1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Studi COVID-19 di Jerman Menilik Hingga ke 'Pasien Nol'

18 Mei 2020

Pemeriksaan terhadap 16 pasien COVID-19 awal di Jerman menegaskan kembali bahwa virus SARS-CoV-2 seringkali 'bersembunyi'. Peneliti sebut sebagian besar dari mereka tak bergejala atau hanya memiliki gejala ringan.

Penelitian vaksin COVID-19  di perusahaan bioteknologi Jerman CureVac
Penelitian vaksin COVID-19 di perusahaan bioteknologi Jerman CureVacFoto: Reuters/A. Gebert

Jurnal The Lancet Infectious Diseases memperingatkan bahwa upaya global untuk menekan laju penyebaran COVID-19 masih menghadapi "tantangan besar,” merujuk pada studi kasus di Bayern, Jerman, yang mengkonfirmasi bahwa beberapa pasien dinyatakan positif COVID-19 sebelum munculnya gejala atau ketika gejala itu baru muncul.

Penerbit medis yang berbasis di London ini berfokus pada kasus COVID-19 pertama Eropa yang dilaporkan pada Januari lalu. Mereka menjelaskan tentang bagaimana virus SARS-CoV-2 menyebar dari seorang kolega asal Cina yang mengunjungi München, Jerman, sampai ke rekan kerja yang lain di perusahaan Webasto, dan kemudian ke rumah tangga mereka.

Jurnal itu menuliskan, tes dan wawancara yang mayoritas dilakukan oleh ahli epidemiologi dan otoritas kesehatan Jerman dimulai dari "Pasien Nol", yakni warga Cina yang mengunjungi Jerman untuk alasan pekerjaan. Kemudian dilanjutkan dengan 16 kasus berikutnya yang muncul dari empat "generasi" penularan dengan gejala ringan dan tidak spesifik, serta pelacakan terhadap "semua pasien yang telah pulih sepenuhnya" melalui karantina.

Para penulis, termasuk kontributor dari Cina dan Spanyol, menyimpulkan bahwa masa inkubasi virus yang berpotensi mematikan - antara infeksi dan gejala awal - adalah empat hari.

Infeksi yang 'tersembunyi'

Studi ini menyebutkan bahwa penularan virus terhadap satu kasus (mungkin lima lebih) kemungkinan telah terjadi sebelum munculnya gejala. Selain itu, penularan virus dalam empat kasus lain disebut terjadi di hari gejala mulai muncul, dan sisanya setelah gejala semakin terlihat jelas.

Pola penularan yang tersembunyi itu disebut "substansial" dan mengindikasikan kemungkinan munculnya "tes negatif palsu". Selain itu, hal ini juga menunjukkan bahwa sejatinya infeksi virus telah terjadi meski baru bisa dibuktikan setelahnya.

Penelitian di Bayern cocok dengan bukti lain

Para peneliti infektiologi di Klinik Universitas Cologne [Uniklinik Köln] menjelaskan bahwa data dari "Pasien 0" dalam studi The Lancet, cocok dengan hasil lain yang menegaskan bahwa penularan pra-gejala, diperkirakan terjadi hingga setengah dari semua kasus infeksi.

"Ini adalah salah satu kendala paling serius untuk mengendalikan pandemi," kata tim peneliti Universitas Cologne, seraya menambahkan: "teknologi baru seperti aplikasi pelacakan kontak sangat dibutuhkan untuk secara efektif mengendalikan pandemi."

"Semua negara yang telah menerapkan penelusuran kontak ketat adalah yang paling efektif dalam menjaga jumlah infeksi baru tetap kecil," kata Annelies Wilder-Smith dari London School of Hygiene & Tropical Medicine (LSHTM).

Ia merujuk pada negara-negara seperti Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, Thailand, Vietnam dan Singapura, yang ia sebut sebagai "contoh nyata negara-negara yang tidak pelit terhadap sumber daya dan teknologi untuk melakukan penelusuran kontak yang teliti. Semua berhasil."

Orang di daerah miskin lebih rentan terinfeksi

Studi lain yang diterbitkan pada Jumat (15/5) oleh The Lancet, yang dilakukan oleh para peneliti dari University of Oxford, menemukan bahwa orang yang tinggal di daerah paling miskin di Inggris, berpotensi empat kali lebih besar terinfeksi COVID-19 dibanding mereka yang tinggal di lingkungan mewah.

Studi Oxford itu mengamati lebih dari 3.600 hasil tes COVID-19 dari program nasional dan menemukan bahwa faktor usia dan penyakit hati kronis, meningkatkan kemungkinan seseorang terinfeksi positif COVID-19.

Peneliti menemukan bahwa di antara sampelnya, yaitu 660 orang yang tinggal di daerah yang paling miskin, sebanyak 29,5 persen dinyatakan positif COVID-19, dibandingkan dengan mereka yang tinggal di daerah yang lebih kaya, hanya 7,7 persen.

pkp/gtp  (dpa, AFP)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait