Iran hari Kamis (8/12) mengumumkan telah mengeksekusi seorang pria yang ditangkap selama protes anti-rezim yang mengguncang negara itu selama beberapa bulan. Nasib serupa bisa terjadi pada pemrotes lain.
Iklan
Pengunjuk rasa, yang diidentifikasi sebagai Mohsen Shekari oleh kantor berita Iran, disebut-sebut sebagai orang pertama yang dieksekusi oleh rezim Iran sehubungan dengan protes nasional setelah kematian Jina Mahsa Amini. Selain dia, ada lima orang lain yang dieksekusi. Kalangan aktivis memperingatkan, orang lain bisa menghadapi nasib serupa.
Mohsen Shekari ditangkap karena memblokir Sattar Khan Boulevard di Teheran dan melukai seorang penjaga keamanan dengan parang pada 25 September 2022. Pada 1 November dijatuhi hukuman mati di bawah hukum syariah Iran karena "melancarkan perang melawan Allah". Putusan itu dikuatkan oleh Mahkamah Agung pada 20 November lalu, meskipun ada pengajuan banding.
Lima orang lainnya dijatuhi hukuman mati dengan cara digantung pada hari Selasa (6/12) karena membunuh seorang anggota milisi Basiji Iran.
Para pengunjuk rasa pertama kali turun ke jalan setelah kematian Jina Mahsa Amini, perempuan berusia 22 tahun, saat dalam tahanan. Dia ditangkap oleh polisi moral Iran 13 September lalu karena dianggap tidak mengenakan jilbabnya secara benar. Beberapa jam kemudian dia dinyatakan meninggal dunia.
Amnesty: "Lebih banyak eksekusi” akan terjadi
Organisasi hak asasi Amnesty International mengatakan, setidaknya 21 orang menghadapi hukuman mati menyusul apa yang mereka sebut sebagai "pengadilan palsu yang dirancang untuk mengintimidasi” mereka yang berpartisipasi dalam protes massal yang telah mengguncang Iran.
Iklan
"Otoritas Iran harus segera membatalkan semua hukuman mati, menahan diri dari upaya pengenaan hukuman mati, dan mencabut semua tuduhan terhadap mereka yang ditangkap sehubungan dengan partisipasi damai mereka dalam protes," kata Amnesty International.
Direktur organisasi Iran Human Rights yang berbasis di Oslo, Mahmood Amiry-Moghaddam, menyerukan "konsekuensi praktis yang cepat secara internasional" terhadap eksekusi mati itu untuk mencegah kemungkinan "eksekusi tahanan setiap hari."
Jokowi dan Ilusi Hukuman Mati
Presiden Jokowi menggunakan hukuman mati sebagai jurus andalan dalam perang melawan narkoba. Padahal berbagai studi ilmiah membuktikan hukuman mati tidak mampu menurunkan angka kejahatan. Oleh Rizki Nugraha
Foto: Reuters/Romeo Ranoco
Keyakinan Jokowi
Gigih cara Presiden Joko Widodo membela hukuman mati. Indonesia berada dalam darurat narkoba, dalihnya, meski angka kematian akibat narkoba jauh lebih rendah ketimbang rokok atau akibat kecelakaan lalu lintas. Tapi realitanya hukuman mati adalah hukum positif di Indonesia dan dia yakin, membunuh pelaku bisa menciptakan efek jera buat yang lain. Benarkah?
Foto: Reuters/Olivia Harris
Pepesan Kosong
Studi ilmiah di berbagai negara menyebutkan sebaliknya. Hukuman mati tidak serta merta mampu mengurangi kriminalitas. Sebuah penelitian di Amerika Serikat oleh American Civil Liberties Union bahkan menemukan negara bagian yang menerapkan hukuman mati justru mengalami peningkatan tindak kriminal. Kepolisian AS juga menganggap eksekusi mati sebagai cara paling tidak efektif memerangi kriminalitas
Foto: picture-alliance/AP Photo/K. Sato
Jagal Paling Produktif
Hukuman mati di Indonesia adalah peninggalan era kolonial Belanda. Rajin diterapkan oleh Suharto buat melenyapkan musuh politiknya, hukuman mati kemudian lebih banyak dijatuhkan dalam kasus pembunuhan. Pada era Jokowi pemerintah aktif menggunakan hukuman mati terhadap pengedar narkoba, jumlahnya lebih dari 60 eksekusi, baik yang sudah dilaksanakan atau masih direncanakan.
Cacat Keadilan
Sejak menjabat presiden 2014 silam, Jokowi telah memerintahkan eksekusi mati terhadap lebih dari 60 terpidana. Celakanya dalam kasus terpidana mati Pakistan, Zulifkar Ali, proses pengadilan diyakini berlangsung tidak adil. Ali diklaim mengalami penyiksaan atau tidak didampingi penerjemah selama proses persidangan, tulis Jakarta Post.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Nagi
Bantuan dari Atas
Terpidana mati lain, Freddy Budiman, bahkan mengklaim mampu mengedarkan narkoba dalam skala besar dari dalam penjara berkat bantuan pejabat di kepolisian dan Badan Narkotika Nasional. Sejauh ini tidak satupun pejabat tinggi kepolisian yang pernah diselidiki terkait tudingan semacam itu.
Foto: Getty Images/AFP/B. Nur
Pendekatan Keamanan
Kendati terbukti tidak efektif, pemerintahan Jokowi menjadikan hukuman mati sebagai ujung tombak dalam perang melawan narkoba. Ironisnya pemerintah terkesan belum serius menyelamatkan pengguna dari ketergantungan. Saat ini BNN cuma memiliki empat balai rehabilitasi di seluruh Indonesia.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Irham
Solusi Buntu
Menurut BNN, tahun 2011 kasus penyalahgunaan narkoba mencapai hingga 2,8 juta orang. Angka tersebut naik sebesar 0,21 persen dibandingkan tahun 2008. Tapi kini tingkat penyalahgunaan narkoba diyakini meningkat menjadi 2,8 persen alias 5,1 juta orang. Padahal hukuman mati sudah rajin diterapkan terhadap pengedar narkoba sejak tahun 2004.
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
Uang Terbuang?
Terlebih eksekusi mati bukan perkara murah. Untuk setiap terpidana, Polri menganggarkan hingga 247 juta, sementara taksiran biaya versi Kejaksaan Agung berkisar di angka 200 juta. Artinya untuk 60 terpidana mati yang telah atau masih akan dieksekusi, pemerintah harus mengeluarkan dana hingga 15 milyar Rupiah.
Foto: picture alliance/ZUMA Press/S. Images
Geming Istana
Beberapa pihak bahkan mengatakan satu-satunya yang berhasil dicapai Jokowi dengan mengeksekusi mati pengedar narkoba adalah memancing ketegangan diplomasi dengan negara lain. Namun begitu Jokowi bersikeras akan tetap melanjutkan gelombang eksekusi mati terhadap terpidana narkoba.
Foto: Reuters/Romeo Ranoco
9 foto1 | 9
Aksi protes massal berbulan-bulan
Aksi protes massal yang telah berlangsung berbulan-bulan telah menjadi salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Republik Islam Iran sejak revolusi Islam tahun 1979 yang membawa Ayatollah Khomeini ke tampuk kekuasaan.
Demonstrasi itu dimulai di wilayah barat Kurdistan, wilayah asal Jina Mahsa Amini, tetapi menyebar dengan cepat ke seluruh negeri.
Perempuan telah memainkan peran kunci dalam protes anti-rezim itu, dengan banyak video yang dibagikan di media sosial memperlihatkan para pemrotes perempuan melepas jilbab mereka di depan umum.
Pihak berwenang menyalahkan "campur tangan asing” dan menindak keras aksi protes, juga dengan menggunakan peluru tajam. Kelompok-kelompok hak asasi yang berbasis di luar negeri memperkirakan jumlah orang yang tewas dalam bentrokan dengan aparat keamanan mencapai hampir 500 orang.