1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikIran

Hubungan Iran-Israel: Dari Teman Sampai Jadi Musuh Bebuyutan

2 Oktober 2024

Konflik kembali meningkat. Iran menyerang Israel dengan rudal, dan Israel mengancam akan membalas. Dulunya, kedua negara ini tidak selalu bermusuhan. Apa yang terjadi?

Bendera Iran (kiri) dan Israel (kanan)
Bendera Iran (kiri) dan Israel (kanan)Foto: H. Tschanz-Hofmann/IMAGO

Perang di Gaza telah berlangsung hampir setahun. Bukan hanya di Gaza, serangan roket dan drone juga telah terjadi antara Israel dan Lebanon, Suriah, Irak dan Yaman selama berbulan-bulan.

Pada akhir bulan Juli, pemimpin luar negeri Hamas, organisasi yang oleh Jerman digolongkan sebagai teroris, terbunuh di Teheran. Pemimpin Iran bertekad membalas dendam. Jumat lalu (27/09), Hassan Nasrallah, ketua kelompok Syiah Hizbullah Lebanon, sekutu penting Teheran, terbunuh dalam serangan udara Israel di Beirut, bersama seorang petinggi Garda Revolusi Iran.

Sebelumnya, serangkaian ledakan pager melukai ratusan pejabat Hizbullah dan menewaskan beberapa orang. Saat itu, masih belum jelas apakah dan bagaimana kepemimpinan militer Iran akan menanggapi konflik ini.

Serangan balik Republik Islam dimulai pada Senin (01/10) malam. Garda Revolusi Iran menembakkan ratusan roket ke Israel. Serangan itu merupakan pembalasan atas pembunuhan petinggi Hamas Ismail Haniyeh, Sekretaris Jenderal Hizbullah Hassan Nasrallah dan seorang jenderal Iran, kata televisi pemerintah Iran.

Iran - Israel, dari sekutu jadi musuh

Iran dan Israel tidak selalu menjadi musuh bebuyutan. Hingga Revolusi Islam di Iran pada tahun 1979, kedua negara adalah sekutu erat. Iran bahkan menjadi salah satu negara pertama yang mengakui Negara Israel pada 1948. Israel juga memandang Iran sebagai sekutu melawan negara-negara Arab dalam konflik Timur Tengah. Bagi Teheran saat itu, Israel, yang didukung oleh Washington memberikan penyeimbang politik yang baik bagi negara-negara tetangganya di Arab.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Israel pernah melatih ahli pertanian Iran, memberikan pengetahuan teknis, dan membantu membangun dan melatih angkatan bersenjatanya. Penguasa Iran saat itu, Shah Mohammad Reza Pahlevi, membayar semua itu dengan minyak, yang sangat dibutuhkan Israel dalam pembangunan ekonomi.

Pada masa itu, Iran memiliki komunitas Yahudi terbesar kedua di luar Israel. Setelah revolusi Islam, sebagian besar orang Yahudi meninggalkan negara itu. Namun masih ada lebih dari 20.000 orang Yahudi yang tinggal di Iran hingga saat ini.

Revolusi Islam jadi titik balik

Setelah kemenangan Revolusi Islam di Iran pada tahun 1979 dan bangkitnya sayap agama di kalangan revolusioner di bawah Ayatollah Ruhollah Khomeini, Teheran membatalkan semua perjanjian dengan Israel.

Ayatollah Khomeini berulang kali mengkritik Israel atas pendudukannya di wilayah Palestina. Teheran secara bertahap mengembangkan retorika keras terhadap Israel dengan tujuan untuk memenangkan hati negara-negara Arab, atau setidaknya simpati penduduk di negara-negara itu. 

Ketika Israel melakukan intervensi dalam perang saudara Lebanon pada 1982 dan menginvasi bagian selatan negara itu, Khomeini mengirim Garda Revolusi Iran ke Beirut untuk mendukung milisi Syiah di sana. Masa itu menandai kebangkitan milisi Hizbullah, yang hingga saat ini dianggap sebagai perpanjangan tangan Teheran di Lebanon.

Konflik semakin dalam

Pemimpin agama Iran saat ini, Ayatollah Ali Khamenei, yang memegang keputusan akhir dalam segala hal, melanjutkan kebijakan ini. Khamenei dan seluruh pimpinan Republik Islam Iran juga berulang kali mempertanyakan realitas sejarah pembunuhan sistematis terhadap orang-orang Yahudi Eropa di bawah Nazi dan mencoba untuk merelatifkan atau bahkan menyangkal Holocaust.

Iran tidak hanya mendukung Hizbullah di Lebanon dan Hamas di Gaza, tetapi juga melakukan intervensi dalam perang Suriah, mendukung milisi Houthi di Yaman dan apa yang disebut Gerakan Perlawanan Islam di Irak. Arsitek utama perang bayangan ini adalah Jenderal Garda Revolusi Quasem Soleimani, yang terbunuh dalam serangan pesawat tak berawak Amerika Serikat (AS) pada awal tahun 2020.

Israel juga tidak berbuat banyak untuk meredakan ketegangan dengan Iran. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu berulang kali membandingkan Republik Islam Iran dalam pidatonya dengan Nazi Jerman, yang secara langsung mengancam keberadaan negaranya. Dia menggambarkan perjanjian nuklir tahun 2015, sebagai "kesalahan besar yang bersejarah".

Israel berulang kali melakukan tindakan sabotase terhadap program nuklir Iran. Pada tahun 2020, kepala program nuklir Iran, Mohsen Fakhrisadeh, dibunuh. Surat kabar Inggris The Guardian dan New York Times melaporkan bahwa semua bukti menunjukkan adanya pembunuhan yang ditargetkan oleh dinas rahasia Israel. Israel tidak menyangkal atau menegaskan hal ini. 

Narasi permusuhan penuh kontroversi

"Iran harus mengkaji ulang hubungannya dengan Israel karena sudah tidak mutakhir lagi," kata Faeseh Hashemi Rafsanjani dalam wawancara akhir tahun 2021. Faeseh adalah putri mantan Presiden Iran Ali Akbar Hashemi Rafsanjani dan mantan anggota Parlemen Iran.

Ilmuwan politik terkemuka Sadegh Zibakalam, yang kritis terhadap pemerintah, juga berulang kali mengkritik kebijakan Iran terhadap Israel. "Sikap itu telah mengisolasi negara ini di kancah internasional," tegas profesor Universitas Teheran itu dalam wawancara dengan DW pada tahun 2022.

Di Israel juga berulang kali muncul suara-suara yang menyatakan solidaritas terhadap rakyat Iran. Misalnya, inisiatif media sosial "Israel Cinta Iran," yang pertama kali menjadi berita utama pada tahun 2012.

Pada 2023, kampanye serupa mendukung warga Iran yang turun ke jalan melawan rezim di Teheran setelah pembunuhan Mahsa Amini. Baru-baru ini, ada upaya lain untuk menghidupkan kembali kampanye tersebut dengan menggunakan tagar #IsraelisLoveIranians.

Namun pada tingkat politik, sejak serangan Hamas terhadap Israel pada bulan Oktober 2023 dan "perang pembalasan" yang dideklarasikan oleh Israel, front yang ada menjadi lebih keras dari sebelumnya. Menurut PBB, lebih dari 41.000 warga Palestina tewas dalam perang itu, kebanyakan dari mereka adalah wanita dan anak-anak.

Tembakan roket dari Hizbullah dan pemboman Israel ke Lebanon selatan hingga ke ibu kota Beirut telah memaksa ratusan ribu orang di Israel dan Lebanon mengungsi. Ketakutan akan eskalasi perang sangat besar. AS, Uni Eropa, dan Jerman menyerukan kepada semua pihak yang bertikai untuk menahan diri.

Diadaptasi dari artikel DW Jerman

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait