Iran dan Israel Menyensor Pemberitaan Perang
26 Juni 2025
Di awal pekan kedua perang Israel-Iran, mengakses informasi terkait konflik tersebut menjadi semakin sulit.
Iran pekan lalu mula-mula mengurangi kecepatan transfer internet, dan kemudian mematikan total jaringan internet di negaranya. Pemerintah di Teheran mengklaim, tindakan ini dilakukan karena adanya serangan pesawat nirawak alias drone Israel yang dioperasikan melalui koneksi kartu SIM internet. Mematikan jaringan internet diperlukan untuk membatasi kemampuan Israel melancarkan perang siber.
Akibatnya, situs web, aplikasi seluler, jaringan pesan daring tidak dapat diakses di Iran. Artinya, berita yang diterima masyarakat Iran saat perang berlangsung terkait angka kematian, kerusakan yang terjadi, atau serangan Amerika Serikat (AS) di akhir pekan lalu, hanya bersumber dari pemerintah atau media-media yang dikendalikan pemerintah di Teheran.
Otoritas Iran turut melarang koresponden media internasional melakukan pemberitaan, seperti halnya yang terjadi pada jurnalis DW yang dilarang melaporkan konflik langsung dari lokasi kejadian.
"Ibu saya menanyakan apa yang sedang terjadi,” kata seorang warga Iran yang tinggal di Jerman yang berhasil menghubungi ibunya di Teheran beberapa menit akhir pekan lalu kepada DW. Untuk menjamin keamanan narasumber, namanya tidak kami publikasikan.
"Ibu saya tidak tahu lokasi-lokasi mana saja di Teheran yang terkena serangan.”
Walaupun warga Israel masih dapat mengakses informasi konflik yang masih berlangsung di dalam teritorialnya, tetapi panduan sensor informasi untuk warga israel diperbarui pekan lalu. Hingga panduan ini dipublikasikan, diskusi alot menyangkut peraturan yang kian ketat masih terus berlangsung. Panduan ini mengikat secara hukum bagi jurnalis lokal serta koresponden internasional.
Dampak pengetatan peraturan ini turut dirasakan Tania Krämer, pimpinan studio DW di Yerusalem. "Hingga kini, rekaman video instalasi militer atau pasukan milter harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari badan sensor militer,” jelasnya dari laporan terakhir. "Bahkan wajah dari para tentara harus ditampilkan blur.”
Klip-klip video tersebut harus terlebih dahulu mendapat persetujuan badan sensor militer sebelum dipublikasikan. "Rata-rata badan sensor militer merilis video dengan cepat,” tambah Krämer.
"Mulai minggu ini, kami tidak dapat menunjukkan secara live lokasi-lokasi yang dihantam rudal," Krämer menambahkan..
Menurut koran Israel, Haaretz, Menteri Keamanan Nasiona lsrael, Tamar Ben-Gvir dan Menteri Komunikasi Shlomo Karhi telah merilis panduan baru bagi pihak kepolisian Israel untuk mengusir bahkan menangkap para jurnalis yang menurut mereka mendokumentasikan lokasi di sekitar mereka.
Kebebasan pers menyusut di Israel
"Di Israel, semua perwakilan media berdasarkan hukum, diharuskan untuk mengirimkan artikel atau laporan yang terkait masalah keamanan kepada badan sensor militer,” ujar Martin Roux, kepada departemen krisis Reporters Without Border, NGO international yang melindungi kebebasan pers, pluralism, dan independensi jurnalis.
"Namun, media tidak diperbolehkan untuk melaporkan intervensi sensor militer kepada publik,” jelasnya kepada DW.
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Roux menambahkan, praktik ini telah berlangsung selama bertahun-tahun, sensor telah meningkat sejak serangan teror Hamas terhadap Israel, 7 Oktober 2023.
"Anggota pemerintahan Israel telah menggunakan retorika agresif terhadap perwakilan media, yang melaporkan perang yang gayanya tidak senada dengan narasi yang dikeluarkan pihak berwenang,” jelas Roux
Menurut Hagai Matar, direktur eksekutif media independen online Israel +972 Magazine, sensor militer Israel melarang 1.635 artikel untuk dipublikasikan pada tahun 2024. "Ini adalah sensor yang mencapai rekor tertinggi sejak 2011,” tulisnya pada artikel yang dirilis baru-baru ini.
Matar sependapat dengan Roux, bahwa hal tersebut didorong oleh berbagai konflik di kawasan, tetapi pihak sensor militer belum mengungkapkan alasan resminya.
Indeks Kebebasan Pers terkini yang dirilis dari Reporters Without Borders menempatkan Israel di peringkat 112 dari 180 negara. Turun 11 peringkat dibandingkan tahun 2024.
Kasus-kasus lebih lanjut, seperti pelarangan jaringan TV Al-Jazeera kian membatasi lanskap media Israel yang sebenarnya sangat beragam. Jaringan TV Al Jazeera tidak lagi mengudara di Israel pada Mei 2024, dan menutup studio mereka di Ramallah pada September 2024 karena dituding sebagai "ancaman terhadap keamanan nasional,” menurut militer Israel. Israel mengklaim bahwa seorang karyawan stasiun televisi tersebut adalah seorang komandan Hamas, yang dikategorikan sebagai organisasi teror. Sejak saat itu, Al Jazeera yang didanai oleh Qatar dan memiliki hubungan dengan Hamas dilarang melakukan kegiatan peliputan di Israel.
Lembaga penyiaran publik Israel yang didanai negara, Kan, tahun 2024 juga berada di bawah tekanan pemerintah Israel. Para menteri menyerukan privatisasi lembaga penyiaran tersebut, menyatakan bahwa tidak adanya kebutuhan untuk penyiaran publik. Namun, keputusan privatisasi ini ditunda pada awal tahun 2025.
Pada bulan Februari 2025, semua lembaga yang didanai Israel harus memutuskan hubungan dengan surat kabar Haaretz setelah salah seorang penulisnya, Amos Schocken, mengkritik pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Pada saat bersamaan, media-media pro-pemerintah semakin banyak didanai, menurut Direktur Eksekutif Magazine +972, Matar.
Namun, warga Israel yang ‘melek teknologi ‘dapat mengakses informasi melalui internet. Selain itu, semua aplikasi dan pengirim pesan berfungsi, termasuk peringatan serangan roket Iran yang memasuki Israel.
Israel juga secara teratur mengumumkan secara online daerah-daerah mana saja di Teheran dan kota-kota lain yang menjadi targetnya. Namun, penghentian internet di Iran membuat sebagian besar warganya tidak menyadari peringatan ini.
Mematikan internet bagian penyensoran yang lebih luas
"Penyensoran sejak lama menjadi pilar utama strategi rezim Islam Iran untuk represi suara yang vokal menentang," kata Damon Golriz, seorang analis strategis di Institut Geopolitik Den Haag, kepada DW.
"Media sosial adalah sumber informasi penting bagi warga Iran, tetapi juga menjadi alat yang ampuh bagi rezim untuk membasmi narasi independen melalui misinformasi, disinformasi, dan penindasan terhadap pengguna yang bahkan tidak diketahui identitasnya," ujar Golriz.
"Di tengah blokir internet saat ini, beberapa aktivis terkemuka mendapat ancaman atau bahkan ditangkap, dan dalam kasus lainnya, keluarga seorang jurnalis Iran yang berbasis di London turut diserang," tambah Golriz.
Bagi Mahtab Gholizadeh, seorang jurnalis Iran yang berbasis di Berlin, peningkatan sensor di Iran lebih dari sekadar mencegah penyusupan serangan siber Israel, atau membatasi informasi tentang kerusakan atau meningkatnya jumlah korban jiwa sipil.
"Ini adalah ketakutan akan pecahnya kerusuhan internal," katanya kepada DW. "Internet adalah katalisator yang kuat untuk mobilisasi publik, dan rezim ini tahu bahwa pada saat krisis, konektivitas digital menjadi pemicu aksi kolektif untuk melawan rezim otoriter."
Namun, menurut Gholizadeh, blokir internet tidak akan bertahan lama.
"Rezim Iran tahu bahwa mereka tidak akan dapat mempertahankan penghentian total internet karena kendala teknis dan ekonomi yang memaksa mereka untuk kembali terhubung ke jejaring," dan dia menambahkan informasi bahwa pada akhir pekan lalu, beberapa jurnalis terpilih dan media yang setia pada pemerintah Iran mendapat akses "internet putih", istilah untuk internet yang dikontrol oleh pemerintah.
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Sorta Caroline
Editor: Agus Setiawan