Kasus pembunuhan demi kehormatan terhadap perempuan muda di Irak memanaskan debat soal kekerasan dalam rumah tangga. Bahkan pegiat HAM pun mengakui masalah tidak bisa ditanggulangi lewat legislasi di parlemen.
Iklan
Tiba Ali, buruh migran berusia 22 tahun dari selatan Irak, baru saja pulang dari Turki untuk mengunjungi keluarganya, ketika sang ayah mencekiknya hingga meninggal dunia pada 31 Januari lalu. Dalihnya adalah gaya hidup liberal Tiba di luar negeri yang sering diunggahnya di media sosial.
Pembunuhan itu direspons keesokan harinya dengan aksi demonstrasi pegiat hak perempuan di ibu kota Baghdad. Mereka menuntut agar parlemen secepatnya menyelesaikan pembahasan undang-undang anti kekerasan dalam rumah tangga dan kejahatan seksual yang mandek sejak bertahun-tahun.
Namun, bahkan jika UU tersebut disahkan, korban pembunuhan demi kehormatan seperti Tiba Ali belum akan bisa dihindari, kata Kholozd Ahmad, jurnalis Irak di Baghdad.
"Jika orang tahu mereka akan dihukum jika melakukan tindak kekerasan seksual atau jika perempuan diberikan tempat berlindung jika menghadapi kekerasan, itu bisa membantu,” kata dia. "Saat ini, rasanya seperti tidak ada hukuman serius bagi pelaku.”
Pembiaran oleh hukum
Maraknya kekerasan terhadap perempuan antara lain dimudahkan konstitusi. Menurut pasal 398 KUHP Irak, kasus pidana pemerkosaan akan dihentikan jika pelaku setuju menikahi korban. Sementara pada pasal 409 hanya mengancam tiga tahun penjara jika seorang suami membunuh istri karena menyeleweng.
Iklan
Menurut konstitusi Irak, hak dasar bagi suami mencakup "kewenangan untuk menghukum istri, dalam batas yang ditentukan oleh undang-undang atau adat istiadat.”
Dalam responsnya terkait pembunuhan Tiba Ali, Perserikatan Bangsa-bangsa mengimbau pemerintah Irak agar segera mencabut pasal-pasal tersebut.
Lemahnya perlindungan hukum menyurutkan niat perempuan melaporkan kasus kekerasan di rumah tangga. Menurut informasi resmi, laporan delik KDRT yang diproses di pengadilan mencapai rata-rata 15.000 kasus per tahun.
Larangan Kuliah oleh Taliban, Hak Perempuan Afganistan Dirampas
Sejak merebut kekuasaan pada pertengahan 2021, Taliban semakin membatasi hak-hak perempuan dan anak perempuan Afganistan. Kini, mereka membatasi akses perempuan ke pendidikan tinggi hingga memicu kemarahan internasional.
Foto: AFP
Perpisahan untuk selamanya?
Perempuan tidak akan diizinkan untuk kembali berkuliah. Dalam pernyataan pemerintah pada hari Selasa (20/12), Taliban menginstruksikan semua universitas di Afganistan, baik swasta maupun negeri, untuk melarang perempuan mengenyam pendidikan. Sekarang ini semua mahasiswa perempuan dilarang masuk ke universitas
Foto: AFP
Perempuan disingkirkan
Pasukan Taliban menjaga pintu masuk sebuah universitas di Kabul, sehari setelah larangan untuk perempuan berkuliah diberlakukan. Para mahasiswi diberitahu bahwa mereka tidak bisa masuk kampus. Larangan diberlakukan hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Namun, sudah ada aksi protes di universitas, di mana siswa laki-laki batal mengikuti ujian dan beberapa dosen laki-laki juga mogok mengajar.
Foto: WAKIL KOHSAR/AFP/Getty Images
Pendidikan tinggi hanya untuk laki-laki
Sejumlah pembatasan telah diberlakukan sebelum ini. Setelah Taliban mengambil alih kekuasaan pada Agustus 2021, universitas harus memisahkan pintu masuk dan ruang kuliah berdasarkan jenis kelamin. Mahasiswi hanya boleh diajar oleh dosen perempuan atau oleh pria tua. Gambar ini menunjukkan ada batas pemisah untuk mahasiswi di Universitas Kandahar.
Foto: AFP/Getty Images
Angkatan terakhir
Mahasiswi Universitas Benawa di Kandahar, masih bisa ikut wisuda Maret lalu dengan gelar di bidang teknik dan ilmu komputer. Pembatasan baru atas hak-hak perempuan di Afganistan mengundang kecaman keras dari dunia internasional. Human Rights Watch menyebut larangan kuliah bagi perempuan sebagai "keputusan yang memalukan", sementara PBB menyatakan keputusan itu melanggar hak asasi perempuan.
Foto: JAVED TANVEER/AFP
Dampaknya menghancurkan masa depan negara
Ribuan perempuan dan anak perempuan mengikuti ujian masuk universitas pada Oktober lalu, salah satunya di Universitas Kabul. Banyak yang ingin belajar kedokteran atau menjadi guru. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan, larangan Taliban "tidak hanya melanggar persamaan hak perempuan dan anak perempuan, tetapi akan berdampak buruk pada masa depan negara."
Foto: WAKIL KOHSAR/AFP/Getty Images
Tutup peluang pendidikan untuk perempuan
Larangan untuk perempuan berkuliah adalah satu lagi pembatasan pendidikan bagi perempuan dan anak perempuan. Selama lebih dari setahun, gadis remaja hanya bisa bersekolah sampai kelas tujuh di sebagian besar provinsi. Gadis-gadis yang berjalan ke sekolah di Afganistan timur ini beruntung karena beberapa provinsi yang jauh dari pusat kekuatan Taliban mengabaikan larangan tersebut.
Foto: AFP
Negeri tanpa kehadiran perempuan
Perempuan dan anak perempuan sekarang disingkirkan dari sebagian besar aspek kehidupan publik Afganistan. Mereka tidak diizinkan mengunjungi gym atau taman bermain di Kabul selama berbulan-bulan. Taliban membenarkan larangan tersebut dengan berkilah, peraturan tentang pemisahan jenis kelamin tidak dipatuhi, dan banyak perempuan tidak mengenakan jilbab seperti yang diwajibkan oleh mereka.
Foto: WAKIL KOHSAR/AFP/Getty Images
Realitas distopia
Sejumlah perempuan mengumpulkan bunga safron di Herat. Ini adalah pekerjaan yang boleh mereka lakukan, tidak seperti kebanyakan profesi lainnya. Sejak berkuasa, Taliban telah memberlakukan banyak peraturan yang sangat membatasi kehidupan perempuan dan anak perempuan. Misalnya, mereka dilarang bepergian tanpa pendamping laki-laki dan harus mengenakan hijab di luar rumah setiap saat.
Foto: MOHSEN KARIMI/AFP
Sebuah aib yang memalukan
Banyak perempuan Afganistan menolak penghapusan hak-hak mereka dan berdemonstrasi di Kabul pada November lalu. Sebuah plakat bertuliskan "Kondisi Mengerikan Perempuan Afganistan Merupakan Noda Aib bagi Hati Nurani Dunia." Siapapun yang ikut protes perlu keberanian besar. Demonstran menghadapi risiko represi kekerasan dan pemenjaraan. Para aktivis hak-hak perempuan juga dianiaya di Afganistan.
Foto: AFP
9 foto1 | 9
Prioritas pada kekerasan antara laki-laki
Dalam survey oleh sejumlah lembaga PBB sepanjang tahun lalu, sebanyak 75 persen perempuan Irak mengaku tidak melaporkan kasus pelecehan seksual atau tindak KDRT. Adapun sekitar 85 persen laki-laki mengaku akan berusaha membujuk anggota keluarga perempuan agar tidak melapor ke polisi.
Lembaga Bantuan Hukum bagi Perempuan (WOLA) di Sulaymaniyah, Kurdistan, mengeluhkan betapa kasus kekerasan terhadap perempuan sering diabaikan di pengadilan. Keterlambatan akhirnya mendorong banyak korban mencabut laporan.
Para pegiat lain mengatakan, kepolisian dan pengadilan lebih memprioritaskan kasus kekerasan antara laki-laki. Terlebih, jenis hukuman bagi pelaku acap bergantung pada status klan atau keluarganya di masyarakat setempat.
Meski begitu, sebuah survey oleh sebuah lembaga wadah pemikir di Baghdad pada 2020 lalu mengindikasikan perubahan pada perilaku masyarakat. Dari sekitar 13.000 responden, sebanyak setidaknya 89 persen laki-laki mendukung hukuman bagi pelaku kekerasan di dalam rumah tangga. Yang menarik, semua responden berusia antara 18 hingga 29 tahun.