Iran membatalkan keikutsertaan dalam perundingan informal dengan AS yang dimediasi Uni Eropa. Pembatalan itu diyakini sebagai strategi untuk menekan Washington agar mencabut sanksi.
"Menimbang tindakan dan pernyataan terbaru dari Amerika Serikat dan tiga kekuatan Eropa, Iran tidak menilai ini saat yang tepat buat menggelar pertemuan informal dengan negara-negara ini, seperti diusulkan kantor urusan luar negeri Uni Eropa,” kata juru bicara Kemenlu Iran, Saeed Khatibzadeh, Minggu (28/02).
Amerika Serikat mengaku kecewa atas pernyataan tersebut, meski tetap siap "kembali ke diplomasi yang bermanfaat” bersama Iran. Washington mengatakan bakal berkonsultasi dengan negara-negara lain untuk mencari jalan keluar.
AS, UE, dan Iran sedianya bertemu secara informal dalam pertemuan yang dimediasi Josep Borell, Utusan Tinggi Urusan Luar Negeri Uni Eropa. Meski menolak bernegosiasi, Teheran mengatakan akan tetap berkomunikasi dengan Borell.
Sebaliknya, Presiden AS Joe Biden berulang kali mengatakan siap kembali ke meja perundingan. Dia menyaratkan Iran harus terlebih dahulu menunjukkan itikad baik untuk tunduk pada Perjanjian Nuklir 2015, sebelum bisa dihidupkan kembali.
Kedua pihak bersitegang soal siapa yang harus mengambil langkah pertama. Teheran bersikeras AS harus mencabut sanksi yang diputuskan bekas Presiden Donald Trump.
Seorang juru bicara Gedung Putih mengatakan pihaknya tetap berniat mendorong tercapainya "sikap saling taat” terhadap butir perjanjian. Menurutnya negosiasi dengan Inggris, Cina, Prancis, Jerman, dan Rusia adalah jalan terbaik.
Diplomasi tarik ulur
Penolakan Iran diyakini merupakan salah satu strategi negosiasi yang dijalankan Teheran, tutur seorang pejabat tinggi keamanan AS. Sementara seorang pejabat lain mengakui AS tidak terikat pada format tertentu perundingan.
Iklan
"Kami tidak mengira bahwa ini adalah jalan buntu. Tentunya hal ini disayangkan, bahwa Iran mengatakan ‘tidak, tapi kami terbuka bagi ide lain',” kata dia. "Kalau mereka menginginkan kami menyepakati format perundingan, kami tidak akan bersikeras pada satu bentuk saja.”
Sebelumnya, Badan Nuklir Iran mendesak pengawas nuklir PBB, IAEA, agar tidak menerima resolusi AS yang mengritik sikap Teheran mereduksi inspeksi. "Jika Dewan Gubernur IAEA mengadopsi resolusi melawan Iran, kami akan menunjukkan reaksi yang setimpal,” kata Ali Akbar Salehi seperti dikutip kantor berita Iran, IRNA.
Dalam pernyataan tertulis yang diperoleh Reuters dan dikirimkan sebelumnya kepada negara anggota IAEA sebelum pertemuan triwulan dewan gubernur, Iran mengancam akan membatalkan perjanjian yang dibuat dengan IAEA sepekan silam.
Mengenang 40 Tahun Perang Iran vs Irak
Perang Iran-Irak jadi salah satu konflik militer terkelam di Timur Tengah. Berlangsung delapan tahun menjadi saksi penggunaan senjata kimia, tewasnya ratusan ribu orang, serta mengubah wilayah dan situasi politik global.
Foto: picture-alliance/Bildarchiv
Konflik teritorial
Pada 22 September 1980, diktator Irak Saddam Hussein mengirim pasukannya ke negara tetangga Iran. Ini jadi awal mula perang mematikan selama delapan tahun yang menewaskan ratusan ribu orang. Konflik perbatasan wilayah berlarut-larut jadi pemicu perselisihan dua negara mayoritas Muslim Syiah ini.
Foto: defapress
Perjanjian Aljazair
Lima tahun sebelumnya, pada Maret 1975, Saddam Hussein, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden Irak, dan Raja Iran saat itu Shah Pahlevi menandatangani perjanjian di Aljazair, untuk menyelesaikan sengketa perbatasan. Baghdad menuduh Teheran merencanakan serangan dan memutuskan mengevakuasi tiga pulau strategis di Selat Hormuz, yang diklaim milik Iran dan UEA.
Foto: Gemeinfrei
Sumber air
Pada 17 September 1980, Baghdad menyatakan Perjanjian Aljazair batal demi hukum dan menuntut kendali atas semua wilayah perbatasan Shatt al-Arab, sungai sepanjang 200 kilometer pertemuan sungai Tigris dan Sungai Efrat yang bermuara di Teluk Persia.
Foto: picture-alliance/AP Photo/N. al-Jurani
Pemboman pelabuhan dan kota
Pasukan Irak meledakkan bandara Iran, termasuk yang ada di Teheran, serta fasilitas militer dan kilang minyak Iran. Pada pekan pertama pasukan Irak berhasil merebut kota Qasr-e Shirin dan Mehran, serta pelabuhan Khorramshahr di barat daya Iran, di mana posisi Sungai Shatt al-Arab bermuara.
Foto: picture-alliance/Bildarchiv
Musuh bersama
Banyak negara Teluk, termasuk Arab Saudi dan Kuwait, mendukung Baghdad dalam perang melawan Iran. Hal ini didasari kekhawatiran atas perlawanan Syiah di Timur Tengah yang dipelopori oleh Ayatollah Khomeini dalam Revolusi Iran. Negara-negara Barat juga mendukung Baghdad dan menjual senjata kepada Saddam Hussein.
Foto: Getty Images/Keystone
Dipukul mundur Iran
Serangan balik Iran mengejutkan Irak ketika Teheran berhasil menguasai kembali pelabuhan Khorramshahr. Baghdad mengumumkan gencatan senjata dan menarik kembali pasukannya, tetapi Teheran menolaknya dan terus membom kota-kota Irak. Sejak April 1984, kedua belah pihak terlibat dalam "perang kota", di mana sekitar 30 kota di kedua belah pihak dihujani serangan rudal.
Foto: picture-alliance/dpa/UPI
Penggunaan senjata kimia
Salah satu yang jadi sorotan dalamperang ini adalah penggunaan senjata kimia. Teheran pertama kali melontarkan tuduhan tahun 1984 - dikonfirmasi oleh PBB - dan juga pada tahun 1988. Juni 1987, pasukan Irak menjatuhkan gas beracun di kota Sardasht, Iran. Maret 1988, Iran mengklaim Baghdad menggunakan senjata kimia kepada penduduk sipilnya di kota Halabja di utara Irak yang dikuasai Iran.
Foto: Fred Ernst/AP/picture-alliance
Gencatan senjata
Pada 18 Juli 1988, Khomeini menerima resolusi Dewan Keamanan PBB untuk mengakhiri perang. Meskipun jumlah pasti dari mereka yang tewas dalam perang tidak diketahui, sedikitnya 650.000 orang tewas dalam perang tersebut. Gencatan senjata diumumkan pada 20 Agustus 1988.
Foto: Sassan Moayedi
Lembaran baru
Penggulingan rezim Saddam Hussein oleh AS pada tahun 2003 membuka era baru di Timur Tengah. Hubungan antara Irak dan Iran telah membaik sejak saat itu dan kedua negara meningkatkan kerjasamanya dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya. (Ed: rap/hp)
Foto: picture-alliance/AP Photo/K. Mohammed
9 foto1 | 9
Kesepakatan itu dibuat setelah parlemen Iran mengesahkan UU Nuklir yang membatalkan Perjanjian Nuklir 2015. Di dalamnya Teheran mengizinkan inspeksi terbatas IAEA selama perundingan masih berlangsung.
Hingga kini belum jelas apakah IAEA akan mengadopsi resolusi AS tersebut.
Khatibzadeh mengatakan IAEA tidak perlu meributkan "resolusi atau negosiasi” terkait Perjanjian Nuklir. Menurutnya, justru Amerika Serikat yang harus "mengakhiri sanksi sepihak dan ilegal, serta kembali menghormati komitmennya sendiri.”