy - Universitas Paramadina.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.