1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Irak Mulai Ekspor Minyak dari Kawasan Otonomi Kurdi

2 Juni 2009

Senin (01/06) Irak mulai mengekspor minyak dari wilayah otonomi Kurdi. Meskipun mulanya berusaha mencegah ekspor dan pemasaran minyak tersebut, akhirnya pemerintah Irak mau berkompromi, karena desakan kebutuhan anggaran.

Ekspor minyak bumi Irak dari kawasan Kurdi kembali dilakukanFoto: AP

Di ladang minyak Tak-Tak dan Tawke di utara Irak, suasana gembira terpancar di kalangan warga Kurdi. Untuk pertama kalinya dan dengan ijin resmi pemerintah di Bagdad, dapat dilakukan pemompaan sebanyak 100.000 barrel minyak per hari untuk diekspor. Itu adalah devisa yang sangat diperlukan Irak, untuk memperbarui instalasi pemboran minyak di seluruh negeri dan pembangunan kembali infrastruktur setelah kehancuran dan kekerasan selama lebih dari enam tahun setelah serbuan tentara AS.

Tetapi keputusan bersejarah itu didahului silang pendapat berkesinambungan antara Bagdad dan wilayah otonomi Kurdi di utara Irak. Yakni sengketa tentang pembagian dari hasil penjualan minyak itu, kecurigaan pemerintah pusat di Bagdad menyangkut kepentingan politik warga minoritas Kurdi dan kemandirian mereka di tengah-tengah warga Irak, yang mayoritas adalah warga Syiah.

Sengketa itu sebenarnya belum tuntas walaupun 'lampu hijau' yang diberikan secara terpaksa oleh pemerintahan PM Nuri al Maliki. Pemerintah Irak butuh uang. Tidak ada sektor lain yang bisa mendatangkan devisa bagi Irak kecuali minyak. Irak merupakan produsen minyak terbesar ketiga di dunia.

Bagdad selama ini selalu memblokir. Warga Kurdi dilarang menjalin perjanjian dengan perusahaan-perusahaan asing. Perjanjian yang ada dianggap tidak berlaku dan perusahaan asing yang bersangkutan tidak dapat melakukan bisnis berikutnya. Pada awal penjualan terbatas minyak dari wilayah otonomi Kurdi itu masih banyak hal yang belum jelas. Sadallah al-Fahdi, mantan penasehat dari Menteri Perminyakan, Sharistani, mengemukakan:

Sadallah al-Fahdi: "Kami meresahkan ijin bagi ekspor minyak dari wilayah Kurdi. Persyaratannya masih belum jelas. Saya sendiri tidak yakin, bahwa semua sudah diatur dengan kepastian."

Yang tidak jelas adalah pembagian pendapatan dari penjualan minyak itu. Bagdad menuntut, bahwa ekspor minyak itu dikirim lewat pipelines Irak dan pembayarannya jatuh ke kas pemerintah Irak. Sedangkan wilayah otonomi Kurdi memperoleh 17 persen dari jumlah seluruhnya. Itu terlalu sedikit bagi warga Kurdi, karena mereka masih harus membayar perusahaan asing yang melakukan eksplorasi.

Di Erbil, ibukota provinsi Kurdi itu semua tahu, bahwa Bagdad tidak punya pilihan lain mengingat jatuhnya harga minyak dan besarnya tekanan masyarakat sehubungan buruknya kondisi infrastruktur di negara itu. Tanpa wilayah utara yang kaya minyak, pelayanan air dan listrik tidak dapat dimodernisasi, instalasi minyak tidak dapat diperbaiki untuk memompa jumlah yang lebih besar lagi. Jumlah minyak yang dipompa Irak sekarang masih sama dengan masa sebelum penyerbuan AS.

Nihad Kodsha, walikota Erbil yang punya pengalaman di Jerman berpegang pada kesadaran politik dan kompromi. Kebajikan yang tidak terlalu menonjol di Irak. Dikatakannya

Nihad Kodscha: "Masalahnya, menteri perminyakan di Bagdad selalu bersikeras bahwa perjanjian bisnis itu harus dijalin lewat Bagdad, padahal itu bertentangan dengan UU. Konstitusi mengijinkan kami untuk menjalankan sendiri bisnis eksplorasi minyak, tetapi uang harus masuk ke kas pemerintah pusat. Uang itu kemudian dibagikan ke seluruh wilayah Irak. Selama semua warga Irak berpegang pada konstitusi, pastilah tidak akan timbul masalah."

Ulrich Leidholdt/Dewi Gunawan

Editor: Dyan Kostermans