Kedua kekuatan regional yang saling bersaing sekarang berusaha menormalisasi hubungan mereka setelah bertahun-tahun mengalami ketegangan. Tapi, kemunduran masih bisa terjadi kapan saja.
Iklan
Iran dan Arab Saudi jelas terlihat ingin melanjutkan pemulihan hubungan mereka secara hati-hati. Setelah kedua rival lama ini semakin dekat satu sama lain untuk pertama kalinya pada musim semi 2023 di bawah mediasi Cina, mereka sekarang ingin makin memperdalam hubungan baru mereka.
Hal ini antara lain ditunjukkan dengan pernyataan Iran beberapa hari lalu yang akan menggelar latihan angkatan laut bersama dengan Arab Saudi. Namun tanggalnya belum diumumkan.
Kunjungan Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi ke Riyadh pada awal Oktober juga mengindikasikan semakin dalamnya hubungan itu. Abbas Araghchi antara lain bertemu dengan Putra Mahkota Saudi, Mohammed bin Salman (MbS).
Masa lalu yang sulit
Hubungan kedua negara selama ini memang dipenuhi ketegangan - terutama sejak revolusi Iran pada tahun 1979. Ketegangan ini pada awalnya, antara lain, berasal dari pemahaman yang berbeda secara fundamental mengenai peran politik agama: Iran mempraktikkan pemahaman sosial-revolusioner tentang Islam setelah Revolusi Islam 1979. dan, antara lain, memposisikan dirinya sebagai kekuatan utama. Iran adalah penganut Islam Syiah.
Sebaliknya, keluarga kerajaan Saudi penganut Islam Sunn dan mengandalkan agama untuk mempertahankan kekuasaan. Mereka mendasarkan klaimnya atas kepemimpinan di wilayah tersebut sebagai "penjaga” tempat-tempat suci di Mekah dan Madinah.
Perbedaan posisi ini menjadi jelas selama periode Musim Semi Arab pada tahun 2011: Pada saat itu, Riyadh khawatir bahwa Iran dapat mendorong gerakan protes di Semenanjung Arab, dan memanfaatkan itu untuk kepentingannya sendiri.
Kedua negara juga secara tidak langsung terlibat dalam konflik di Yaman, di mana milisi radikal Syiah Houthi mencoba menggulingkan pemerintahan Presiden Yaman Abed Rabbo Mansur Hadi dan dalam prosesnya menaklukkan sebagian besar wilayah negara di bawah kendalinya.
Lini Masa Pertikaian Arab Saudi dan Iran
Bukan kali pertama Iran dan Arab Saudi bersitegang. Sepanjang sejarahnya, hubungan kedua negara acap mengalami pasang surut menyusul konflik politik atau agama. Inilah sejarah modern permusuhan dua ideologi dalam Islam
Foto: DW Montage
Damai berbayang kecurigaan
Hubungan Iran dan Arab Saudi baru tumbuh sejak kekuasaan Syah Reza Pahlevi dan Raja Khalid. Kedua negara sebelumnya sering direcoki rasa saling curiga, antara lain karena tindakan Riyadh menutup tempat-tempat ziarah kaum Syiah di Mekkah dan Madinah. Perseteruan yang awalnya berbasis agama itu berubah menjadi politis seiring dengan eskalasi konflik di Timur Tengah dan Revolusi Islam 1979.
Foto: picture alliance/AP Images
Pendekatan usai Revolusi Islam
Raja Khalid sempat melayangkan ucapan selamat kepada Ayatollah Khomeini atas keberhasilan Revolusi Islam 1979. Tapi hubungan kedua negara memburuk menyusul perang Iran-Irak dan kisruh Haji 1987. Puncaknya, Riyadh memutuskan hubungan pada 1987, ketika Khomeini mengecam penguasa Saudi sebagai "Wahabi yang tidak berperikemanusiaan, ibarat belati yang menusuk jantung kaum Muslim dari belakang."
Foto: Getty Images/Afp
Keberpihakan dalam Perang Iran-Irak 1980
Saat berkobar perang Iran-Irak, Arab Saudi sejak dini menyatakan dukungan terhadap rejim Saddam Hussein di Baghdad. Riyadh memberikan dana sumbangan sebesar 25 milyar US Dollar dan mendesak negara-negara Teluk lain untuk ikut mengisi pundi perang buat Irak. Demi menanggung biaya perang, Arab Saudi menggenjot produksi minyak yang kemudian mengakibatkan runtuhnya harga minyak di pasar dunia.
Foto: picture-alliance/dpa
Kisruh Haji 1987
Mengikuti ajakan Ayatollah Khomeini, jemaah Iran setiap tahun berdemonstrasi di Mekkah dan Madinah menentang Israel. Tradisi sejak 1981 itu tidak pernah diperkarakan, kecuali pada 1987, ketika polisi memblokade jalan menuju Masjid al-Haram. Akibat bentrokan, 402 jemaah Iran tewas dan 649 luka-luka. Setelah kedutaannya di Teheran diserbu massa, Riyadh memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran.
Foto: farhangnews
Kontroversi program nuklir Iran
Arab Saudi sejak awal menolak program nuklir Teheran. Sikap itu tidak berubah bahkan setelah tercapainya Perjanjian Nuklir di Vienna tahun 2015. Riyadh menilai kesepakatan tersebut "sangat berbahaya." Desakan kepada Iran untuk bekerja sama dengan pengawas nuklir PBB juga disampaikan Saudi pada awal 2023.
Foto: Irna
Pemberontakan Houthi di Yaman, 2004
Hubungan Iran dan Arab Saudi kembali menegang setelah kelompok Syiah Zaidiyah di Yaman mengobarkan pemberontakan. Riyadh menuding Teheran mengompori perang bersaudara dan mencampuri urusan dalam negeri Yaman dengan memasok senjata. Iran sebaliknya menuding Arab Saudi menghkhianati perannya sebagai mediator konflik dengan membombardir minoritas Houthi di utara Yaman.
Foto: picture alliance/Y. Arhab
Perang proksi di Suriah, 2011
Dukungan Iran atas rejim Bashar Assad di Suriah sejak lama dianggap duri dalam daging oleh Arab Saudi. Sejak 2011, Riyadh aktif memasok senjata buat oposisi Sunni di Suriah. Kerajaan di Riyadh juga menjadi yang pertama kali mengecam Assad seputar "tindakan represif pemerintahannya terhadap demonstrasi anti pemerintah," ujar Raja Abdullah saat itu.
Foto: picture-alliance/AP/Vadim Ghirda
Tragedi Mina 2015
Bencana memayungi ibadah Haji 2015 ketika lebih dari 400 jemaah Iran meninggal dunia di terowongan Mina akibat panik massa. Iran menuding pemerintah Arab Saudi ikut bertanggungjawab. Riyadh sebaliknya menyelipkan isu bahwa tragedi itu disebabkan jemaah haji Iran yang tak mau diatur. Kisruh memuncak saat pangeran Arab Saudi, Khalid bin Abdullah, mendesak agar Riyadh melarang masuk jemaah haji Iran.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Eksekusi Mati Al-Nimr 2016
Sehari setelah pergantian tahun Arab Saudi mengeksekusi mati 46 terpidana, antara lain Syeikh Nimr al-Nimr, seorang ulama yang aktif membela hak-hak minoritas Syiah yang kerap mengalami represi dan diskriminasi di Arab Saudi. Al-Nimr didakwa terlibat dalam terorisme. Sebagai reaksi Pemimpin Spiritual Iran, Ayatollah Ali Khamenei melayangkan ancaman, bahwa Saudi akan mendapat "pembalasan tuhan."
Foto: picture alliance/dpa/Y. Arhab
Drama di Lebanon
Pada November 2017 Perdana Menteri Lebanon Saad Hariri mengumumkan pengunduran diri dari Riyadh, Arab Saudi, dan menyalahkan Iran terkait kebuntuan politik di Beirut. Langkah itu diyakini bagian dari manuver Arab Saudi untuk memprovokasi perang antara Iran dan Hizbullah dengan Israel. Saudi dan Iran berebut pengaruh di Lebanon pasca penarikan mundur pasukan Suriah 2005 silam.
Foto: picture-alliance/dpa/AP/Lebanese Official Government/D. Nohra
Narasi damai di awal 2023
Menyusul mediasi Cina, pemerintah Arab Saudi sepakat memulihkan hubungan dengan Ira pada Maret 2023. Kesepakatan tersebut disusul pembukaan kembali relasi dengan Suriah dan perundingan damai dengan pemberontak Houthi di Yaman. Sebelumnya, negara-negara Teluk juga sepakat mengakhiri perpecahan dengan Katar, sekutu dekat Iran di Teluk Persia.
Foto: Iran's Foreign Ministry/WANA/REUTERS
11 foto1 | 11
Sementara Iran mendukung Houthi, Arab Saudi membantu pemerintah Yaman dengan memimpin koalisi yang sebagian besar terdiri dari negara-negara Sunni.
"Dari sudut pandang Saudi, pemulihan hubungan saat ini memiliki beberapa keuntungan," kata Sebastian Sons, pakar negara-negara Teluk di lembaga pemikir Carpo yang berbasis di Bonn. Setelah serangan Iran terhadap fasilitas minyaknya tahun 2019, masyarakat di Riyadh menyadari bahwa mereka tidak dapat sepenuhnya bergantung pada Amerika Serikat dan bahwa mereka harus menyelesaikan sendiri masalah dengan Iran.
Iklan
Kepentingan Iran dan Arab Saudi
"Iran juga punya kepentingan tertentu dengan mendekatkan diri ke Riyadh," kata Hamidreza Azizi, pakar Iran di Yayasan Politik SWP di Berlin dalam wawancara dengan DW. Pertama-tama, Iran berkepentingan untuk meredam dampak sanksi Barat dan memperbaiki perekonomiannya.
"Situasi ekonomi tentu saja menambah tekanan pada reputasi rezim. Rakyat Iran meragukan kemampuan rezim untuk memerintah negara secara efektif,” kata Azizi.
Iran juga prihatin dengan masalah keamanannya. Bahkan sebelum pemulihan hubungan antara Israel dan Arab Saudi, yang terjadi melalui penengahan Cina, masyarakat di Teheran khawatir karena konflik dengan Israel semakin meruncing.
Hizbullah di Garda Depan Konflik Sunni dan Syiah
Didirikan buat menghalau invasi Israel, Hizbullah kini menjadi ujung tombak Iran melucuti pengaruh Arab Saudi dan Mesir di kawasan Syam.
Foto: Getty Images/C. Furlong
Simalakama Invasi Israel
Hizbullah atau Partai Allah dibentuk oleh sekelompok ulama Syiah pada dekade 1980an sebagai reaksi atas invasi Israel terhadap Libanon Selatan 1982. Kelompok ini tidak hanya memiliki sayap militer bersenjata lengkap, tetapi juga ikut berkecimpung dalam politik Libanon lewat parlemen.
Foto: picture-alliance/dpa
Dukungan Lintas Ideologi
Berbekal pengalaman dalam perang saudara di Libanon, Hizbullah sukses menerapkan taktik geriliya buat mengusir tentara Israel dari Libanon Selatan pada tahun 2000. Kedua pihak kembali berhadapan satu sama lain ketika Israel membombardir selatan Libanon pada 2006. Berkat perlawanan tersebut Hizbullah mendapat dukungan lintas sektarian di masyarakat Libanon.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Zaatari
Dibesarkan Suriah dan Iran
Sejak pertamakali berdiri, organisasi pimpinan Hassan Nasrullah ini mendapat bantuan militer, finansial dan terutama politik dari Iran dan Suriah. Selama beberapa dekade kedua negara secara praktis menguasai Libanon. Kini kekuatan Hizbullah tidak hanya melampaui militer Libanon, tetapi juga menjadikan organisasi itu sebagai kekuatan paramiliter paling disegani di Timur Tengah.
Foto: Reuters/O. Sanadiki
Berpolitik dengan Nasrullah
Sejak berakhirnya perang saudara 1975-1990 di Libanon, Hizbullah menggandeng komunitas Syiah dan menjalin aliansi dengan kelompok lain seperti warga Kristen untuk berkecimpung di dunia politik. Terutama sejak kepemimpinan Hassan Nasrullah, Hizbullah dengan cepat menjadi kekuatan alternatif di panggung politik Beirut.
Foto: picture-alliance/dpa
Permusuhan di Beirut
Berbeda dengan kelompok lain yang aktif pada perang saudara, Hizbullah menolak melucuti sayap militernya. Hingga kini sejumlah kekuatan politik di Libanon, termasuk partai Tayyar Al-Mustaqbal milik Perdana Menteri Saad Hariri, ingin agar Hiizbullah meletakkan senjata. Namun Nasrullah menolak dengan alasan menguatnya ancaman jiran di selatan, Israel.
Foto: picture-alliance/AA
Pertalian Gelap dengan Damaskus
Sikap antipati sejumlah masyarakat Libanon terhadap Hizbullah antara lain berawal dari pendudukan Suriah antara 1976 hingga 2005. Pertautan keduanya berakhir ketika Suriah dituduh bertanggungjawab atas pembunuhan terhadap bekas PM Rafik Hariri yang tewas akibat bom mobil. Damaskus akhirnya terpaksa menarik mundur pasukannya dari Libanon.
Foto: picture-alliance/AP
Panji Kuning di Tangan Assad
Sejak berkecamuknya perang Suriah, Hizbullah aktif mendukung Presiden Bashar Assad dan bertempur bersama pasukan pemerintah. Assad yang sering membantu menjamin jalur suplai senjata dari Iran, membutuhkan pengalaman tempur dan kekuatan militer Hizbullah buat mematahkan perlawanan kelompok pemberontak Free Syrian Army dan sejumlah kelompok teror yang masih bercokol di Suriah.
Foto: picture-alliance/AP Photo/Syrian Central Military Media
Sektarianisme Sunni dan Syiah
Sejak lama Libanon berdiri di jantung konflik kekuasaan di Timur Tengah, terutama antara Arab Saudi dan Iran. Saat ini hanya Hizbullah yang menghalangi meluasnya pengaruh Riyadh di Libanon. Arab Saudi sejak lama berusaha melucuti kekuasaan Iran dan Suriah dengan menyokong pemerintahan Saad Hariri.
Foto: dapd
Musuh Lama Bertemu Kembali?
Namun berbeda dengan Arab Saudi, Iran dan Hizbullah berhasil memperkuat pengaruhnya lewat Perang Suriah. Sebaliknya Israel yang menilai perkembangan politik di kawasan sebagai ancaman, berulangkali melancarkan serangan udara terhadap militer Suriah dan Hizbullah. Israel berjanji tidak akan membiarkan Iran dan Hizbullah bercokol secara permanen di Suriah.
Foto: Getty Images/C. Furlong
9 foto1 | 9
Tapi Arab Saudi juga tidak tertarik berkonflik dengan Israel atau memberikan kesan bahwa mereka berpaling dari Barat. "Riyadh tidak ingin dimasukkan ke dalam kubu mana pun, namun berupaya mencapai otonomi strategis,” kata Sebastian Sons dari Carpo.
Secara umum, Arab Saudi ingin dianggap sebagai pembangun jembatan. Kerajaan Saudi menawarkan dirinya sebagai mediator yang tetap berhubungan dengan semua aktor lainnya.
"Qatar menjalankan fungsi serupa. Meskipun Arab Saudi secara tradisional lebih tertutup, kini tampaknya mereka memposisikan diri sebagai aktor yang menjaga agar saluran komunikasi dengan Teheran tetap terbuka,” kata Sons.
Hamidreza Azizi juga berpendapat serupa. Meningkatkan hubungan Iran-Saudi dapat mendorong stabilitas jangka panjang di seluruh kawasan. Masyarakat di Teheran "tampaknya memahami bahwa pemulihan hubungan adalah demi kepentingan semua orang yang terlibat.”