1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiAsia

Budaya Kekerasan Seksual Mewabah di Industri Sawit Indonesia

20 November 2020

Investigasi Associated Press mengungkap nasib keji buruh perempuan di kebun sawit. Mereka melaporkan kasus pemerkosaan dan penganiayaan fisik yang diabaikan, termasuk di perusahaan bersertifikat hijau RSPO. 

Indonesien Palmöl
Foto: Imago Images/ZumaPress/Z. Maulana

Kedua lengannya diikat menutup mulut, untuk mencegahnya berteriak. Gadis berusia 16 tahun itu lalu diperkosa oleh bosnya di tengah kebun sawit di Indonesia. Kengerian baru berakhir ketika pelaku menghunus sebuah kampak dan mengancam akan menebas leher korban jika melaporkan. 

Di kebun lain, perempuan bernama Ola mengeluhkan demam, batuk dan mimisan. Kondisinya memburuk karena bekerja menyemprotkan pestisida tanpa baju pengaman selama bertahun-tahun. Dengan upah harian yang tak lebih dari Rp. 30.000, dia tidak mampu membiayai pengobatan dokter. 

Kedua kesaksian di atas mewakili nasib buruh perempuan di industri sawit yang menanggung beban ekspansi ekonomi di daerah. Buruknya situasi kerja untuk kaum perempuan di kebun sawit menjadi fokus investigasi komperhensif kantor berita Associated Press (AP) di Malaysia dan Indonesia. 

Mereka menemukan betapa buruh perempuan rentan menjadi korban delik kejahatan seksual, mulai dari pelecehan verbal hingga pemerkosaan. Korban biasanya menutup mulut. Jikapun bersuara, perusahaan cendrung mendiamkan atau mencari “solusi damai” dengan membayar uang ganti rugi. 

Buruh perempuan juga seringkali mendapat beban kerja paling berat di kebun. Mereka kebanyakan dipekerjakan sebagai penyemprot pestisida, atau sebagai buruh angkut. Berbagai masalah kesehatan seperti keracunan atau hernia terpaksa diabaikan lantaran tidakadanya jaminan kesehatan dari perusahaan. 

Kekerasan seksual di industri sawit Indonesia 

Korban yang diwawancara AP merinci serangkaian gangguan kesehatan akibat bekerja di kebun sawit. Keluhan itu berupa rasa pusing untuk waktu lama, mimisan, kesulitan nafas atau pandangan yang kabur. Sejumlah buruh bahkan dikabarkan mengalami kehilangan penglihatan atau keguguran kandungan. 

Dalam kasus pemerkosaan, korban juga dipaksa menikahi pelaku oleh keluarga untuk menangkal aib, terlebih jika korban hamil. “Hampir setiap kebun punya masalah dengan buruh,” kata Hotler Parsaoran, pegiat dari LSM Sawit Watch, yang melakukan investigasi lapangan. “Tapi kondisi yang dihadapi buruh perempuan jauh lebih parah ketimbang laki-laki.” 

Studi teranyar mengungkap perluasan kebun sawit dan peternakan sapi menjadi motor kerusakan hutan di Indonesia dan Brazil.

Untuk laporannya itu, AP mewawancarai belasan korban pelecehan seksual, dan 200 buruh, aktivis, pejabat pemerintah dan pengacara, termasuk yang membantu korban melarikan diri dan mengonfirmasikan budaya kekerasan seksual di industri sawit. 

Pemerintah Malaysia mengaku pihaknya tidak menerima laporan pelecehan seksual di kebun sawit. Tapi di Indonesia, penganiayaan fisik dan seksual terhadap perempuan tumbuh menjadi isu pelik. Kondisi ini dipersulit oleh tindakan balas dendam perusahaan kepada buruh yang bersuara, seperti yang sering terjadi di hampir semua investigasi jurnalistik terhadap industri sawit. 

Perusahaan bandel bersertifikai hijau 

Indonesia adalah produsen sawit terbesar di dunia. Saat ini sebanyak 7,6 juta perempuan bekerja di sektor sawit, mewakili separuh dari jumlah total pekerja, menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan.  

Dalam laporannya AP mencatat karakter demografis buruh perempuan di Indonesia bersifat lintas generasi dan berasal dari keluarga yang sama. Sebagian sudah bekerja sejak kecil dengan orangtuanya, memungut buah sawit yang berjatuhan, atau membersihkan kebun dari ilalang, tanpa pernah belajar membaca atau menulis. 

Ironisnya, praktik kekerasan seksual juga terjadi di kebun-kebun yang menyandang sertifikat sawit berkelanjutan dari RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil).  

Termasuk salah satunya adalah perusahaan bernama London Sumatra, yang akhirnya mengundurkan diri dari RSPO tahun lalu. Dalam beberapa kasus, buruh perempuan mengaku dipaksa bersembunyi di hutan jika mendapat kunjungan dari auditor. 

Adanya perusahaan bandel yang mendapat sertifikat hijau RSPO, dan sebabnya mendapat akses internasional, terbukti ketika AP memeriksa catatan bea cukai dan distributor Amerika Serikat. Kebun-kebun sawit bermasalah ikut menyuplai industri kosmetika internasional, yang bernilai USD 530 miliar per tahun. 

Perusahaan besar seperti L’Oréal, Unilever, Procter & Gamble, Avon and Johnson & Johnson tercatat menggunakan hasil dari kebun, di mana perempuan mengaku mengalami pelecehan seksual, lapor AP. Semua perusahaan mengaku menerapkan standar tinggi dalam mencari penyuplai, antara lain melalui skema RSPO yang seharusnya menjamin produksi sawit berkelanjutan. 

rzn/hp (Associated Press) 

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait